Negara Negara yang Pernah Menjadi Adidaya Dunia
Home »
» Negara Negara yang Pernah Menjadi Adidaya Dunia
Di dunia yang telah melahirkan politik ini, banyak negara adidaya muncul dan akhirnya menghilang, setidaknya masih ada dalam tulisan sejarah. Negara adidaya itu memiliki faktor yang berperan penting dalam sejarah dunia. Negara adidaya seperti Kekaisaran Romawi, Tiongkok, Mongolia, Britania Raya, Kesultanan Ottoman, Jerman NAZI, Uni Soviet, dan akhirnya Amerika Serikat akan dibahas dalam artikel ini.
Negara adikuasa atau negara adidaya potensial adalah negara atau entitas politik dan ekonomi yang diperkirakan menjadi, atau sedang dalam proses menjadi, negara adikuasa di beberapa patokan di abad ke-21. Saat ini, hanya Amerika Serikat yang memenuhi kriteria untuk dianggap sebagai negara adikuasa.[1][2] Negara yang paling sering disebutkan sebagai negara adikuasa potensial adalah Brasil,[3][4][pranala nonaktif][5][pranala nonaktif] Cina,[6] India, Rusia[7][8] (negara-negara BRIC), dan Uni Eropa,[9] berdasarkan berbagai faktor. Secara kolektif, negara adikuasa potensial dan Amerika Serikat mencakup 66,6% dari PDB nominal global, 62,2% dari PDB global (PPP) (Uni Eropa saja jauh di atas 20%), lebih dari sepertiga total lahan dunia, dan lebih dari 50% populasi dunia.
Prediksi yang dibuat di masa lalu ternyata belum sempurna. Misalnya, pada 1980-an, banyak analis politik dan ekonomi meramalkan bahwa Jepang akhirnya akan menyandang status adikuasa, karena populasi yang besar, produk domestik bruto yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada waktu itu.[10][11] Meskipun ekonominya masih yang terbesar ketiga di dunia pada tahun 2012 dalam hal PDB nominal, Jepang telah menghadapi periode pertumbuhan yang lemah, yang sedang
Brasil
Republik Federasi Brasil | |||
---|---|---|---|
|
|||
|
Dalam kuliah umum tahun 2009 berjudul Brazil as an Emerging World Power (Brasil sebagai Kekuatan Dunia yang Berkembang)[3] yang dipresentasikan di Pusat Studi Internasional Mario Einaudi, Universitas Cornell, Leslie Elliot Armijo mengatakan bahwa "Brasil akan segera muncul sebagai negara adidaya pertama di Amerika Latin". Armijo menyatakan bahwa "Brasil terus memperkuat diri sebagai pemimpin di wilayahnya dengan meluncurkan serangkaian proyek-proyek integrasi," juga menambahkan bahwa "sebagai pemegang kunci internasional, Brasil juga telah mengambil bagian yang lebih besar dari perpolitikan dunia dengan incrementing kehadirannya yang sudah kuat dalam berbagai prakarsa ekonomi , seperti Fasilitas Keuangan Internasional (IFF) dan G-20," menyatakan bahwa "menonjolnya kekuatan Brasil berasal dari pemerintahan demokratis yang solid dan ekonomi yang kuat" dan menyimpulkan bahwa "Sesaat lagi, kita akan memiliki dua negara adidaya di Belahan Barat.""[3][13][pranala nonaktif]
Elizabeth Reavey, rekan penelitian dari Council on Hemispheric Affairs, mengklaim Brasil sebagai kekuatan besar potensial dalam judul artikelnya pada tahun 2008 While the US Looks Eastward Brazil Is Emerging as a Nuclear Superpower (Ketika AS Melihat ke Arah Timur, Brasil Berkembang Sebagai Negara Adikuasa Nuklir).[4] Sambil menjelaskan pentingnya pembangunan teknologi nuklir yang berkelanjutan di negara tersebut, ia menyebut Brasil sebagai negara adikuasa baru, dengan "potensinya yang mirip dengan Cina, melonjaknya ekonomi, meningkatnya kemampuan nuklir, tumbuhnya kepercayaan diri pada kekuatannya sendiri, dan kemampuan untuk membuat jalannya sendiri."
