WALI AL-FATAH
Home »
» WALI AL-FATAH
Wali Al-Fatah adalah seorang Muslim dan bergelar Akademis Doktor dalam disiplin ilmu Politik. Nama Wali Al-Fatah tidak begitu dikenal dalam sejarah Indonesia namun beliau termasuk pendiri Partai Politik Masyumi yang didirikan pada tgl. 7 November 1945, bersama Mr. Kasman Singodimedjo dan beberapa tokoh ormas Islam lainnya. Dalam Kepengurusan Partai Masyumi beliau menjabat sebagai Ketua Muda II . Nama beliau dapat dilihat dalam buku Biografi K.H. Hasyim Asyharie dalam susunan Kepengurusan Partai Masyumi.
Dengan latar belakang Akademisnya tersebut, Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Kepala Biro Politik (Bukan Badan Inteligen) dibawah Departemen Dalam Negeri. Nama pemberian orang tua kepada beliau ketika lahir, sebenarnya bukan Wali Al-Fatah, namun ketika beliau masih kecil, seorang Ulama yang mengetahui bahwa beliau masih keturunan Raden Fatah yang menjadi Sultan Demak pertama, putra Syeikh Maulana Malik Ibrahim yaitu guru para Wali di Nusantara, maka Ulama tersebut mengganti namanya dengan nama Wali Al-Fatah.
PANDANGAN WALI AL-FATAH TENTANG NKRI DAN NII
Setelah menjadi Kepala Biro Politik, Wali Al-Fatah mendapat keterangan dari beberapa Ulama yang beliau kenal, diantaranya K.H Maksum dari Muhamadiyah, bahwa sunnah dalam menegakkan Islam itu adalah Jama'ah Imaamah, maka beliaupun menyadari bahwa Politik bukanlah jalan untuk menegakkan dinul Islam.
Wali Al-Fatah bukannya tidak mengetahui tentang Bpk S.M Karto Soewiryo dengan negara Islam-nya yang telah di Proklamirkan pada tahun 1949. Karena Baik Pak Karto Suwiryo dan Bung Karno serta Wali Al-Fatah adalah sama-sama murid H. Omar Said Cokro Aminoto. Namun dengan keterangan yang telah beliau dapatkan dari beberapa Ulama yang beliau kenal tersebut, selain menyadari kekeliruannya pribadi, beliau melihat pula kekeliruan dari apa yang ditegakkan oleh Pak Karto Soewiryo yaitu Negara Islam Indonesia (NII).
Dalam pandangan Wali Al-Fatah, apa yang dilakukan oleh Bung Karno ataupun Pak Karto Soewiryo, konsepnya adalah sama, yaitu mendirikan negara dan itu adalah Politik. Wali Al-Fatah adalah Doktor dibidang Politik, jadi beliau tahu benar apa itu politik dan tahu dengan pasti dari mana asal-muasal ilmu politik, yang berasal dari konsepsi akal manusia.
Perbedaan antara Bung Karno dan Pak Karto Soewiryo adalah pada paham atau ideologinya, Bung Karno mengikuti Ideologi Pancasila dan Pak Karto Soewiryo mengikuti Ideologi Islam namun sifat kedua-duanya adalah nasionalis, sehingga menggunakan kata Indonesia. Dan konsep utamanyapun sama yaitu Politik yang formatnya adalah negara. Inti dari ilmu Politik yang wujudnya negara adalah satu, yaitu bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Hal itu jelas bukan sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin yang mereka semuanya itu hanya mengikuti wahyu Allah dan tidak ada sedikitpun ingin berkuasa karena kekuasaan itu adalah milik Allah dan Allah berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-Nya. Oleh karena itu, sunnah mereka bukan negara melainkan sunnahnya adalah Jama'ah Imaamah.
Berbekal keterangan dan dalil yang beliau dapatkan dari para ulama tersebut, Wali Al-FAtah sempat beberapa kali mengunjungi Pak Karto Soewiryo untuk menasehati dan meluruskan perjuangan Pak Karto Soewiryo, namun selalu dihalangi oleh bawahan Pak Karto Soewiryo, sehingga Wali Al-FAtah tidak dapat menyampaikan nasehatnya kecuali hanya dapat menyampaikan pesan singkat agar disampaikan kepada Pak Karto Soewiryo, yaitu: "Sesuatu yang bukan sunnah akan menjadi fitnah".
Sebenarnya, secara Fakta sejarah NKRI lebih dahulu berkuasa karena telah berdiri sejak tahun 1945 dan ini tidak lepas dari idzin Allah. Dan sesungguhnya kekuasaan itu adalah milik Allah dan Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, maka tidak dibenarkan seorang muslim merebut kekuasaan yang telah Allah berikan kepada seseorang, siapapun dia baik muslim ataupun bukan.
