Daeng Soetigna, Bapak Angklung Indonesia
Home »
ASLINA INDONESIA
» Daeng Soetigna, Bapak Angklung Indonesia
Bagi yang pernah menyaksikan konser musik
Yanni tentu tahu betapa megah, agung dan fenomenalnya “Santorini”.
Namun, bagaimana bila nomor klasik “Santorini” dibawakan dengan
instrumen tradisional Sunda bernama Angklung? Ya, bahkan nomor-nomor
klasik seperti “Li Biamo Ne Lieti Calici from La Traviatta” karya
Giuseppe Verdi, “Blue Danube Waltz” (Johan Strauss), “Air for G
String”(Johan Sebastian Bach), dsb, dapat dimainkan dengan indahnya
menggunakan alat musik Angklung, disamping tentu saja karya-karya musik
asli Indonesia seperti “Jali-jali”, “Bengawan Solo” atau “Es Lilin”.
Untuk itu kita wajib berterima kasih
kepada almarhum Daeng Soetigna, karena berkat kerja keras dan usahanya
maka alat musik angklung yang tadinya hanya sebagai alat musik
tradisional yang hanya memiliki beberapa tangga nada yang dibunyikan
secara monoton, dibuat sedemikian rupa menjadi set angklung dengan
nada-nada diatonis-kromatis sehingga mampu memainkan musik “barat”.
Konon
alat musik angklung sudah ada sebelum kerajaan Sunda berdiri, atau
sekitar tahun 1030 masehi, namun saat itu hanya terbatas untuk ritus
keyakinan setempat terutama menjelang musim tanam padi. Saat itu
angklung masih belum memiliki nada-nada seperti sekarang.
Ada lagi tokoh penting dalam perkembangan
angklung modern di Jawa Barat yaitu Udjo Ngalagena. Udjo mengembangkan
angklung tradisional menjadi nada da-mi-na-ti-la-da, belajar dari tokoh
musik Machyar. Ada juga tokoh yang berupaya mengembangkan alat musik
angklung yaitu J.C. Deagan, seorang Belanda yang merupakan guru musik
Daeng. Namun Daenglah yang berhasil mengembangkan alat musik angklung
sehingga mencapai standar nada diatonik-kromatik
(do-re-mi-fa-sol-la-si-do) yang lengkapnya terdiri dari 12 nada.
Angklung ini yang kemudian dijuluki Angklung Padaeng yang dikenal
sebagai angklung modern.
Ketertarikan Daeng Soetigna, lahir di
Garut, 13 Mei 1908, pada alat musik angklung berawal saat melihat dua
orang pengamen bermain angklung. Sebagai guru kesenian dan mengajar
kepanduan (sekarang Pramuka), saat itu Daeng berpikir bagaimana membuat
angklung yang lain, yang bisa dipakai sebagai alat pendidikan seni
musik. Kemudian dia membeli angklung dari pengamen tersebut dan
berpikir keras untuk membuat angklung. Dia lalu mendatangi pak Djadja,
seorang tua yang mahir membuat angklung. Karena saat itu angklung
umumnya hanya dikenal sebagai “alat musik pengamen”, pak Djadja sempat
bertanya apakah dia mau alih profesi sebagai pengamen?
Setelah melalui berbagai eksperimen,
Daeng berhasil mengembangkan angklung menjadi memiliki tangga nada
do-re-mi-fa-sol-la-si-do, maka diapun mengajarkan angklung ciptaannya ke
anak didiknya di kepanduan. Saat itu ia juga menuai protes karena
dengan mengajarkan angklung maka ia dianggap mengajar anak didiknya jadi
pengamen… Tetapi sejarah berkata lain, hasil perjuangannya dalam
mengembangkan angklung berhasil membuat Presiden Soekarno
terkagum-kagum.
Hal
itu terjadi saat Presiden Soekarno mengadakan jamuan makan malam untuk
para diplomat asing di Kabupaten Kuningan pada tanggal 12 Nopember
1946. Pada malam itu digelar acara hiburan berupa musik angklung karya
Daeng Soetigna yang dimainkan oleh anak didiknya. Pertunjukan itu
sukses. Maka angklung-pun terangkat pamornya dari sekedar alat musik
pengamen menjadi alat musik yang bisa disejajarkan dengan alat musik
barat. Daeng Soetigna mendapatkan penghargaan Satyalenca Kebudayaan
dari Presiden Soeharto pada tahun 1968 dan Anugerah Bintang Budaya
Parana Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007).
Kini kita boleh berbangga dengan angklung
yang asli tanah Sunda namun sekarang sudah mendunia, tetapi juga jangan
lengah karena Malaysia konon mulai meng-klaim angklung sebagai miliknya
dengan sebutan bamboo Malay. Hal ini tentu membuat kita sungguh geram
dan kesal, namun pertanyaannya adalah sudah sejauh manakah usahakan kita
dalam melestarikan alat musik angklung?. Udjo dan Daeng telah
mengembangkan angklung dengan konsep 5M (murah, mudah, massal, mendidik,
dan menyenangkan) sehingga angklung dapat diterima oleh berbagai
kalangan usia, tingkat pendidikan dan strata sosial. Di lain pihak,
Roswita Amelinda, Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Pak Daeng, mengakui
betapa sulitnya untuk mendapatkan sponsor untuk mendukung acara konser
angklung tersebut. Sedihnya, para calon sponsor itu (bahkan diantaranya
host salah satu televisi swasta nasional) banyak yang bertanya : “Siapa
Daeng Soetigna?”
Dikutip secara bebas dari Harian Pikiran Rakyat tgl 20 Desember 2008.Didiet Priatmadji
.
Update artikel terkait:
- Apa sih Angklung?
- Cintai Kesenian Tradisional Kita
0 komentar:
Post a Comment