MUso, Amir Syarifuddin, Dipa Nusantara (DN) Aidit, Muhammad Hatta Lukman, Njoto
Home »
» MUso, Amir Syarifuddin, Dipa Nusantara (DN) Aidit, Muhammad Hatta Lukman, Njoto
Muso
Merdeka.com - Negara
Republik Soviet Indonesia yang diproklamirkan tokoh komunis Muso di
Madiun tak berumur panjang. Negara yang didirikan tanggal 18 September
1948 itu langsung dihancurkan pasukan TNI yang menyerang dari Timur dan
Barat. Dalam waktu dua minggu, kekuatan bersenjata tentara Muso
dihancurkan pasukan TNI.
Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI
Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat.
Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.
Tanggal
31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso
di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi
di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.
Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.
Amir Syarifuddin
Merdeka.com - Amir
Syarifuddin pernah menempati sejumlah posisi penting saat Indonesia
baru merdeka. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan,
bahkan Perdama Menteri Republik Indonesia. Tapi hasil perjanjian
Renville memutar nasib Amir 180 derajat.Muso
Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat. Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.
Tanggal 31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.
Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.
Amir Syarifuddin
Saat itu Amir menjadi negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. Dia kemudian bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal 19 September 1948.
Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. Tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama para pemberontak Madiun yang tertangkap. Eksekusi dilakukan dengan buru-buru.
Sebelum meninggal Amir menyanyikan lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya.
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang politikus sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung.[1] Berasal dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis.
Kehidupan awal
Lahir dalam aristokrasi Sumatera di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).[1] Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society.[1] Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.[1] Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Pendidikan
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Perjuangan
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
Jabatan
- Menteri pada Kabinet Presidensial, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, Kabinet Sjahrir III
- Perdana Menteri: 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948, membentuk Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II
Peristiwa Madiun
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pada masa pemerintahan Hatta PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut ditangkap beserta beberapa kawannya.19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta
Referensi
Pranala luar
- (Indonesia) Sekilas tentang Amir Sjarifuddin (Arsip)
- (Indonesia) Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap)
(lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta,
Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang
politikus sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia.
Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia
sedang berlangsung. Berasal dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi
pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia
dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan
komunis.
Lahir dalam aristokrasi Sumatera di kota Medan, latar belakang Amir yang
kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk
masuk ke sekolah-sekolah paling elit. Ia dididik di Haarlem dan Leiden
di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang
Jakarta). Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat
di bawah pengawasan Theosophical Society. Amir pindah dari Islam ke
Kristen pada tahun 1931. Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja
Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Perjuangan
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan
menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang
aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme.
Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan
kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal,
menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia
Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak
mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih
kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta
tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh
taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang
akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis
Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah
gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini
dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti
fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir.
Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi
Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun
identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita
ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman
terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo
Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence
Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni
1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan
massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu
bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal
dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan
fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana
ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak
dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari
Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan
sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas
persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pada masa pemerintahan Hatta, PKI
berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang
terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang
pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam
rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut ditangkap beserta
beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan,
kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan
Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata
Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat
diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas
orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang
pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan
beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah
penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta.
Pada tanggal 29 November 1948, Amir Sjarifuddin dan lima kawannya
ditangkap. Saat itu ia sudah berjenggot panjang dan berambut gondrong.
Kacamatanya masih bagus. Ia berjalan pincang. Badannya terlihat sangat
kurus dan pucat.
Mereka kemudian dibawa ke Kudus dan Solo. Tiba di Solo, Amir dan
kawan-kawan diserahkan kepada Kolonel Gatot Subroto. Konon, Gatot
Subroto sempat menyuguhi mereka kopi, lalu dibawa ke penjara. Nasution
juga sempat bertemu dengan mereka. Saat itu Amir dan kawan-kawan tinggal
berpakaian celana dalam dan duduk di lantai.
Tanggal 5 Desember, Amir dan kawan-kawan tiba di Jogjakarta dengan
menggunakan kereta api. Mereka ditunggu oleh beribu-ribu orang. Wartawan
dibolehkan mewancarai mereka. Namun, Amir hanya terdiam dan membaca
Shakespeare. Mereka kemudian dibawa ke benteng Fort Vredeburg. Selama di
penjara pun Amir Sjarifuddin menghabiskan hari-harinya dengan membaca.
Namun, pada tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan serbuan militer
ke wilayah Republik, Amir dan kawan-kawannya dieksekusi di desa
Ngalihan. Sebelum dieksekusi, Amir dan 10 kawannya menyanyikan lagu
Indonesia Raya dan Internasionale. Usai menyanyi, Amir berseru:
bersatulah kaum Buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu. Tak lama
kemudian, mereka dieksekusi atas perintah Kolonel Gatot Subroto.
