SDM Indonesia Big Super Jempol

Home » » SDM Indonesia Big Super Jempol
Penemu diantara ribuan penemu dari Indonesia..

1. Tjandramukti
Peneliti pertanian tropis dan salah satu pelopor mixed farming yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya di desa ini, sekitar tahun 2000 berhasil menemukan varietas kedelai baru yang memiliki produktifitas yang tinggi, mencapai 3,4 ton per hektar (salah satu yang tertinggi di daerah tropis secara internasional ), dibandingkan rata- rata nasional yang hanya 1,3 ton per hektar.

Kedelai ini memiliki ukuran besar, protein yang tinggi (43,9 %), umur yang pendek (72 hari), dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik di daerah tropis bila ditanam dengan best practice yang beliau kembangkan. Hasil pemurnian bertahun- tahun dalam keadaan yang terkontrol, pada akhirnya menghasilkan dua varietas kedelai unggul, yang pertama telah diserahkan kepada pemerintah daerah dan di daftarkan menjadi benih kedelai unggul nasional dengan nama Kedelai Grobogan, sedang varietas yang lain belum didaftarkan.

Selain kedelai, beliau juga menemukan konsep sumur resapan komunal untuk memanen air hujan di lahan persawahan serta metode optimalisasi tanaman subtropis di daerah tropis seperti ketela pohon, jagung, dan kedelai. (wah hebat )

2. Mujair

Mujair adalah nama seorang bapak yang pada tahun 1939 menemukan ikan yang pada akhirnya dinamai dengan nama yang sama di muara sungai Serang, Blitar.Beliau berhasil mengembangbiakkan ikan yang bukan asli perairan Indonesia dan menjadi populer hingga sekarang. (baru tau ternyata mujair ntu nama orang ) pak mujair itu mengembangbiakkan ikan yang aslinya ikan laut menjadi ikan air tawar ...!!!

3. Prof. Poorwo Soedarmo

Anda pasti hapal apa itu Empat Sehat Lima Sempurna, suatu slogan yang sangat mudah diingat dan tidak dapat dipungkiri berhasil dalam menyehatkan masyarakat Indonesia.Slogan atau lebih tepatnya konsep ini dicetuskan oleh seorang tokoh gizi Indonesia kelahiran Malang pada tahun 1904 bernama Poorwo Soedarmo. (ini juga di SD udah terkenal slogannya tapi penemunya kok ane baru tau )


4. Tjokorda Raka Sukawati

Beliau adalah penemu metode Sosrobahu
Sistem pembuatan penyangga jalan layang secara sejajar dengan jalan yang akan dibuat, dan dapat diputar dengan mudah bila akan digunakan. Sistem ini menghemat tempat, sehingga tidak memacetkan lalu lintas di bawahnya bila sebuah jalan layang dibuat di atas jalan lain (WOW )


5. Prof. Ir. R.M. Sedyatmo

Lulusan ITB angkatan 1934 ini berhasil menemukan pondasi cakar ayam pada tahun 1962
Sistem pondasi ini memungkinkan pembangunan di atas lahan yang labil, seperti landasan pacu pelabuhan udara Soekarno Hatta, Jakarta, dan banyak bangunan lain di seluruh dunia. (dari Indonesia nih )
INSPIRASINYA

Inspirasi datang bersama angin dan debur ombak. Saat itu, suatu hari di tahun 1961, Sedijatmo sedang piknik bersama keluarga di Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Ketika itu, secara tak sengaja, pandangannya menancap ke batang pohon nyiur yang meliuk dan melambai tertiup angin. Muncul pertanyaan di benak Direktur Dinas Perencanaan dan Pembangunan - Perusahaan Listrik Negara (PLN) ini. “Mengapa nyiur bisa berdiri kokoh di tanah lunak meski tertiup angin dan deburan ombak?” Padahal, tubuhnya yang menjulang hanya ditopang akar serabut yang tak terlalu dalam.

Kebetulan, Datmo, begitu nama panggilan insinyur itu, tengah memimpin projek besar pembangunan tiang listrik tegangan tinggi di daerah Ancol, kawasan pantai bertanah rawa yang lembek. Lapisan tanah keras di sana bisa mencapai kedalaman 25 meter.

Inspirasi pohon nyiur itu mendorong Datmo, yang ketika itu berusia 52 tahun, membuat rancangan fondasi yang cocok untuk tanah tak stabil seperti daerah rawa. Jadilah fondasi “berserabut” pipa beton yang menyangga kontruksi tower listrik tegangan tinggi. Dengan cara konvensional,tower itu mestinya dibangun dengan fondasi bertiang pancang panjang yang menancap dalam sampai ke lapisan tanah keras.

