Masa Iddah bagi Wanita dan Hikmahnya
Home »
masalah wanita
» Masa Iddah bagi Wanita dan Hikmahnya
by Risma Al-Qomar
PENDAHULUAN
Seks
merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau
sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk
dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila
antara laki-laki dan perempuan telah diikat oleh suatu ikatan yang sah
yang disebut dengan pernikahan.
Sesungguhnya
tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis
menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia
sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Manakala
setelah perkawinan terjadi hubungan seks, tetapi dalam perjalanan
perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan mulus dan terdapat
berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan itu
tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian.
Akibat
dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi
seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.
Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut :
- Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.
- Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (menopause) = tiga bulan.
- Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
- Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.
- Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.
Lamanya iddah seperti tersebut diatas sebagaimana juga tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat (2).
Dalam hukum perdata masa iddah ini disebut dengan masa tunggu, yaitu dengan lamanya :
- 1 (satu) tahun bagi wanita yang cerai dan ingin kawin lagi dengan bekas suaminya itu, dan.
- 300 hari bagi wanita baru diperbolehkan untuk kawin dengan laki-laki lain.
PEMBAHASAN
A. Beberapa Hadits Terkait Iddah
Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan iddah. Diantaranya adalah:
I. Iddah Wanita Hamil
عن المسورين
مخرمة رضي الله عنه (انّ سبيعة الاسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت
الى النبي ص.م. فاستاءذنته ان تنكح فاذن لها، فنكحت) رواه البخارى، واصله
فى الصحيحين
Dari Miswar
putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah
suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap
Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya,
kemudian ia kawin.” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
وفى لفظ (انّها
وضعت بعد وفاة زوجها باربعين ليلة) وفى لفظ لمسلم قال الزهرى (ولا ارى
باءسا ان تزوّج وهى فى دمها، غير انّه لا يقربها زوجها حتى تطهر)
Dan pada
suatu lafadz disebutkan: “sesungguhnya Subai’ah melahirkan setelah
suaminya meninggal empat puluh hari.” Dan pada suatu lafadz pada riwayat
Muslim disebutkan: berkata Az Zuhri: “Aku berpendapat tidak ada
halangan ia kawin dalam keadaan masih darah nifas, hanya saja suaminya
jangan menyetubuhi dulu sebelum ia suci.”
حدّثني عبادة
بن الوليدبن عبادة بن الصامت عن ربيع بنت معوّذ قال قلت لها حدّثني حديثك
قالت اختلعت من زوجي ثم جئت عثمان فسألته ماذا علىّ من العدّة فقال لاعدّة
عليك الاّان تكون حديثة عهد به فتمكني حتى تحيضى حيضة قال وانا متّبع فى
ذلك قضاء رسول الله ص.م. فى مريم المغاليّة كانت تحت ثابت بن قيس بن شمّاش
فاختلعت منه
Menceritakan
kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit bertanya pada Rubayyi’ binti
Mu’awidz: “ceritakan kisahmu padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta
cerai dari suamiku”. Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya
padanya: “berapa hari masa iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu,
kecuali jika kamu telah bergaul dengan suamimu.
Maka sekarang tunggulah
hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini aku mengikuti keputusan
Rasulullah atas diri Maryam Al Maghalibiyah, yang menjadi istri Tsabit
Ibnu Qais Ibnu Syamas, dan kemudian ia meminta diceraikan suaminya.”
III. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya
عن زينب بنت ام
سلمة قالت امّ حببيبة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا يحلّ
لامرأة تؤمن بالله واليوم الاخر تحدّ على ميت فوق ثلاثة أيام الا على زوج
اربعة اشهر وعشرا
Dari Zainab
binti Ummu Salamah dari Ummu Habibah ra. Berkata: “aku mendengar
Rasulullah saw bersabda:” tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung atas orang yang mati
lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa
berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.”