DITETAPINYA KEMBALI SUNNAH JAMA'AH IMAAMAH
Karena telah jelas bagaimana sunnah dalam menegakkan Islam, yaitu dengan sunnah Jama'ah Imaamah, bukan dengan Partai PoLitik yang tujuannya adalah untuk meraih kekuasaan dalam bentuk negara, maka Wali Al-Fatah berupaya menyampaikan hal ini kepada kaum muslimin, baik ulama, zuama maupun umat muslim lainnya dengan mengadakan Kongres Muslimin. Kongres Muslimin yang pertama dilaksanakan di Medan pada tahun 1950. Kongres Muslimin yang kedua dilaksanakan di Masjid Agung Sunda Kelapa - Tanjung Priok - Jakarta pada tahun 1952. Kongres Muslimin yang ketiga dilaksanakan di gedung Bapenas Jl Untung Surapati-Jakarta pada tahun 1953.
Pada kongres Muslimin yang ketiga inilah muncul sembilan orang yang membenarkan apa yang diserukan oleh Wali Al-Fatah bagaimana sunnah dalam menegakkan Islam di muka bumi ini. Dengan keyakinan bahwa hal itu harus segera diamalkan maka sembilan orang tersebut meminta kesediaan Wali Al-Fatah untuk menjadi Imaam. Dengan halus Wali Al-Fatah menolaknya dan mengembalikan kepada sembilan orang tersebut mungkin ada yang bersedia untuk menjadi Imaam. Namun tidak satupun diantara mereka yang bersedia dan mereka kembali meminta Wali Al-Fatah agar bersedia menjadi Imaam. Sekali lagi Wali Al-Fatah menolak dengan alasan bahwa diantara mereka ada ulama, diantaranya yaitu adalah K.H Maksum maka beliau meminta kepada ulama yang ada tersebut agar bersedia untuk menjadi Imaam. Akan tetapi tidak ada dari ulama tersebut yang bersedia menjadi Imaam bahkan mereka mengatakan bahwa Ilmu yang mereka miliki adalah untuk menguatkan kepemimpinan Wali Al-Fatah.
Dengan rasa tanggung jawab terhadap Islam dan muslimin, maka akhirnya Wali Al-Fatah menerima amanat itu dengan satu syarat yaitu sementara. Ketika ada yang bertanya mengapa sementara? Wali Al-Fatah menjelaskan, bahwa sunnah Jama'ah Imaamah yang akan mereka laksanakan itu adalah syare'at Islam yang berlaku untuk seluruh muslimin dimanapun mereka berada dan tidak boleh ada dua Imaam dalam satu masa. Namun karena belum diketahui apakah sudah ada yang melaksanakan atau belum, sementara ilmu sudah sampai bahwa tidak halal tiga orang berjalan dimuka bumi kecuali ada satu yang memimpin, maka sunnah Jama'ah Imaamah itu diamalkan sementara hingga ada berita secara pasti ada dan tidaknya yang telah mengamalkan sebelum mereka mengamalkannya. Jika ada yang telah mengamalkan lebih dahulu, walau satu hari atau satu jam saja, maka itulah yang haq dan yang belakangan harus mengikuti dan tidak boleh mempertahankannya.
Maka akhirnya dilaksanakanlah syare'at bae'at (janji setia untuk mendengar dan taat) kepada Imaam Wali Al-Fatah yang diumumkan secara terbuka pada tgl. 20 Agustus 1953 M/ 10 Dzulhijjah 1372 H.
Setelah sembilan orang tersebut melaksanakan ikrar bae'atnya kepada Wali Al-Fatah, maka beliau memberikan amanat kepada salah seorang diantara mereka yaitu Ustadz Ahmad Jibril Murtadho untuk mencari keliling dunia apakah sudah ada yang telah mengamalkan lebih dahulu sunnah Jama'ah Imaamah tersebut? Maka Ustadz Ahmad Jibril Murtadho yang fasih beberapa bahasa itupun berangkat melaksanakan amanat tersebut.
Setelah tiga tahun, yaitu pada tahun 1956, Ustadz Ahmad Jibril Murtadho kembali dan melaporkan kepada Wali Al-Fatah bahwa belum ada yang mengamalkan sunnah Jama'ah Imaamah sebagaimana yang telah mereka amalkan. Setelah mendapatkan laporan tersebut, Wali Al-Fatah mengatakan bahwa dunia ini luas, jangan sampai ada yang terlewat, coba dicari sekali lagi dan sambil diberitakan bahwa sunnah Jama'ah Imaamah telah diamalkan kembali dengan Imaamnya Wali Al-Fatah, jika ada Imaam dan Jama'ah yang lebih awal, maka diminta untuk memberitahukannya.
Ustad Ahmad Jibril Murtadho akhirnya kembali berangkat melaksanakan amanat tersebut untuk kembali mencari berita tentang pengamalan sunnah Jama'ah Imaamah tersebut. Dan amanat Imaam Wali Al-Fatah untuk memberitakan ditetapinya kembali sunnah Jama'ah Imaamah dengan dibaeatnya Imaam Wali Al-Fatah pada saat konfrensi Muslimin yang dilaksanakan di gedung Adhoc Stat dan diumumkan secara terbuka pada tgl 20 Agustus 1953 M/ 10 Dzulhijjah 1372 H yang informasinya segera disebarkan melalui siaran Radio Australia dan surat kabar Kempo di indonesia dan beberapa surat kabar lainnya agar diketahui oleh muslimin seluruh dunia.