Brasil sering disebut sebagai negara adikuasa ekonomi,[14][15] baik pada masa kini[16] atau masa depan, dan banyak pakar dan wartawan membandingkan Brasil dengan negara adikuasa potensial lainnya dari kelompok BRIC. Jonathan Power dari Transnational Foundation for Peace and Future Research mengklaim pada artikelnya pada tahun 2006 Brazil is Becoming an Economic and Political Superpower (Brasil Menuju Adikuasa Ekonomi dan Politik) bahwa "Brasil menempati garis start lebih depan daripada India dan Cina," mengatakan bahwa hal itu telah berkembang secara positif selama lebih dari 100 tahun, dan menambahkan bahwa "antara tahun 1960 dan 1980 Brasil berhasil menggandakan pendapatan per kapitanya."[5]
Power juga berspekulasi bahwa Brasil "memiliki peluang bagus untuk muncul sebagai negara adidaya ekonomi pertama di dunia tanpa senjata nuklir". Sedikitnya musuh negara dan fakta bahwa Brasil tidak terlibat dalam konflik skala besar sejak akhir Perang Dunia II sejauh ini juga memberikan kontribusi untuk Brasil untuk tidak mempertahankan kekuatan militer yang agresif seperti kekuatan besar lainnya.
Pandangan bertentangan
Walaupun demikian, banyak hambatan untuk Brasil meraih status adikuasa. Menurut ekonom penerima Hadiah Nobel Paul Krugman, mengakui kekuatan ekonomi Brasil saat ini "tidak sama kalau [mengatakan] negara itu akan menjadi negara adikuasa ekonomi [dalam waktu dekat]". [17] Demikian pula, analis energi Mark Burger menulis bahwa Brazil, secara umum, akan memperbaiki keadaan energinya, tapi tidak sampai menjadi negara adikuasa energi.[18]Tingkat kejahatan di negeri Samba yang jauh lebih tinggi dibanding seluruh negara adikuasa potensial lainnya, tingkat ketimpangan pendapatan dan pendidikan yang sangat tinggi, polarisasi sosial, dan masa depan wilayah utara Brasil yang kurang berkembang tetap menjadi keprihatinan tersendiri.[19]
Dalam suatu wawancara, Vladimir Caramaschi , pakar strategis Brazil mengatakan bahwa "Investasi tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan". Ia menggambarkan bahwa Brazil secara historis tertinggal dalam investasi mengenai pabrik, mesin dan jenis modal tetap lainnya, dan tetap tidak berubah bahkan saat Brasil pulih dari krisis global lebih cepat daripada sebagian besar negara lainnya. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa biaya pajak, birokrasi, suku bunga, dan undang-undang tenaga kerja di Brasil mengakibatkan Brasil menjadi negara dengan investasi tersulit di antara negara-negara G20.[20]
Cina
Republik Rakyat Tiongkok | |||
---|---|---|---|
|
|||
|
Barry Buzan menegaskan pada tahun 2004 bahwa "Cina kini menyajikan semua profil yang paling menjanjikan" dari negara adikuasa potensial.[30] Buzan menyatakan bahwa "Cina saat ini merupakan negara adikuasa potensial yang paling cocok dan satu derajat keterasingan dari masyarakat internasional yang dominan membuatnya menjadi penantang politik yang paling jelas". Namun, ia mencatat tantangan ini dibatasi oleh tantangan utama pembangunan dan fakta bahwa kebangkitannya bisa memicu kontra koalisi antar negara-negara di Asia.