Secara fisik, bentuk fondasi ala Sedijatmo ini mirip dengan fondasi tiang pancang. Sebuah pelat beton menjadi landasan berdirinya tower. Di bawah pelat yang tebalnya 10-12 sentimeter itu mencuat pipa-pipa beton dengan diameter 50 sentimeter yang satu sama lain berjarak 1-1,5 meter. Hanya saja, pipa ini tak harus memanjang seperti tiang pancang yang mencapai lapisan tanah keras.

Kaki-kaki itu menggantung hanya 3,5 meter panjangnya. Meski tak sampai mencengkeram tanah keras, kaki-kaki “cakar ayam” itu sudah cukup kuat sebagai stabilisator konstruksi yang sanggup menahan tekanan dari atas dan samping. Karena bentuknya mirip kaki ayam, jadilah fondasi ini dinamakan “Fondasi Cakar Ayam”.

Meski secara fisik mirip, cara kerja Fondasi Cakar Ayam berbeda dengan jenis fondasi konvensional. Fondasi ini sangat mengandalkan tekanan pasif tanah dan gaya lateral yang diterima pelat. Itu sebabnya, kedalaman fondasi ini tidak perlu menembus tanah keras. Bandingkan dengan fondasi tiang pancang pada umumnya yang mengandalkan daya dukung tanah keras untuk kekuatannya. Dibandingkan dengan fondasi friction pile pun, Fondasi Cakar Ayam masih lebih efisien, karena tak harus dilengkapi kaki-kaki panjang.

Sukses pemancangan Fondasi Cakar Ayam di Ancol itu kemudian diikuti keberhasilan tower-tower lain. Pemakaiannya meluas, tidak terbatas pada konstruksi menara. Bandara Juanda Surabaya dan Bandara Polonia Medan juga memanfaatkan kuatnya cengkeraman cakar-cakar beton temuan pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 24 Oktober 1909 ini. Hasil pengujian di Polonia menunjukkan bahwa Fondasi Cakar Ayam mampu mereduksi hingga 75% tekanan pada tanah di bawah landasan pacu. Konstruksi cakar ayam ini telah menunjukkan keandalannya, bahkan setelah diuji puluhan tahun.

Yang paling monumental, ya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dari 1.800 hektare (18 km persegi) pengerasan lahan di sana, 120 hektare diantaranya memanfaatkan teknologi cakar ayam. Pemakaiannya mulai dari apron (tempat parkir pesawat terbang), taxi way, hingga landasan pacu di bandara yang tata bangunannya mendapat penghargaan arsitektur lansekap Aga Khan pada 1995 itu.

Fondasi Cakar Ayam mencatat sejumlah kelebihan dibandingkan fondasi jenis lain. Karena fondasi ini letaknya tidak berada jauh dari permukaan tanah, pengerjaannya jauh lebih sederhana ketimbang jika harus memancang atau mengebor tanah.Biaya yang dihemat bisa sampai 30%, karena pengerjaannya lebih cepat dan material yang diperlukan lebih sedikit.

Fondasi Cakar Ayam temuan Sedijatmo telah memperoleh paten dari berbagai negara. Selain Indonesia, fondasi ini juga mendapat paten dari Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Belanda, Denmark dan Jerman. Fondasi Cakar Ayam, sebagai sebuah teknik, telah membuktikan mampu memberikan solusi pada zamannya.

Fondasi Cakar Ayam bukan satu-satunya temuan Sedijatmo. Ayah lima anak ini juga pemegang paten pipa pesat dan penemu pompa air curug. Bahkan pada 1971, ketika usianya 62 tahun, alumnus Technische Hoge School (THS) --sekarang ITB—ini masih berkarya. Ketika itu, ia memperkenalkan teknik “Bahari Ontoseno”, sebuah sistem pembuatan jembatan di sungai yang lebar seperti di daerah Kalimantan.

Atas segala karyanya itu, Sedijatmo memperoleh penghargaan Bintang Mahaputra Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama jalan tol di Bandara Soekarno-Hatta hingga kini. (Amalia K. Mala, Wahyu Aji) --- Sumber Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004.
6. Mukibat

Pak Mukibat adalah petani sederhana dari Kediri ini pada tahun 1950 menemukan sistem penanaman singkong yang revolusioner. Beliau menempelkan batang ketela pohon karet yang daunnya rimbun di atas ketela pohon biasa (grafting). Setelah di tanam hasilnya sangat luar biasa. Dengan sistem pemanenan berulang, sebuah ketela pohon dapat memproduksi hingga 5 kali lipat dari yang biasanya. Untuk menghormati sistem tempel pada ketela pohon saat ini secara internasional dinamai sistem Mukibat, meskipun saat ini banyak orang mengaku- aku sebagai sistem mereka dengan sedikit modifikasi dari aslinya.Tautan