عن عبراهيم عن
علقمة عن ابن مسعود انّه سئل عن رجل تزوج امرأة ولم يفرض لها صداقا ولم
يدخل بها حتى مات قال ابن مسعود لها مثل صداق نسائها لا وكس ولا شطط وعليها
العدة ولها الميرات فقام معقل بن سنان الاشجعي فقال قضى فينا رسول الله ص م
فى بروع بنت واشق امرأة منّا مثل ما قضيت ففرح ابن مسعود رضى الله عنه
Dari Ibrahim
dari Alqamah berkata: “Ketika Ibnu Mas’ud ditanya tentang seseorang
yang menikahi wanita, kemudian ia mati sebelum memberikan mas kawin pada
istrinya dan juga belum bersenggama dengannya. Jawab Ibnu Mas’ud:
Istrinya tetap berhak mendapatkan mas kawin, tidak boleh kurang atau
lebih, dan atasnya berlaku iddah serta ia berhak mendapat warisan”. Maka
berdirilah Ma’qil ibnu Sinan Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah saw
telah memutuskan masalah Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana yang putuskan.
Ia adalah seorang wanita kaum kami.” Karena itu Ibnu Mas’ud menjadi
senang.”
Kata iddah
berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira.
Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
- Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
- Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
- Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
- Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”
Selain
pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang
diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir
bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang
perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk
boleh kawin lagi.
C. Hukum Iddah dan Macam-Macamnya
Para ulama
sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai
dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al
Baqarah ayat 228 yang artinya “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kaltsum.”
Macam-macam iddah:
1. Iddah karena cerai mati.
Iddah
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan,
yaitu : Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya sampai
melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah Ath-Thalaq ayat
4.
Demikian pula telah disebutkan dalam sebuah Hadits Rasulullah yang
artinya : “Kalau seorang perempuan melahirkan sedang suaminya meninggal
belum dikubur, ia boleh bersuami.” Tetapi jika tidak hamil, maka masa
iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Hal ini sebagaimana disebutkan firman
Allah pada surah Al Baqarah ayat 234.
2. Iddah cerai hidup.
Perempuan yang dicerai dalam posisi cerai hidup dalam hal ini ada tiga keadaan yaitu :
1) Dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Ath-Thalaq ayat 4 .
2) Dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi) masa iddahnya tiga kali suci. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.
3) Dalam keadaan belum dewasa (belum pernah menstruasi) atau sudah putus menstruasi (menopause), iddahnya adalah tiga bulan. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Ath Thalak ayat 4
3. Iddah
bagi perempuan yang belum digauli, maka baginya tidak mempunyai masa
iddah. Artinya boleh langsung menikah setelah dicerai oleh suaminya.
Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ahzaab ayat 49.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang
dalam Pasal 153 ayat (2) sampai dengan (6) nya berbunyi :
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
- Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
- Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.
(4) Bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu
tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah
tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
(6) Dalam
hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama
satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”
Sebagaimana
pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang
bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya
meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu
masa iddahnya.
Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai
berikut :
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
- Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
- Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
- Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
- Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
- Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
- Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”
Selain apa yang dikemukakan di atas, adanya iddah itu mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Iddah dan kehamilan.
Sebenarnya terjadi perbedaan pengertian diantara para ulama tentang batas iddah dengan istilah “quru” ini,
ada yang mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya
dengan “haid”. Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat
mengakibatkan perbedaan lama beriddah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa iddah lebih pendek dari quru dengan pengertian haid.
Diperlukannya
iddah bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai
mati atau hidup, salah satu manfaatnya adalah untuk mengetahui
kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan.
Terjadinya kehamilan ini
apabila sperma laki-laki bertemu dan bersama sebuah telur (ovum) disebabkan adanya hubungan suami istri, sperma laki-laki mampu bertahan selama 48 jam serta telur 24 jam.
