Christiaan Snouck Hurgronje
Home »
» Christiaan Snouck Hurgronje
Fatahillah dan pasukan-pasukannya itu, saat mengenyahkan Portugis dari bandar Sunda Kelapa menyadari bahwa peperangan di Teluk Jakarta ini merupakan perang suci demi syiar Islam. Karena kedatangan Portugis di Indonesia tak dapat dipisahkan dari missi Kristen. Apalagi sebelumnya negara di Eropa Barat ini telah menguasai Malaka, yang merupakan jalur pelayaran penting ke Indonesia.
Mr Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, tegas-tegas menyebutkan bahwa kedatangan Portugis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kelanjutan Perang Salib. Karena menurut Hamid Algadri, dengan menguasai Indonesia, Portugis ingin memotong rute perdagangan yang sudah terjalin berabad-abad antara negara-negara Islam di Timur Tengah dengan Kepulauan Indonesia.
Portugis berpendapat akibat menguasai rute perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Indonesia inilah menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik negara-negara Islam. Perlu dimaklumi, abad ke-15 dan 16 Portugis dan Spanyol masih terlibat dalam Perang Salib di Semenanjung Iberia (Spanyol). Dengan Portugis menjadi pemimpin agama Kristen melawan Islam. Perdagangan rempah-rempah waktu itu dari Kepulauan Indonesia melalui Selat Malaka sebagian besar diangkut oleh para pedagang Arab ke Laut Merah. Baru kemudian diperdagangkan ke Eropa.
Jadi, ketika Portugis menaklukkan Selat Malaka dan berupaya menaklukkan Indonesia, menurut Hamid Algadri bukan hanya punya motif dagang, tapi juga agama.
Hampir satu abad setelah Portugis diusir dari Sunda Kelapa, Gubernur Jenderal JP Coen (1619), saat menaklukkan Pangeran Jayakarta sekaligus membakar keraton dan sebuah masjid milik pangeran dan anak buahnya. Tapi, pada awal-awal penjajahan itu Belanda selalu mendapat perlawanan baik dari Pangeran Jayakarta dan anak buahnya yang bergerilya di hutan-hutan sekitar daerah Jatinegara. Perlawanan yang lebih dahsyat
juga datang dari Kerajaan Islam Mataram, selama dua kali mengirimkan ekspedisi militer ke Jakarta. Di susul dengan pasukan-pasukan dari Kesultanan Islam Banten.
Di Indonesia, Belanda menyadari kenyataan bahwa sebagian besar penduduk negeri yang dijajahnya ini beragama Islam. Berbagai peperangan seperti Perang Paderi (1821-1827) di Sumatera Barat. Disusul Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) semuanya tidak lepas dari ajaran dan semangat Islam. Masih banyak lagi pemberontakan yang dilakukan para pejuang Islam yang membuat repot pemerintah kolonial.
Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada 1889, tokoh Kristen yang menguasai bahasa Arab dan pengetahuan Islam yang dalam, ia dengan politik Islamnya berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu. (H Aqib Suminto - Politik Islam Hindia Belanda).
Bagi Snouck, yang pernah berhaji, musuh kolonialisme Belanda bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Sekalipun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun Snouck menyadari bahwa orang Islam di Indonesia memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Menghadapi medan seperti ini, Snouck membedakan Islam dalam arti ''ibadah'' dengan Islam sebagai ''kekuatan sosial politik''. Karenanya pemerintah kolonial Belanda berupaya agar umat Islam hanya gandrung pada hal-hal ritual semata. Dan menghalangi kajian-kajian Islam karena ditakutkan bisa menimbulkan perlawanan. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia
Dutch scholar Snouck Hurgronje.
|
|
Lahir | 8 Februari 1857 Oosterhout, Belanda |
Meninggal | 26 Juni 1936 Leiden, Belanda |
Pekerjaan | Profesor, penulis, mata-mata, penasihat kolonial. |
Kewarganegaraan | Belanda |
- "Snouck Hurgronje" beralih ke halaman ini. Untuk keluarga, lihat Snouck Hurgronje (keluarga)