7. BJ HABIBIE

bapak habibie juga salah satu penemu besar dari indonesia
dia adalah penemu Teori, Faktor dan Metode Habibie (Teknologi Pesawat Terbang)


8. Michael Iskandar a.k.a Om Chia
Beliau menemukan Mesin Big Bang yang di pakai dan si sukai Valentino Rossi

Sejak tahun 1949, Om Chia menjadi pembalap yang membawa bendera Suzuki. Loyalitasnya pada profesi yang dijalani melahirkan keparcayaan dah hasil yang maksimal. Hingga akhirnya pada tahun 60-an Om Chia berputar haluan, namun tetap dalam koridor dunia balap dengan menjadi mekanik.

Sejak saat itu, karirnya terus meningkat dan terus berkreasi sesuai iklim balap Indonesia dan mengawal berbagai pembalap tanah air.Namanya yang dikenal sebagai pembalap Suzuki ditahun 1949, kemudian berlanjut menjadi bagian tim riset balap motor Suzuki di tahun 1963 dan juga sebagai tokoh dibelakang suksesnya prestasi balap motor Indonesia.Beliau meninggal 4 mei 2010


9. Prof. Dr. Khoirul Anwar
Prof. Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang.

Khoirul adalah lulusan dari Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung dengan cum laude di tahun 2000. Meraih gelar master dan doktor dari Nara Institute of Science and Technology (NAIST) pada tahun 2005 dan 2008. Ia menerima IEEE Best Student Paper award of IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) 2006, California, USA.

10. Pak Minto

BERAWAL dari pemikiran, suatu saat kayu hutan dan minyak bumi akan habis. Minto(48), guru SD Negeri Prambon, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur(Jatim), memikirkan pembuatan kompor tenaga surya. Ketika itu tahun 1986.Pengetahuannya tentang sifat lensa dan penyerapannya terhadap panas mengilhamipembuatan kompor tenaga Matahari itu.

Minto mengakui, kompor tenaga surya berfungsi ganda yang dihasilkannya memang tidak praktis. "Memang perlu penyempurnaan, supaya lebih praktis," ujarnya. Kompor tenaga surya hasil buah karya Minto ini, tidak hanya dinikmati tetangga-tetangga dekatnya, tetapi juga oleh para pembelinya. Maukah CGI, World Bank, ADB atau UNDP membantu membiayai usaha2 Minto yang brilian ini

Sumber :

Diamping mereka berikut adalah 43 penemu lain dari Indonesia :
  1. ABDUL JAMIL RIDHO dan NITI SOEDIGDO
    Penemu Varietas Unggul Singkong Raksasa Darul Hidayah

    Di antara sekian banyak jenis singkong, barangkali singkong raksasa hasil temuan Abdul Jamil Ridho adalah jenis yang masih langka. Raksasa? Betul. Saat ditemui di Pameran Otonomi Daerah 2001 di JCC, Jakarta akhir Februari 2001 lalu, Niti Soedigdo, pengembang tanaman tersebut menceritakan bahwa singkong raksasa tersebut ditemukan setelah ulama asal lampung itu melakukan perenungan.

    Kisahnya dimulai seusai melakukan dzikir panjang, lima tahun lalu, di tengah hutan Panaragan Jaya, Lampung Utara, Ridho, pengelola Pondok Pesantren Darul Hidayah di Kota Tulang Bawang, Lampung itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebatang tanaman. Sekilas, tanaman tersebut memang terlihat sama dengan singkong di kebunnya. Namun, begitu dicermati lebih dekat, tampak ada sedikit perbedaan. Lantaran penasaran, tanaman itu pun dicabut dari tanah. Ternyata diameter singkongnya lebih kecil dibanding singkong umumnya. Tetapi panjang umbinya mencapai satu meter per batang jalar dalam satu rangkaian umbi. “Subhanallah”, ucap Ridho spontan waktu itu.

    Yakin bahwa tanaman itu bisa membawa berkah, ulama ini pun memutuskan untuk memboyong ke pondok pesantrennya. Di sanalah, singkong ‘aneh’ itu kemudian disulap menjadi singkong raksasa.

    Oleh Niti Soedigdo, orang kepercayaan ulama tadi, singkong tersebut tak hanya ditanam, namun juga direkayasa dan dikembangkan lagi olehnya agar menghasilkan singkong raksasa. Caranya dikawinkanlah singkong unggul itu dengan singkong karet untuk mengembangkan ukuran umbinya. “Singkong ini saya sambung dengan singkong karet”, ungkap Niti Soedigdo.