Parag Khanna menyatakan pada tahun 2008 bahwa dengan menciptakan kesepakatan perdagangan dan investasi secara besar-besaran dengan Amerika Latin dan Afrika, Cina telah mengukuhkan keberadaannya sebagai negara adikuasa bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kebangkitan Cina ditunjukkan oleh pangsa perdagangan yang menggelembung dalam produk domestik brutonya. Ia percaya bahwa "gaya konsultasi" Cina telah memungkinkannya untuk mengembangkan hubungan politik dan ekonomi dengan berbagai negara, termasuk mereka yang dipandang sebagai 'negara jahat' oleh Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa Organisasi Kerjasama Shanghai yang didirikan bersama Rusia dan negara-negara Asia Tengah mungkin dapat menjadi "NATO dari timur".[31]
Ekonom dan penulis Eclipse: Living in the Shadow of China's Economic Dominance (Eklips: Hidup Dalam Bayangan Dominasi Ekonomi Cina) Arvind Subramanian berpendapat pada tahun 2012 bahwa Cina akan mengarahkan sistem keuangan dunia pada 2020 dan renminbi Cina akan menggantikan dolar sebagai mata uang cadangan dunia dalam 10 sampai 15 tahun mendatang. Kekuatan lembut Amerika Serikat akan tetap ada. Dia menyatakan bahwa "China adalah yang teratas dalam ekonomi selama ribuan tahun sebelum Dinasti Ming. Dalam beberapa hal, beberapa ratus tahun terakhir ini telah terjadi penyimpangan."[32]
Lawrence Saez dari Sekolah Studi Oriental dan Afrika, London, Inggris berpendapat pada tahun 2011 bahwa Amerika Serikat akan dikalahkan oleh China sebagai negara adikuasa militer dalam waktu dua puluh tahun. Mengenai kekuatan ekonomi, Direktur Pusat Reformasi Ekonomi Cina di Universitas Peking Yao Yang menyatakan bahwa "Dengan asumsi ekonomi Cina dan AS tumbuh, masing-masing, sebesar 8% dan 3% secara riil, tingkat inflasi Cina 3,6% dan AS adalah 2% (rata-rata pada dekade terakhir), dan renminbi menguat terhadap dolar sebesar 3% per tahun (rata-rata enam tahun terakhir), Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2021. Pada saat itu, PDB kedua negara akan sekitar $24 triliun."[33]
Sejarawan Timothy Garton Ash berpendapat pada 2011, mengacu beberapa faktor seperti prediksi Dana Moneter Internasional bahwa PDB Cina (dengan keseimbangan kemampuan berbelanja disesuaikan) akan menyalip Amerika Serikat pada tahun 2016, bahwa pergeseran kekuatan dunia dengan beberapa negara adikuasa telah terjadi "saat ini". Walaupun begitu, Cina masih kurang mampu dalam hal kekuatan lembut dan proyeksi kekuatan, dan memiliki PDB/orang yang rendah. Pendapat tersebut juga memasukkan hasil survei Pew Research Center tahun 2009 yang mendapati bahwa masyarakat dari 15 dari 22 negara percaya Cina telah atau akan menggantikan AS sebagai negara adikuasa terkemuka dunia.[34]
Dalam sebuah wawancara pada tahun 2011, perdana menteri pertama Singapura Lee Kuan Yew menyatakan bahwa ketika opini Cina menggantikan Amerika Serikat bukanlah kesimpulan yang hilang, para pemimpin Cina tetap serius mengenai penggusuran Amerika Serikat sebagai negara terkuat di Asia. "Mereka telah mengubah masyarakat miskin dengan keajaiban ekonomi menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Kenapa tidak kalau mereka bercita-cita menjadi nomor 1 di Asia, dan dunia dalam waktu yang sama?".[35] Strategi Cina, lanjutnya, akan berkutat pada "pekerja-pekerja yang banyak dan semakin terampil dan terdidik untuk keluar dan membangun semua yang lain."[36] Namun, hubungan dengan Amerika Serikat, setidaknya dalam jangka menengah, tidak akan mengambil jalan yang terburuk karena Cina akan "menghindari tindakan yang akan memperkeruh hubungan dengan AS. Untuk menantang kekuatan dan teknologi yang lebih kuat dan tinggi seperti AS akan membatalkan 'kemunculan damai' mereka."[37] Meskipun Lee percaya Cina benar-benar tertarik untuk bertumbuh dalam kerangka global yang telah diciptakan oleh Amerika Serikat, negeri bambu itu menunggu waktu sampai menjadi cukup kuat untuk berhasil mendefinisikan kembali tatanan politik dan ekonomi yang berlaku.[38]