Lahir di Oosterhout pada tahun 1857, ia menjadi mahasiswa teologi di Universitas Leiden pada tahun 1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest' ("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.
Snouck, yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk. Setelah berhasil menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dia adalah salah satu sarjana budaya Oriental Barat pertama yang melakukannya.
Sebagai wisatawan perintis, ia adalah orang langka asal Barat yang berada di Mekkah, tetapi memeluk budaya dan agama dengan penuh gairah sehingga ia berhasil membuat kesan kepada orang-orang bahwa ia masuk Islam.[1] Dia mengaku berpura-pura menjadi Muslim (hipokrit) seperti yang ia jelaskan dalam surat yang dikirim ke teman kuliahnya, Carl Bezold pada 18 Februari 1886 yang kini diarsipkan di Perpustakaan Universitas Heidelberg.[2][3]
Pada tahun 1889 ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.
Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913).
Dia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar 50.000 dan 100.000 penduduk tewas dan sekitar satu juta terluka.
Kesuksesannya dalam Perang Aceh membuatnya mendapatkan pengaruh dalam membentuk kebijakan pemerintahan kolonial sepanjang sisa keberadannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 Kembali di Belanda Snouck melanjutkan karier akademis yang sukses.
Latar belakang
Ketika koloni Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) didirikan pada tahun 1800, agama monoteistik dominan bagi sebagian besar masyarakat adat di Hindia Nusantara yang adalah Islam. Karena sinkretisme agama yang kuat, bentuk Islam dicampur dengan unsur-unsur dari agama yang lebih tua. Pedagang Arab dan peziarah haji yang kembali dari Mekkah, banyak dinyatakan interpretasi Islam yang lebih ortodoks. Hal ini menyebabkan munculnya varian ketat dari Islam dengan sebutan 'santri' dengan muslim yang lainnya disebut "abangan".[4]
Masjid di Hindia Belanda, 1900.

Hubungan antara pemerintah dan Islam dalam keadaan tidak nyaman. Kekuatan kolonial Belanda menggunakan prinsip pemisahan gereja dan negara dan ingin tetap netral dalam urusan agama. Namun yang sama pentingnya adalah keinginan untuk menjaga perdamaian dan ketertiban yang mana Islam adalah sumber awal inspirasi untuk memberontak melawan pemerintahan kolonial. Motif sosial dan politik terkait dengan keinginan agama berulang kali meledak menjadi kerusuhan dan perang seperti Perang Padri(1821-1837) dan Perang Aceh (1873-1904) di Sumatera.[4]
Kehidupan di Hindia Belanda

Bercita-cita untuk mereformasi kebijakan kolonial Belanda, Snouck pindah ke Hindia Belanda pada tahun 1889. Snouck awalnya ditunjuk sebagai peneliti pendidikan Islam di Buitenzorg dan profesor bahasa Arab di Batavia pada tahun 1890. Meskipun pada awalnya ia tidak diizinkan untuk mengunjungi Aceh di Sumatera, ia menolak tawaran untuk kembali ke Eropa dari Universitas Leiden dan Universitas Cambridge.
Pada tahun 1890 ia menikah dengan putri seorang bangsawan pribumi di Ciamis, Jawa Barat. Karena kontroversi ini disebabkan di Belanda, Snouck menyebut pernikahan ini sebagai "kesempatan ilmiah" untuk mempelajari dan menganalisis upacara pernikahan Islam. Empat anak telah lahir dari pernikahan ini.
Antara 1891-1892, Snouck yang saat itu telah fasih berbahasa Aceh, Melayu dan Jawa akhirnya pergi ke Aceh yang hancur oleh Perang Aceh yang berkepanjangan. Dia masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887.
Proposal penelitian kepada Gubernur Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun berjalan tanpa penghalang. Di bawah nama "Haji Abdul Ghaffar", ia membangun sebuah hubungan kepercayaan dengan unsur agama penduduk di wilayah ini.
Dalam laporan tentang situasi agama-politik di Aceh, Snouck sangat menentang penggunaan taktik teror militer terhadap rakyat Aceh dan sebaliknya menganjurkan spionase terorganisir sistematis dan memenangkan dukungan dari elit aristokrat. Namun Ia melakukan dengan mengidentifikasi sarjana radikal Muslim (Ulama) yang akan menyerah dengan menunjukkan kekuatan.[5]
Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891 dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.
Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik Divide et impera. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik. Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.
Pada tahun 1898 Snouck menjadi penasihat terdekat Kolonel Van Heutsz dalam "menenangkan" Aceh dan nasihatnya berperan dalam membalikkan keberuntungan Belanda dalam mengakhiri Perang Aceh yang berlarut-larut. Hubungan antara Heutsz dan Snouck memburuk ketika Heutsz terbukti tidak mau menerapkan ide Snouck untuk administrasi dan etika tercerahkan.
Pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Snouck terpaksa membalikkan metode dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Ini menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh.
Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk. Di tahun yang sama, Snouck menikahi wanita pribumi lain dan memiliki seorang putra pada tahun 1905. Kecewa dengan kebijakan kolonial, ia kembali ke Belanda tahun depan untuk melanjutkan karier akademis yang sukses.[6]
Tahun terakhir
Makam Snouck Hurgronje di Leiden