    Singkong karet adalah singkong yang tak bisa dimakan karena beracun. Namun untuk menghasilkan ukuran singkong yang dikehendaki, ternyata tidak mudah. Soedigdo mengaku butuh waktu hingga tiga tahun untuk bereksperimen. Dari panen pertama belum mencapai hasil itu, singkong persilangan itu ditanam lagi dan dilihat hasilnya. Itu pun belum mencapai hasil maksimal. Upaya ini dilakukan sampai tiga kali. Alhasil, dari generasi ketiga itulah singkong raksasa tersebut lahir.

    Sukses melakukan percobaan, oleh Soedigdo, batang singkong raksasa pun mulai dikembangkan. “Pak Ridho setuju jika singkong ini dikembangkan”, ujarnya. Pria subur yang juga ketua umum Gabungan Koperasi Pertanian Serba Guna “Sumber Jaya”, Lampung ini dengan yakin menyatakan bahwa singkong jenis ini sehat sepenuhnya, meskipun hasil perkawinan dengan singkong beracun. “Itu sebabnya, ini termasuk temuan spektakuler”, aku Soedigdo. Pria berusia 65 tahun yang mengaku sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia singkong ini mengaku, bahwa selain sehat, singkong raksasa ini juga menguntungkan jika dikembangkan. Pasalnya dari jenis singkong unggulan terdahulu, semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam proses tanamnya. Sementara, singkong hasil temuannya tidak terlalu menyedot biaya produksi.

    Perhitungannya bisa dilihat dari hasil panen dalam tiap hektarnya. Contohnya, jenis singkong unggulan mukibat bisa menghasilkan 100 ton/hektar tiap panen. “Tapi ongkos tanamnya payah”, keluh pria kelahiran Surabaya yang menjadi transmigran spontan di Lampung ini. Soalnya, petani harus menggali sedalam satu meter dan juga dilakukan penempelan. Kesulitan seperti itu tidak ditemukan pada singkong yang oleh Soedigdo diberi nama “Singkong Darul Hidayah” ini. Bayangkan saja, sekali panen per hektarnya kita dapat 150 ton”, ujarnya. Sementara biaya penanamannya tidak mahal. Cukup 4 juta rupiah per hektarnya. “Itu pun sudah termasuk bibit dan pupuk selama masa tanam sekitar 8 – 11 bulan”, lanjutnya. Hasil ini terpaut jauh dengan hasil singkong biasa yang hanya 20 ton per hektar tiap panen. Sedangkan harga bibit singkong raksasa Darul Hidayah hanya Rp 150,- per setek dengan panjang 15 – 20 cm. “Bibit untuk satu hektar hanya 1,5 juta rupiah”, jelas Soedigdo.

    Sekarang bibit singkong ini bisa diperoleh di koperasi yang dipimpin oleh Soedigdo. Tidak terasa, singkong ini pun populer sejak pertama kali diperkenalkan pada sebuah pameran di Jakarta tiga tahun lalu. Peminat dari berbagai daerah di Jawa, seperti Bandung, Surabaya, Malang dan Madiun, juga daerah di Sumatera seperti Medan dan Palembang ramai-ramai datang ke koperasi yang dipimpinnya.

    “Bibitnya tidak boleh dikirim melalui paket, harus datang dan bawa sendiri”, saran Soedigdo. Kenapa? Harus demikian karena kepekaan bibit tersebut dengan suhu yang tidak stabil saat perjalanan. Jadi harus dijaga betul. Para pembeli pun diuntungkan karena mereka cukup sekali saja membeli bibit tersebut karena selanjutnya dikembangbiakkan sendiri.

    “Orang Jerman waktu itu ingin sekali memborong semua bibit tapi nggak kami kasih”, ujar Soedigdo. Alasan utamanya adalah singkong terunggul di dunia ini (saat itu) belum jadi status hak patennya. Antusiasme orang Jerman itu kiranya cukup beralasan. Sebab menurut Soedigdo, sampai saat ini hanya singkong Darul Hidayahlah yang terbukti paling unggul. “Singkong ini termasuk jenis singkong konsumsi yang paling tinggi tingkat produktifitasnya”, katanya. Pria yang mendapat gelar doktor pada sebuah universitas di Amerika ini menambahkan bahwa kandungan zat dalam singkong tersebut sangat baik dengan ACI atau kadar padi 25-31 persen. “Lagipula enak juga dibikin keripik singkong”, tambahnya. (Dedhi Poernomo) --- Sumber: Tabloid Peluang, 22 Maret 2001.
  2. ADI RAHMAN ADIWOSO
    Penemu Teknologi Baru dalam Telepon Bergerak Berbasis Satelit

    Berbekal keahliannya di bidang telekomunikasi satelit, ia menghasilkan teknologi sekaligus produk baru yang belum ada di pasaran dunia. Inovasi Adi memungkinkan komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan di mana saja. Ketika jaringan kabel belum menjangkau dan telepon seluler konvensional kehilangan sinyal, sistem telekomunikasi temuannya tetap “on”.