Eksekusi terhadap Amir Sjarifuddin terkesan tergesa-gesa. Bahkan, tanpa
sepengetahuan Soekarno. AM Hanafi dalam AM Hanafi Menggugat
mengungkapkan bahwa Soekarno saat itu setuju untuk “mengurus” Amir
Sjarifuddin. Artinya, Soekarno menyetujui agar Amir tidak dieksekusi
sebagaimana yang terjadi kemudian.
Menurut Hanafi, ketika Amir dan kawan-kawannya ditahan di benteng Fort
Vredeburg, Asmara Hadi mememinta tolong kepada AM Hanafie untuk memohon
kepada Soekarno agar Amir Sjarifuddin tidak dihukum mati. Saat itu
Asmara Hadi sedang di Padokan, di luar kota Yogyakarta, untuk
menyelesaikan buku Soekarno, Sarinah.
Dengan air mata berlinang, Asmara Hadi meminta kepada AM Hanafi, “Fi,
kalau kau bisa, tolong selamatkan Bung Amir, tolong dia Fi, dia bekas
Ketua kita di GERINDO, ex Menteri Pertahanan dan ex Perdana Menteri.
Untuk menyelamatkan Bung Amir kau sendiri coba ketemu Bung Karno.”
Asmara Hadi sendiri sebetulnya sangat dekat dengan Soekarno. Dia
dianggap anak ideologis Soekarno. Tak hanya itu, ia adalah suami dari
Ratna Djoeami, anak angkat dari Soekarno. Namun, pada saat itu, Asmara
Hadi sibuk mengurus penyelesaian buku Sarinah.
Singkat cerita, AM Hanadi menyanggupi permintaan Asmara Hadi. Karenanya,
di suatu hari sehabis Magrib, Hanafi menemui Soekarno di Istana
Jogjakarta. Tanpa berbasa-basi Hanafi langsung menyampaikan maksudnya:
“Saya minta Bung Karno selamatkan Bung Amir, Hadi yang menyuruh saya
ketemu Bung.”
Mendengar permintaan Hanafi, Soekarno menanyakan posisi Amir. Hanafi pun
langsung menjawab, “Dia ada di depan kita ini, di dalam benteng di
depan Istana ini, tadi siang dia dengan kawan-kawannya dibawa oleh
sepasukan tentara di dalam truck terbuka ke dalam benteng itu.”
Soekarno menyanggupi permintaan Hanafi. “Baiklah akan saya urus… tapi
kau tidak tahu persoalannya,” kata Soekarno. Hanafi langsung menjawab:
“Saya tahu soalnya, saya kan bukan pemuda seperti bengkulu dulu, saya
sudah Bung angkat jadi letnan kolonel, kan, yang penting selamatkan Amir
itu dulu, nanti bisa diurus perkaranya.”
Singkat cerita, Soekarno menyetujui permintaan Asmara Hadi agar Amir
Sjarifuddin tidak dihukum mati. Sayang, seperti dituturkan oleh Hanafi,
malam itu juga Amir dan 10 kawannya dipindahkan dengan truk militer. Dan
proses pemindahan ini tidak diketahui Soekarno. Tak lama kemudian, Amir
dieksekusi oleh tentara.
Menurut beberapa sumber, perintah eksekusi terhadap Amir dan 10 kawannya
murni inisiatif Kolonel Gatot Subroto, yang saat itu menjabat Gubernur
Militer Surakarta. Terkait tindakan Gatot itu, Bung Hatta
membenarkannya. Alasannya, sebagai Gubernur Militer saat itu, Gatot
punya wewenang untuk melakukan tindakan itu. Apalagi dalam situsi
dimulainya serangan militer Belanda.
Harry A Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mengatakan, Hatta
berencana agar Amir dan semua pimpinan PKI dibawa kepengadilan. Dan
dengan begitu, ada landasan untuk melarang Partai Komunis. Sedangkan
George McTurnan Kahin (1995:9) mengungkapkan, bahwa Hatta mengatakan
kepadanya bahwa “ia sangat marah karena Amir Sjarifuddin telah ditembak
mati tanpa proses pengadilan, dan bertentangan dengan apa yang
dikatakannya, yaitu perintahnya agar tentara mengevakuasinya (Amir) dan
pemimpin-pemimpin pemberontak lainnya yang telah tertangkap andai kata
terjadi serangan Belanda.”
Harry A Poeze mengungkapkan, pada tanggal 18 Desember 1948, sehari
sebelum serangan Belanda dan sekaligus proses eksekusi Amir dan
kawan-kawan, Kabinet Hatta menggelar sidang yang berlangsung sangat
panas. Salah satu agenda sidang itu membahas nasib para pemimpin PKI,
termasuk Amir. Dari 12 Menteri yang hadir, 4 orang setuju eksekusi, 4
orang menolak, dan 4 orang abstain. Soekarno, yang mengetahui suasana
rapat itu, datang dan kemudian menggunakan hak veto-nya, bahwa Amir
Sjarifuddin tidak boleh dihukum mati.