Penasehat kebijakan luar negeri Cina Wang Jisi pada tahun 2012 menyatakan bahwa banyak pejabat Cina melihat Cina kekuatan kelas satu yang harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Cina berpendapat dirinya segera menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia dan akan membuat kemajuan pesat di berbagai bidang. Amerika Serikat dipandang sebagai negara adikuasa yang sedang menurun disebabkan faktor-faktor seperti pemulihan ekonomi yang buruk, gangguan keuangan, defisit dan pengangguran yang tinggi, serta meningkatnya polarisasi politik.[39][40]
Pandangan bertentangan
Timothy Beardson, pendiri Crosby International Holdings, menyatakan pada tahun 2013 bahwa ia tidak melihat "Cina menjadi negara adikuasa", ia menulis bahwa Cina pada dasarnya dijadikan sebagai lokasi manufaktur untuk perusahaan asing, karena 83% dari seluruh produk berteknologi tinggi yang dibuat di Tiongkok diproduksi untuk perusahaan asing.[41] Dia menambahkan bahwa masalah China tentang upah, penuaan, penurunan populasi, dan juga ketidakseimbangan jenis kelamin, (dengan rasio gender 6:05, 1 dari 6 anak laki-laki tidak akan memiliki istri) akan menyebabkan banyaknya kejahatan. Ia juga menyatakan Cina terus mencemari lingkungan setelah 30 tahun pembangunan (mengingat dari 20 kota paling tercemar di dunia, 16 kota berada di Tiongkok).[41][42]James Fallows menulis bahwa terlalu banyak orang di Chna hidup tanpa pipa ledeng dalam ruangan, dan belum ada peneliti dari Tiongkok daratan yang pernah memenangkan Hadiah Nobel, sehingga tidak mungkin bisa disebut "adikuasa ekonomi".[43] Ia juga menceritakan kunjungannya pada pertengahan 1980-an ke Tiongkok, di mana ia menemukan hampir semua orang "miskin", dan orang-orang "kaya" adalah petani yang memiliki keluarganya sendiri. Ia lebih lanjut menunjukkan bahwa orang-orang biasanya berbicara tentang betapa kehidupan di Tiongkok terus membaik, namun jika mereka pergi ke Tiongkok, mereka akan melihat bahwa para pejabat China menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir tentang cara untuk menangani masalah-masalah mendatang yang dihadapi negara mereka.[44]
Geoffrey Murphay dalam China: The Next Superpower (Cina: Negara Adikuasa Berikutnya) (2008) berpendapat ketika Cina memiliki potensi tinggi, ini cukup dipandang hanya dengan melihat resiko dan hambatan Cina dalam mengelola populasi dan sumber daya. Situasi politik di Tiongkok mungkin menjadi terlalu rapuh untuk bertahan dalam status adikuasa menurut Susan Shirk dalam China: Fragile Superpower (Cina: Adikuasa yang Rapuh) (2008).[45] Faktor-faktor lain yang dapat membatasi kemampuan Cina untuk menjadi negara adikuasa di masa depan termasuk persediaan energi dan bahan baku yang terbatas, pertanyaan atas kemampuan inovasi, ketidaksetaraan dan korupsi, serta resiko terhadap stabilitas sosial dan lingkungan. - sumber : wikipedia
Berikut Negara Negara yang Pernah Menjadi Adidaya Dunia
Makedonia (Empire of Alexander)
Makedonia mengalami masa kejayaan saat dipimpin oleh Iskandar Zulkarnain
atau Alexander Agung. Alexander memimpin bangsanya menaklukkan Yunani
dan merebut wilayah yang luas meliputi Makedonia sampai dengan India,
juga Mesir. Negara yang terletak di utara Yunani ini bisa dikatakan
memiliki status adidaya saat dipimpin Alexander. Mesir juga memiliki
kota yang namanya didekasikan untuk Alexander yakni Iskandaria atau
Alexandria.
Kekaisaran Romawi
Setelah mengalami masa kejayaan yang begitu lama, status negara adidaya Kekaisaran Romawi semakin melemah akibat pembagian kekuasaan, daerah koloni yang menuntut merdeka, hingga warga negara (Homo Romanicus) yang sudah malas dan enggan berperang. Akhirnya, Kekaisaran Romawi yang terakhir, Byzantium, jatuh ke tangan Turki Ottoman pada tahun 1453.
Tiongkok
Daratan ini telah menjadi legenda yang sangat berpengaruh dalam sejarah
Asia Timur bahkan seluruh Asia. Berbagai sejarah, baik legenda maupun
yang nyata, Tiongkok telah menjadi sebuah negara yang tak terlupakan
oleh dunia. Bangsa di Asia mana yang tidak mengenal Tiongkok? Memang
tidak ada salahnya bila bangsa Tionghoa menamakan negara mereka sebagai
中國 yang artinya negara tengah atau negara yang di tengah-tengah dunia.
Tetapi sayangnya, bangsa Tionghoa mengalami kemunduran akibat serangan
bangsa Mongol dan dijajah hampir 400 tahun kemudian merdeka kembali dan
dikalahkan bangsa barat dalam Perang Candu pada abad ke-19. Tetapi
semenjak revolusi ekonomi yang dilakukan pemerintah Tiongkok saat ini,
Tiongkok dikabarkan akan muncul kembali sebagai negara adidaya.