    “Selama di atas kepala terlihat langit, komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan”, kata Adi, Chief Executive Officer & President Director PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga menduduki jabatan yang sama di Asia Cellular Satelite (ACeS). Alat telekomunikasi bebas blank spot dan irit tempat ini dimungkinkan berkat ide memasang satelit telekomunikasi di orbit geostationer. Di lintasan imajiner yang letaknya 36.000 km di atas permukaan bumi itulah, Adi menempatkan satelit Garuda 1. Satelit gagasannya itu berbobot 4,5 ton yang dilengkapi dua antena payung kembar selebar 12 meter dan mampu menjangkau sepertiga kawasan dunia. Karena ukurannya cukup besar, intensitas pancaran sinyalnya juga cukup besar.

    Peluncuran satelit sipil terbesar di dunia pada Februari 2000 itu kontan membuat ciut para operator telepon satelit dunia. Ketika itu, bisa dibilang, seluruh satelit telekomunikasi dunia diluncurkan di orbit rendah (600 – 1.000 km) dan menengah (7.000 – 10.000 km). Daya jangkau satelit-satelit itu terbatas. Agar dapat meliput satu belahan dunia butuh sekitar 60 satelit berorbit rendah atau 12 satelit berorbit menengah. Kelemahan lain pengoperasian sistem telekomunikasi satelit pada telepon bergerak ketika itu adalah pesawatnya yang tidak praktis. Perangkat telepon bergerak yang bisa digunakan untuk berkomunikasi via satelit ukurannya lumayan besar, hampir sebesar kopor traveling. Untuk mengoperasikannya juga perlu stasiun bumi, berupa antena parabola berdiameter satu meter.

    Terobosan yang dilakukan Adi tak hanya memperluas cakupan satelit, juga memperkecil dimensi pesawat telepon bergerak berbasis satelit ini. Dengan daya pancar 10 kw, sinyal Garuda 1 bisa diterima dengan pesawat telepon genggam yang sekaligus merupakan stasiun bumi. ”Inilah stasiun bumi terkecil dan termurah yang pernah dibuat manusia”, ujar Adi sambil menunjukkan telepon genggam Ericsson R190. Jaringan telepon satelit yang berinduk ke Garuda 1 itu kemudian dikemas dengan merek dagang Byru.

    Cara kerja telepon ini sangat bergantung pada Garuda 1, yang dikendalikan fasilitas pengontrol satelit di pulau Batam. Di situ juga dibangun pusat kendali jaringan (network control center – NCC), yakni pengatur arus percakapan dengan panel pengaturnya. Garuda 1 mampu melayani 22.000 pembicaraan pada saat bersamaan. Selain itu, dibangun pula sebuah pintu gerbang (gateway) yang berfungsi sebagai operator lokal. Dengan Byru, pelanggan bisa menghubungi sesama telepon satelit, ke telepon GSM serta ke telepon rumah. Tiap permintaan sambungan akan dilakukan melalui satelit. Permintaan itu dianalisis oleh NCC Batam, untuk menentukan identitas penelepon dan menentukan gateway mana yang cocok dengan tujuan panggilan. Setelah itu, permintaan sambungan akan diteruskan ke telepon tujuan. Pembicaraan pun berlangsung. Semua proses itu berjalan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik.

    Untuk mewujudkan gagasan itu, Adi memang tak melakukannya sendirian. Meskipun Garuda 1 dibuat oleh Hughes Aircraft (dimana ia pernah bekerja), Amerika Serikat dan R190 dibuat Ericsson, Swedia, rancangannya dibuat sendiri oleh Adi dan timnya di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang didirikan Adi dan Iskandar Alisjahbana pada 1991. Bersama guru besar dan mantan rektor ITB itulah, lahir Byru dan Pasti – merek dagang sistem telepon satelit buatan PSN. ”Kekuatan Adiwoso adalah kewirausahaannya”, kata Iskandar. Tanpa keberanian memasarkan sendiri, bisa jadi temuan telepon satelit geostationer itu cuma jadi prototipe di laboratorium. Atau malah menjadi barang dagangan perusahaan asing yang mampu memodali temuan tersebut.