Pada tahun 1958, Wali Al-Fatah resmi keluar dari Partai Politik Masyumi dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Biro Politik Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Dua tahun setelah Wali Al-Fatah keluar dari Partai Politik Masyumi, Presiden Soekarno membubarkan Partai Politik Masyumi karena mencurigai tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Pada tahun 1959, Ustadz Ahmad Jibril Murtadho kembali dengan jawaban yang sama bahwa belum ada yang mengamalkan sunnah Jama'ah Imaamah. Yang ada adalah pergerakan untuk mendirikan negara Islam seperti pergerakan Ikhwanul Muslimin dan NII di Indonesia serta organisasi masa Islam dan aliran-aliran yang berdasarkan pemahaman yang bersifat furu (cabang).
Dengan adanya laporan dari Ustadz Ahmad Jibril Murtadho, dan tidak adanya tanggapan atas berita yang disiarkan melalui siaran Radio Australia serta surat kabar, maka Imaam Wali Al-Fatah menetapkan bahwa Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang beliau pimpin adalah yang pertama dan hanya ada satu.
MUSYAWAROH AHLUL HALI WAL AQDHI
Pada tahun 1974, Imaam Wali Al-Fatah melaksanakan musyawarah Ahlul Hali Wal Aqdhi dengan mengundang para ulama dari ormas-ormas Islam dan meminta pandangan mereka atas apa yang telah diamalkan oleh Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang beliau pimipin. Apakah Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang telah diamalkan itu benar atau salah?
Jika benar, Imaam Wali Al-Fatah menyerukan untuk sama-sama mengamalkannya, jika salah tolong diluruskan berdasarkan dalil Kitabullah dan sunnah nabi-Nya. Tak ada satupun ulama yang menyatakan secara dalil bahwa Jama'ah Muslimin (Hizbullah) itu salah, akan tetapi menurut mereka belum waktunya. Karena menurut mereka masa mulkan itu belum selesai. Bahkan sampai sekarang banyak diantara ulama yang meyakini bahwa saat ini masih fase mulkan Jabariyyah.
Dengan keyakinan bahwa fase-fase yang dijelaskan pada hadis itu adalah hanya berkaitan dengan kepemimpinan kaum muslimin, maka Wali Al-Fatah dan Jama'ah Muslimin (Hizbullah) meyakini bahwa fase mulkan telah berlalu dengan runtuhnya kesultanan Utsmaniyah Turki pada tahun 1924. Oleh karena itu, muslimin tidak lagi mempunyai pemimpin sentral. Sehingga apa yang diamalkan oleh Jama'ah Muslimin (Hizbullah) Justru telah mewujudkan kembali Imaamah yang tidak boleh hilang dari muka bumi agar Islam dapat terwujud sebagaimana yang dinyatakan oleh Kholifah Umar bin Khattab radiyallahu anhu :
Khalifah Umar bin Khattab radiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya tidak ada Islam Kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada Jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ditaati." (H.R Ad-Darimi Sunan Ad–Darimi dalam bab Dzihabul I’lmi: I/79).
Dengan merujuk kepada atsar Kholifah Umar bin Khattab serta dalil-dalil tentang perintah menetapi Al-Jama'ah dan wajib adanya Imaam, maka Imaam Wali Al-Fatah menetapkan bahwa Jama'ah Muslimin (Hizbullah) adalah sesuai dengan dalil dan wajib untuk diamalkan.
Setelah Musyawarah Ahlu Hali wal Aqdhi tersebut, Imaam Wali Al-Fatah mengirimkan surat kepada Raja Faishal dari kerajaan Arab Saudi dan menyerukan kepada beliau untuk ikut mengamalkan sunnah Jama'ah Imaamah tersebut. Raja Faishal mengirimkan surat balasan dan menyatakan bersyukur serta mengucapkan alhamdulillah bahwa sunnah Jama'ah Imaamah telah diamalkan kembali namun beliau belum dapat mengikutinya. Tidak lama setelah membalas surat dari Imaam Wali Al-Fatah tersebut, Raja Faishal tewas terbunuh oleh keponakannya sendiri.
Setelah 23 tahun mengemban amanat sebagai Imaam, pada tahun 1976 Imaam Wali Al-Fatah dipanggil kehadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebelum jenazah Imaam Wali Al-Fatah dimakamkan, telah dibae'at Imaam Muhyidin Hamidy sebagai pengganti Al-Marhum Imaam Wali Al-Fatah yang telah mendahuluinya dan masih dipercaya oleh Allah untuk mengemban amanat Imaam dalam Jama'ah Muslimin (Hizbullah) hingga saat ini.
0 komentar:
Post a Comment