Selama dan setelah masa akademisnya Snouck tetap menjadi penasihat kolonial progresif dan kritikus. Visi reformis untuk memecahkan tantangan hubungan abadi antara Belanda dan Hindia didasarkan pada prinsip asosiasi. Untuk mencapai hubungan masa depan ini dan mengakhiri pemerintahan dualis ada Hindia Belanda, ia menganjurkan otonomi peningkatan melalui pendidikan barat elit pemerintahan adat.
Pada tahun 1923 ia menyerukan: "reformasi Kuat dari konstitusi Hindia Belanda" di mana "kita harus istirahat dengan konsep inferioritas moral dan intelektual pribumi" dan memungkinkan mereka "tubuh demokratis yang bebas dan representatif dan otonomi optimal". Unsur-unsur konservatif di Belanda bereaksi dengan membiayai sebuah sekolah alternatif bagi Pegawai Negeri Sipil di Colonial Utrecht.[7]
Keluarga
Snouck Hurgronje menikah 4 kali. Yang pertama adalah dengan seorang wanita di Jeddah. Pada tahun 1890, ia menikah dengan Sangkana, puteri Raden Haji Mohammad Taik, penghulu di Ciamis dan dikaruniai 4 orang anak. Sayang, pada tahun 1896, saat mengandung anak ke-5, Sangkana keguguran dan meninggal bersama bayi yang dikandungnya.Tak sampai 2 tahun kemudian, Snouck Hurgronje menikah lagi. Kali ini dengan Siti Sadiah, puteri Kalipah Apo, wakil penghulu di Bandung. Dari pernikahan itu mereka dikarunai seorang anak bernama Raden Joesoef. Namun setelah itu, Snouck Hugronje dipanggil pulang ke Belanda. Raden Joesoef sendiri memiliki 11 orang anak. Yang paling sulung adalah Eddy Joesoef, pemain bulu tangkis yang pada tahun 1958 berhasil merebut Piala Thomas di Singapura.
Pengembaraannya berakhir 1906 dan kembali ke Belanda. Pada 1910, di Belanda, ia kawin dengan Ida Maria, putri seorang pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Setelah dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Leiden pada 1907 (tiga tahun setelah menikah), ia menekuni profesi sebagai penasihat Menteri Urusan Koloni. Pekerjaan ini diemban hingga akhir hayatnya, 16 Juli 1936.
Pemain sepak bola Belanda, Albert Snouck Hurgronje, adalah keponakan Christiaan Snouck Hurgronje dari adik sepupunya Antony Emile Snouck Hurgronje.
Sumber

The Leiden University Fund(Belanda: Leids Universiteits Fonds) didedikasikan untuk reformasi universitas yang terletak di 'Snouck Hurgronjehuis', dimana rumah Snouck disumbangkan ke Universitas.
0 komentar:
Post a Comment