    Dengan perangkat telekomunikasi PSN ini, Byru, Pasti (Pasang Telepon Sendiri) dan jasa internet Bina (Balai Informasi Nusantara), penduduk-penduduk daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel dan nirkabel lainnya tetap bisa bertelepon-ria dan menjelajah informasi lewat internet. Pada akhir 2003, PSM mengklaim telah membebaskan 2.975 desa di 40 kabupaten di Indonesia dari isolasi telekomunikasi dengan perangkatnya yang berbasis satelit.

    Kemampuannya mengembangkan bisnis telepon satelit, ketika pesaingnya megap-megap (salah satunya, Iridium malah sudah bangkrut), sedikit banyak tak lepas dari pengalamannya berkecimpung di bisnis satelit. Setelah meraih gelar kesarjanaan di bidang aeronautical dan astronautical engineering dari Universitas Purdue, Amerika Serikat, Adi bekerja di Hughes Aircraft Company. Di situ ia ikut dalam proses pembuatan satelit Palapa pesanan Indonesia. Setelah delapan tahun bekerja di perusahaan pembuat satelit itu bersama koleganya, Adi mendirikan Orion Satellite Asia Pacific di Washington DC. Lantaran keasyikan bekerja, niatnya menggaet program doktor di California Institute of Technology gagal tuntas. Cita-citanya menjadi ahli pesawat terbang pun terlupakan.

    Lama di rantau tak menghilangkan kerinduannya pada kampung halamannya. Ia menampik tawaran green card, tiket menjadi warga negara Amerika Serikat dan memilih bekerja di negeri sendiri. Pada 1982, ia boyongan ke Jakarta. Tapi belum genap sewindu bekerja di Tanah Air, Adi memilih pensiun dini. Kecintaannya pada alam di Tanah Air membulatkan tekadnya untuk berkelana dari Ujung Kulon hingga Maumere. Sampai suatu ketika, Iskandar meminta pendapatnya tentang rencana penjualan satelit Palapa B-1 yang sudah habis masa pakainya. Satelit ”rongsokan” itu sudah ditaksir sebuah perusahaan di Amerika seharga US$ 50,000. Mendapat informasi itu, otak bisnisnya bekerja. ”Ngapain dijual. Kita jalankan saja”, kata Adi. Maka terbentuklah PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) pada 1991. Modal awalnya, dari urunan Adi dan Iskandar untuk membeli Palapa B-1. Lantas titik orbit satelit digeser ke timur, sehingga mampu mencakup pulau-pulau kecil di Pasifik. Namanya berubah jadi satelit Pasifik 1. Adi pun mulai menyetir bisnis ini. Hingga berkembang, dari ”sekadar” mengoperasikan dan menyewakan Pasifik 1, PSN kemudian melangkah ke yang lebih besar jangkauannya. Bersama timnya di PSN, keahliannya di bisnis satelit dieksplorasi lebih intensif lagi dengan mendirikan ACeS pada 1994. Di situ, PSN memegang 35% saham dan menggandeng Lockheed Martin, Philippines Long Distance Global Telecommunications (PLDT) serta Jasmine International (Thailand) sebagai mitra.

    Untuk mewujudkan ambisi menciptakan sistem telekomunikasi berbasis satelit dengan teknologi GSM (global system for mobile communication), ACeS juga masuk ke Bursa Nasdaq, New York. Dengan modal US$ 750 juta, meluncurlah Garuda 1 ke angkasa. Tak lama berselang, Byru meluncur pula ke pasar. Keberhasilan Garuda 1 membuat nama ACeS berkibar. Di Tanah Air,  produk layanan PSN berkembang. Selain bermain di bisnis komunikasi satelit, PSN juga masuk ke bisnis multimedia dengan meluncurkan Multi Media Asia. Semuanya berbasis satelit. (A. Kukuh Karsadi) --- Sumber: Majalah Gatra, Edisi Khusus, Agustus 2004.
  3. ALEX KAWILARANG WAROUW MASENGI
    Penemu Kapal Ikan Bersirip

    Doktor dari The Graduate School of Marine Science and Engineering Nagasaki University, Jepang (1993), ini adalah penemu teknologi kapal ikan bersirip. Temuan pria bernama lengkap Prof Dr Ir Alex Kawilarang Warouw Masengi MSc kelahiran Desa Kinilou, Tomohon, 13 Juni 1958, ini sudah dipatenkan di Jepang.

    Suami dari Ixchel Peibie Mandagie MSi (juga dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat), ini diilhami ikan terbang dalam menemukan teknologi perkapalan tersebut. Ikan itu dapat terbang jauh bagaikan pesawat udara yang melayang rendah di atas permukaan air laut.