Ini bukan pertama-kalinya Soekarno mau menyelamatkan Amir. Tahun 1943,
Amir yang memimpin gerakan bawah-tanah anti-fasis ditangkap oleh militer
Jepang. Tahun 1944, ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer
Jepang. Namun, proses pelaksanaan hukuman mati itu berhasil dibatalkan
berkat campur tangan Soekarno. “Bebaskan dia (Amir) atau kalau tidak,
jangan diharap lagi kerjasama dari saya,” kata Soekarno kepada pemimpin
Jepang.
Dalam pidato pembelaannya di Sidang Pengadilan Negeri Jakarta, 24
Februari 1955, yang berjudul “Menggugat Peristiwa Madiun”, DN Aidit
melemparkan semua kesalahan terkait eksekusi Amir dan kawan-kawan kepada
pemeritahan Hatta-Sukiman-Natsir. Pidato pembelaan itu cenderung
menyelamatkan Soekarno dari dosa peristiwa Madiun. Ada dua alasan yang
menjadi pegangan Aidit. Pertama, pidato Soekarno bulan November 1948
bahwa “putusan hukuman mati harus oleh pemerintah pusat dan semua
hukuman harus melalui proses pengadilan. Kedua, berdasarkan Keputusan
Badan Pekerja KNIP, kekuasaan penuh (plein pouvoir) selama 3 bulan yang
berikan kepada Presiden Soekarno hanya berlaku hingga tanggal 15
Desember 1948. Dengan demikian, proses eksekusi mati terhadap Amir dan
pemimpin PKI lainnya sudah diluar kekuasaan Soekarno.
Orang bisa saja menuding argumentasi Aidit di atas sebagai argumentasi
politik, yakni argumentasi yang disusun sedemikian rupa demi tujuan
politik organisasinya saat itu, yakni membangun front anti-imperialisme
bersama dengan Soekarno. Namun, satu hal yang tidak bisa disangkal,
bahwa proses eksekusi mati terhadap Amir dan 10 kawannya adalah diluar
keinginan dan keputusan Soekarno. Gatot Subroto dan Hatta-lah yang
paling bertanggung-jawab atas peristiwa eksekusi tanpa melalui proses
peradilan tersebut.
NAMANYA
Amir Syarifuddin Harahap. Dia lahir dari keluarga Batak Islam, di
Medan, Sumatera Utara, pada 27 April 1907. Dia merupakan anak pasangan
Djamin Baginda Soripada Harahap dan Basunu Siregar.
Masa kecilnya, dihabiskan di Medan. Dia menamatkan sekolah dasarnya di ELS dan tamat tahun 1921. Pada tahun 1926, dia diberangkatkan ke Leiden, Belanda, untuk meneruskan pendidikannya. Namun, di sana dia hanya bertahan setahun.
Selama berada di Belanda, Amir menginap di rumah Dirk Smink, seorang guru agama Kristen beraliran Calvinis. Di sini, dia dikenalkan dengan ajaran agama Kristen dan mulai aktif dalam Perhimpunan Siswa Gymnasium Haarlem.
Dia juga banyak terlibat diskusi dengan kelompok Kristen tentang keimanan. Kegiatan itu mengubah keyakinan Amir dari Islam ke Kristen. Setelah setahun menetap di Belanda, Amir kembali ke Tanah Air dan langsung dibaptis.
Di awal kedatangannya, Amir masih membawa misi Calvinis dan terlibat diskusi aktif dengan aktivis Kristen. Dia ikut membidani kelahiran Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Setibanya di Jakarta, dia mendaftar ke sekolah hukum tahun 1927. Saat itu, situasi Indonesia sangat mencekam. Aktivitas pergerakan berlangsung di bawah mata-mata Belanda. Namun minat Amir terhadap organisasi sangat tinggi.
Dengan keahliannya berpidato dan berorganisasi selama di Belanda, dia segera menyita perhatian kaum pergerakan dan mulai dikenal. Dari sinilah, persahabatannya dengan Sutan Sjahrir dan kaum sosialis terbangun.
Setahun kemudian, dia terlibat dalam Kongres Pemuda 2 yang mencetuskan Sumpah Pemuda, tahun 1928. Inilah puncak karir politik Amir yang pertama di zaman prakemerdekaan.
Memasuki tahun 1930, pandangan politik Amir semakin ke kiri-kirian. Namun tidak dengan keyakinan agamanya. Dia tetap menjadi seorang Kristen yang taat sekaligus seorang revolusioner.