Muhammad Ali
Akbar menyatakan bahwa “Adakah menakjubkan mendapati puncak
differensiasi sel embrio terjadi pada tahap ini (minggu ke-4 hingga
ke-8). Periode ini sangat penting karena masing-masing dari tiga lapisan
primordium menjadi sejumlah jaringan dan organ spesifik. Longman juga
mengatakan “semua organ dan sistem organ utama dibentuk selama minggu
keempat hingga kedelapan.
Oleh karena itu, periode ini juga disebut
periode organogenisis. Itulah saat embrio paling rentan terhadap
faktor-faktor yang mengganggu perkembangan dan kebanyakan malformasi
kongenital yang terlihat pada waktu lahir didapatkan asalnya selama
periode kritis ini.”
Artinya menurut pemahaman penulis dalam
minggu-minggu keempat dan kedelapan inilah saat-saat embrio terjadi
degenerasi atau tidak.
Salah satu
indikasi bahwa wanita itu tidak hamil adalah dengan adanya haid atau
menstruasi. Menstruasi dimaksudkan dengan “saat seorang wanita
mengeluarkan darah pada periode tertentu dalam keadaan sehat wal afiat.
Darah tersebut berasal dari lubang uterine.”
Dan siklus haid berkisar
antara 28 hingga 35 hari. Dengan masa menstruasi berkisar antara tiga
hari sampai satu minggu, dalam hal ini tergantung kondisi wanita
tersebut.
Adanya
prosesi itu dan mampu melewati masa-masa kritis, sekaligus jika
dikaitkan dengan masa iddah selama 3 bulan atau tiga kali suci, sehingga
dengan masa selama itu dapat dipastikan bahwa rahim seorang perempuan
kosong dari benih kehamilan. Artinya dengan iddah selama itu, maka bisa
dipastikan bahwa seorang wanita yang dicerai oleh suaminya, baik karena
cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia tidak dalam keadaan
hamil, dan hamil akan mengakibatkan kelahiran manusia (anak).
“Manusia
dibentuk oleh penyatuan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) membentuk sebuah sel yang disebut zigot. Zigot di dalam Al Qr’an disebut nutfah amsyaj yang terbentuk dari perpaduan dan percampuran nutfah jantan dan nutfah
betina.”
Dengan diketahuinya kekosongan rahim itu, maka status anak
yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan setelah akan jelas atau akan
memperjelas status ayah bagi janin yang ada pada rahim seorang wanita,
yang pada akhirnya akan mempertegas status nasab anak.
Allah
berfirman dalam surah Ar-Ra’du ayat 8 yang artinya : Allah mengetahui
apa yang dikandung oleh perempuan, dan kandungan rahim yang kurang
sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada
ukurannya.
2. Iddah sebagai masa berkabung.
Bagi para
wanita yang ditinggal oleh suaminya mati, wajib baginya berkabung. “Para
ulama mazhab sepakat atas wajibnya wanita yang ditinggal mati suaminya
untuk melakukan (hidad) berkabung, baik itu wanita itu sudah
lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun non muslimah. Kecuali
Hanafi, mazhab ini mengatakan bahwa wanita zimmi dan masih kecil tidak
harus menjalani hidad sebab mereka tidak dikenai kewajiban (gairu taklif).
Islam
membatasi masa berkabung atau meratapi atas meninggalnya seseorang. Bagi
orang lain selain istri atau suami masa berkabung dibolehkan hanya 3
hari, namun bagi istri batas maksimal adalah 4 bulan sepuluh hari.
Dalam agama
Hindu lebih panjang lagi, sebagaimana disebutkan, “Dalam agama seperti
agama Hindu dan Jainisme. Janda tidak diizinkan menikah lagi, sekalipun
andaikan suaminya tak lama setelah perkawinannya, dia harus tetap
menjanda sepanjang hayatnya, menanggung celaan dari mertua dan iparnya.
Pertama-tama dia dianggap bertanggungjawab atas kematian suaminya.