    Dia tertarik ketika mengamati bentuk tubuh dan sirip ikan terbang antoni (torani). Ikan itu dapat melayang di atas permukaan air laut. Tubuhnya terangkat melalui pergerakan sirip yang relatif panjang dan dorongan pergerakan tubuhnya sendiri. Pakar teknik perkapalan perikanan ini mengamati ikan antoni memiliki bentuk tubuh yang relatif unik, mulai dari kepala, badannya yang montok, pergelangan ekornya serta seluruh siripnya. Bentuk tubuh dan sifat-sifat khas ikan antoni itulah yang ia terapkan ke dalam desain badan kapal ikan, berikut pemasangan sirip pada bagian lambung kapal. Hasilnya, tingkat kestabilan kapal ikan relatif menjadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan jenis kapal ikan lain.

    Sejumlah pengkajian dan uji coba stabilitas kapal ikan yang menggunakan sirip ini sudah dilakukannya sejak 16 tahun terakhir.  Pengkajian dan pengujian dilakukan di Laut Cina Timur, Teluk Ohmura Nagasaki, perairan Jepang Timur, Teluk Manado dan perairan di sekitar Kota Bitung. Hasilnya, stabilitas kapal ikan bersirip rata-rata melebihi kapal ikan biasa.

    Selain itu, pengujian laboratorium juga dilakukan di beberapa laboratorium ternama, seperti Laboratorium kapal ikan di Fakultas Perikanan Hokkaido University, Japan Fisheries Engineering Laboratory, Faculty of Ship Building Soga University, Nagasaki.

    Hasil pengujian stabilitas terhadap kapal ikan tipe sabani dari Okinawa dengan menggunakan sirip dalam kondisi statis meningkat 17 persen. Adapun saat kapal dalam kondisi dinamis atau bergerak, tingkat stabilitasnya naik menjadi 22 persen.

    Metode yang sama, diujicobakan pula pada beberapa kapal ikan tipe pamo yang biasa digunakan para nelayan Sulawesi Utara, baik dalam ukuran nyata maupun dalam skala model. Dari hasil pengujian diperoleh hasil stabilitas kapal pamo dalam kondisi statis meningkat 19 persen dan dalam kondisi dinamis meningkat 28 persen.

    Berdasarkan semua pembuktian itu, temuan teknologi kapal ikan bersirip yang desainnya didasarkan pada bentuk tubuh ikan antoni itu, Alex  mematenkan atas namanya sendiri di Jepang.
     
    Sebuah perusahaan galangan kapal di Jepang saat ini sedang bersiap memproduksi massal kapal-kapal ikan bersirip yang didasarkan pada model atau teknologi temuan Alex itu. Makanya, di Jepang namanya tercatat sebagai anggota konsultan pembuatan kapal Nagasaki Dream, dan konsultan pembuatan kapal layar Michinoku-Indonesia. Juga menjadi konsultan teknik pada Reedbed Technology, Liverpool, Inggris.
     
    Alex secara rutin juga menjadi pembicara dan dosen tamu pada berbagai universitas di Jepang dan Perancis. Dia juga sering menyampaikan makalah ilmiah di berbagai universitas ternama di Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.

    Alex tumbuh di dalam keluarga petani. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pertanian di kaki Gunung (api) Lokon, Desa Kinilou, Tomohon, Sulawesi Utara. Ia akrab dengan pertanian palawija, hortikultura,serta budidaya tambak air tawar. Sehingga ahli kelautan ini tetap cinta alam pegunungan. Rumahnya yang sederhana dikelilingi tambak atau telaga lengkap dengan budidaya ikan mas dan mujair. Di bagian depan rumah tampak beberapa rumpun pohon bambu yang ikut menambah semarak lingkungan rumahnya.
     
    Ayah empat anak, yaitu Kesihi, Shinji, Etsuko dan Akira, ini bahkan memanfaatkan lokasi rumahnya di alam pegunungan yang sejuk sebagai tempat pertemuan para dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Ia sering menerima tamu di rumahnya yang dikelilingi tambak air tawar itu.

    Alex menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Desa Kinilou pada tahun 1971, kemudian melanjutkan ke sekolah teknik pertama dan lulus tahun 1974. Selanjutnya ia meneruskan pendidikan di Sekolah Usaha Perikanan Menengah di Manado dan lulus pada 1977. Setelah sempat bekerja di sebuah perusahaan perikanan, Alex melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Perikanan Unsrat dan lulus tahun 1984. Ia mengikuti program master di Faculty of Fisheries Nagasaki University pada tahun 1990 dan meraih gelar doktor di The Graduate School of Marine Science and Engineering Nagasaki University, Jepang, tahun 1993. (e-ti/tsl) --- Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia).
  4. ANDRIAS WIJI SETIO PAMUJI
    Penemu Reaktor Biogas

    Di kalangan peternak sapi perah, terutama di Jawa Barat, membuat biogas dari kotoran sapi tengah menjadi kesenangan baru. Apalagi dalam kondisi persediaan bahan bakar minyak yang tidak menentu dan harganya terus melaju seperti sekarang.