Dia juga sempat menjadi pengikut Soekarno dan bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) yang bercirikan nasionalis radikal. Di situ, dia memegang jabatan di bidang pendidikan. Namun hal itu tidak berlangsung lama.
Tahun 1935, Musso, tokoh PKI 1926/1927 yang dalam pelarian kembali ke Indonesia bertemu dengan Amir. Saat pertemuan itu, Amir dibaptis untuk yang kedua kalinya. Namun untuk menjadi kader PKI bawah tanah yang militan.
source: http://nasional.sindonews.com/read/821858/15/amir-syarifuddin-dalam-bingkai-sejarah-1388374900
Dipa Nusantara (DN) Aidit
Dipa Nusantara (DN) Aidit langsung melarikan diri dari Jakarta saat Gerakan 30 September 1965 gagal. Aidit lari ke daerah basis PKI di Yogyakarta. Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo. Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan koordinasi.
Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari.
Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.
Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.
Muhammad Hatta Lukman
Muhammad Hatta Lukman, orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. MH Lukman mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.
Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.
Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai 'jalan mati'. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati.
Amir Syarifuddin Harahap. Dia lahir dari keluarga Batak Islam, di Medan, Sumatera Utara, pada 27 April 1907. Dia merupakan anak pasangan Djamin Baginda Soripada Harahap dan Basunu Siregar.
Masa kecilnya, dihabiskan di Medan. Dia menamatkan sekolah dasarnya di ELS dan tamat tahun 1921. Pada tahun 1926, dia diberangkatkan ke Leiden, Belanda, untuk meneruskan pendidikannya. Namun, di sana dia hanya bertahan setahun.
Selama berada di Belanda, Amir menginap di rumah Dirk Smink, seorang guru agama Kristen beraliran Calvinis. Di sini, dia dikenalkan dengan ajaran agama Kristen dan mulai aktif dalam Perhimpunan Siswa Gymnasium Haarlem.
Dia juga banyak terlibat diskusi dengan kelompok Kristen tentang keimanan. Kegiatan itu mengubah keyakinan Amir dari Islam ke Kristen. Setelah setahun menetap di Belanda, Amir kembali ke Tanah Air dan langsung dibaptis.
Di awal kedatangannya, Amir masih membawa misi Calvinis dan terlibat diskusi aktif dengan aktivis Kristen. Dia ikut membidani kelahiran Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Setibanya di Jakarta, dia mendaftar ke sekolah hukum tahun 1927. Saat itu, situasi Indonesia sangat mencekam. Aktivitas pergerakan berlangsung di bawah mata-mata Belanda. Namun minat Amir terhadap organisasi sangat tinggi.
Dengan keahliannya berpidato dan berorganisasi selama di Belanda, dia segera menyita perhatian kaum pergerakan dan mulai dikenal. Dari sinilah, persahabatannya dengan Sutan Sjahrir dan kaum sosialis terbangun.
Setahun kemudian, dia terlibat dalam Kongres Pemuda 2 yang mencetuskan Sumpah Pemuda, tahun 1928. Inilah puncak karir politik Amir yang pertama di zaman prakemerdekaan.
Memasuki tahun 1930, pandangan politik Amir semakin ke kiri-kirian. Namun tidak dengan keyakinan agamanya. Dia tetap menjadi seorang Kristen yang taat sekaligus seorang revolusioner.
Dia juga sempat menjadi pengikut Soekarno dan bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) yang bercirikan nasionalis radikal. Di situ, dia memegang jabatan di bidang pendidikan. Namun hal itu tidak berlangsung lama.
Tahun 1935, Musso, tokoh PKI 1926/1927 yang dalam pelarian kembali ke Indonesia bertemu dengan Amir. Saat pertemuan itu, Amir dibaptis untuk yang kedua kalinya. Namun untuk menjadi kader PKI bawah tanah yang militan.
source: http://nasional.sindonews.com/read/821858/15/amir-syarifuddin-dalam-bingkai-sejarah-1388374900
Njoto
Njoto merupakan Wakil Ketua II Comite Central PKI. Orang ketiga saat PKI menggapai masa jayanya periode 1955 hingga 1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Aidit sempat menganggap Njoto lebih Sukarnois daripada Komunis.
Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno. Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang cerdas.
Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.
Kematian Njoto pun simpang siur. Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.
Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.
SUMBER : http://www.merdeka.com/peristiwa/5-cerita-tragis-akhir-hidup-tokoh-pki/njoto.html,
WIKIPEDIA, http://nasional.sindonews.com/read/821858/15/amir-syarifuddin-dalam-bingkai-sejarah-1388374900, http://www.pengetahuanlengkap.com/2015/03/biografi-singkat-amir-syarifuddin.html
0 komentar:
Post a Comment