Kesultanan Ottoman
Kesultanan Ottoman memiliki wilayah yang terbentang dari Algeria sampai
dengan Armenia, dari Hungaria hingga Arabian Peninsula. Karena luasnya
tersebut, jalur perdangan dan politik Ottoman sangat mempengaruhi dunia
saat itu. Meski bersitegang dengan Rusia di utara, Kesultanan Ottoman
mampu tumbuh menjadi adidaya dunia saat itu yang menguasai 3 benua.
Sepak terjang negara ini dalam menjadi adidaya untuk pertama kali ialah
menguasai Konstantinopel yang merupakan ibukota Kekaisaran Byzantium.
Tetapi negara ini kehilangan eksistensi saat dikalahkan dalam Perang
Dunia pertama dan wilayah utamanya kini menjadi wilayah Republik Turki.
Britania Raya
Setelah hegemoni pelayaran yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis,
Britania yang awalnya terpecah menjadi Inggris, Skotlandia, dan Wales
akhirnya bersatu dalam satu bendera dan pemerintahan. Britania Raya
akhirnya menjadi negara maritim yang menunjukkan kehebatan dalam
berlayar dan menaklukkan daerah yang kelak menjadi jajahan dan koloni
Britania Raya. Spanyol dan Portugis meskipun hebat dalam berlayar namun
tak bisa mempunyai daerah koloni yang sedemikian banyak seperti Britania
raya. Mulai dari benua Amerika sampai dengan Pasifik pernah menjadi
daerah kekuasaan Britania Raya. Tak heran apabila Bahasa Inggris yang
digunakan bangsa ini menjadi bahasa internasional. Britania Raya
akhirnya hilang status adidaya miliknya saat daerah jajahan satu per
satu melepaskan diri setelah Perang Dunia kedua. Kini daerah overseas Britania sangat sedikit dibandingkan jajahannya abad lalu.
Prancis Napoleon
Prancis mengalami masa kejayaan yang sangat gemilang saat dipimpin oleh
Napoleon Bonaparte. Pria yang (seringkali) digambarkan pendek ini
memulai perang yang mengubah peta politik di Eropa saat itu, bahkan
sampai Asia sekalipun. Prancis tumbuh menjadi negara militer yang kuat
dan menguasai banyak negara di Eropa. Tetapi pengaruhnya mundur ketika
pasukan Prancis menyerang Rusia dan membuat kesalahan fatal yakni tidak
mempelajari iklim yang ganas di sana. Pasukan Prancis yang terkepung
dinginnya udara, disergap pasukan Rusia yang bersembunyi. Terjadi titik
balik di masa perang membuat Napoleon Bonaparte dibuang dan berakhir
sudah masa adidaya Prancis.
Jerman NAZI
Setelah kalah perang saat Perang Dunia I, Jerman tumbuh dengan luar
biasa saat dipimpin Adolf Hitler, diktator paling terkenal sepanjang
masa. Adolf Hitler yang merupakan seorang Austria namun memiliki
kekaguman terhadap bangsa Jerman memulai langkahnya saat ia menulis buku
berjudul "Mein Kampf" yang memperlihatkan kebesaran Ras Arya. Kemudian
ia ditunjuk menjadi Kanselir sebelum akhirnya ia menjadi Fuhrer akibat
Paul von Hindenburg meninggal dunia. Ia mengubah Jerman menjadi negara
totaliter kanan yang terpusat. Militer Jerman sangat ditakuti.
Setelah itu, Jerman menginvasi Polandia yang akhirnya memulai Perang
Dunia II. Jerman menyerang negara-negara di dunia Eropa sementara
sekutunya menyerang di Afrika dan Asia. Jerman juga membantu Italia
dalam berperang di Afrika dengan mengirimkan jenderal terbaiknya, Erwin
Rommel. Jerman menjadi adidaya saat itu karena banyak daerah yang
dimilikinya serta daerah sekutunya yang sangat luas. Namun terjadi titik
balik saat Jerman dipukul mundul oleh Uni Soviet yang dipimpin oleh
Joseph Stalin. Akhirnya, Berlin dikuasai pasukan Soviet dan berakhir
sudah kejayaan Jerman NAZI.
Uni Soviet
Amerika Serikat
BONUS
Republik Rakyat Tiongkok
sumber : clusm.com/2013/09/negara-negara-yang-pernah-menjadi.html
0 komentar:
Post a Comment