Diyakini dia yang menimbulkan penyakit yang menimbulkan suaminya
meninggal.”
Karena masa
berkabung sekaligus dijadikan sebagai masa iddah selama empat bulan
sepuluh hari itu, untuk ukuran orang-orang tertentu cukup lama. Karena
secara naluriah, manusia senantiasa membutuhkan lawan jenisnya untuk
selalu bersama.
Begitu pula wanita normal tentunya membutuhkan lawan
jenisnya untuk mendapatkan perlindungan dari laki-laki, karena wanita
dianggap sebagai makhluk yang lemah, selain itu juga wanita memerlukan
pemenuhan kebutuhan biologis dari lawan jenisnya, dan itu hanya bisa
didapatkan jika ia melakukan pernikahan kembali, begitu pula wanita
tersebut dapat menentukan arah kehidupannya serta tidak ingin larut
dalam kedukaan yang berkepanjangan.
Sehingga wajar jika ia diberi
kesempatan untuk menikah lagi demi masa depannya. Begitu juga terhadap
kehidupan anak-anak yang ditinggalkan oleh bapaknya meninggal dunia,
juga memerlukan perlindungan, pengayoman, pendidikan ataupun juga
bantuan yang mungkin dapat diperoleh dari suami ibunya yang baru.
3. Iddah sebagai saat strategis bagi pihak-pihak dan saat berpikir yang baik untuk dapat rujuk kembali.
Apabila
seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan merasakan
adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya seorang
laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan
istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya
lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga
saat-saat inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras,
menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.
Seorang
janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin lagi,
karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri Terhadap
adanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya
rujuk kembali. Baik pengaruhnya terhadap dirinya sendiri, anak-anak,
keluarga, kerabat, handai-taulan, dan lain-lain. Dampak negatif
tentunya perlu ditekan semaksimal mungkin.
Adanya iddah
merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan
masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang
terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya.
Terhadap
pihak ketiga yang berkepentingan dengan kelanggengan pasangan suami
istri itu, juga masih mempunyai waktu atau kesempatan untuk melakukan
intervensi, memberikan nasehat-nasehat atau saran agar rumah tangga
suami istri itu bisa rukun kembali sebagaimana sediakala dengan
memberikan alternatif yang dapat menggugah suami istri yang bercerai itu
agar bisa rukun kembali. Nasehat yang demikian sangat dianjurkan dalam
Islam. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ashr ayat 3.
4. Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah.
Selain
tujuan-tujuan iddah sebagaimana diungkapkan diatas, pelaksanaan beriddah
juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan
Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan
kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya.
Apabila
wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup
atau mati. Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah
lagi dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beriddah
inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah
yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai
ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah sebagaimana
digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan
berdosa bila dilangar dari Allah SWT.
PENUTUP
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:
- Iddah merupakan batas menunggu bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami lagi.
- Lamanya iddah bagi wanita yang bercerai dengan suaminya, yaitu : Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tiga bulan, Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (manoupuse) = tiga bulan.dan Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
- Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah untuk:
- Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
- Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
- Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
- Tenggang waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan ;
- Sebagai ujian terhadap kesabaran.
- Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kedokteran, komunikasi serta transportasi, maka masa iddah masih memungkinkan untuk didiskusikan menuju masa iddah kearah yang lebih singkat lagi.
*Makalah ini disusun oleh Ali Murtadlo (dalam salah satu tugas kuliah)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman I Doi.Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Renika Cipta. cet. I. 1992.
Abdul Fatah, Abd. Ahmadi. Fiqh Islam Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta. 1994
Al Asqalani, Alhafidz Ibn Hajar. Bulughul Maram. Semarang: Toha Putra. 1985.
Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. cet. 19. 1999.
Nasa’iy, Abu Abdur Rahman Ahmad An. Sunan An Nasa’iy. Semarang: CV. Asy Syifa’. 1992
0 komentar:
Post a Comment