    Untuk itu, menghasilkan dan memanfaatkan gas hasil kerja sendiri merupakan kebanggaan tersendiri sehingga para peternak tidak perlu lagi membeli minyak tanah, gas elpiji, atau kayu bakar.

    Jangan heran kalau mendatangi peternakan di daerah Lembang dan Cisarua, Kabupaten Bandung, Anda akan menemukan kantong plastik ukuran 5.000 liter dalam sebuah lubang dan kantong lainnya ukuran satu meter kubik mengapung di bawah atap yang disambungkan dengan pipa-pipa plastik.

    Perlengkapan sederhana yang biasa terdapat dekat kandang sapi itu sebetulnya reaktor dan penampung biogas. Kotoran sapi yang sudah dicampur air dengan ukuran satu banding satu itu diubah menjadi gas. Gas itu dialirkan pada reaktor. Setelah menjadi gas kemudian dialirkan pada penampung gas. Melalui selang plastik, gas dialirkan lagi ke kompor gas di dapur untuk memasak.

    Percobaan membuat reaktor sederhana dari plastik ini sudah dilakukan oleh Andrias Wiji Setio Pamuji (27) pada tahun 2000, saat ia masih kuliah tingkat III di Jurusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB).

    Namun, Andrias baru memasarkannya pada 9 April 2005 setelah menyempurnakan percobaan-percobaannya. Reaktor biogas dari plastik ini sebelumnya pernah menang dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa tahun 2002 yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

    Andrias sudah lama mengetahui bahwa kotoran sapi bisa dijadikan gas. Namun, kesempatan membuktikan hal tersebut baru kesampaian saat ia kuliah. Saking penasaran, ia membawa kotoran sapi yang sudah dicampur air dari sebuah peternakan. Kotoran sapi itu ia bawa dengan jeriken ukuran lima liter.

    Sampai di rumah indekos, jeriken tetap ditutup agar terjadi fermentasi pada kotoran sapi. Setelah sebulan, jeriken dibuka dan di atas lubang jeriken dipasang plastik. Plastik langsung mengembang.

    Andrias yang berasal dari Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu segera mencari pucuk bolpoin yang terbuat dari logam. Pucuk pulpen ini ditusukkan pada plastik dan keluarlah gas. Ia menyulutnya dengan korek api. ”Ternyata betul, kotoran sapi bisa jadi gas dan bisa dibakar,” ujarnya.

    Andrias terus memodifikasi peralatan dengan menggunakan uang bantuan dari teman- temannya. Percobaan demi percobaan ia lakukan untuk bisa menghasilkan reaktor dan penampung gas berharga murah dan berkapasitas mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga.

    Sampai akhirnya, dari percobaan demi percobaan, ia menghasilkan reaktor dari plastik dengan tebal 250 mikron serta menciptakan kompor untuk jenis gas metana.

    Ia baru memasarkan reaktor tersebut pada April 2005. Saat itu dirasa tepat sebab harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. ”Saya sudah memprediksi bahwa BBM akan mahal. Tapi kalau dulu, harga BBM alternatif masih lebih mahal dari BBM yang ada. Sulit bagi masyarakat untuk berpaling,” kata Andrias.

    Kini reaktor biogas buatannya sudah digunakan oleh 66 peternak sapi perah di Subang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Padang, Sumatera Barat, menyusul Bali, Jawa Tengah, dan Lampung. Sebetulnya, segala kotoran binatang bisa digunakan, termasuk kotoran manusia. Hanya saja teknologi terbentur oleh asas kepantasan dalam masyarakat. Sampah organik juga bisa dipakai sebagai bahan pokok pembuatan gas. Reaktor bisa ditempatkan di tempat penampungan akhir (TPA) sampah. Pada TPA yang mendapat kiriman sampah sebanyak 5.000 meter kubik per hari bisa dihasilkan gas sebanyak 25.000 meter kubik per hari atau setara dengan 31,25 juta watt listrik. Itu juga bisa mengalirkan listrik bagi sekitar 2.500 rumah tangga. Andrias menjual reaktornya dengan harga Rp 1,5 juta, termasuk pemasangan.

    Keseriusan dalam kerja sama penting karena penjualan reaktor biogas harus diikuti dengan layanan purnajual yang memuaskan agar masyarakat tidak merasa tertipu. ”Kalau pemakai merasa banyak keluhan dalam menggunakan reaktor biogas, mereka tidak akan percaya bahwa kotoran sapi betul-betul bermanfaat,” ujar Andrias. Ia mengatakan, sampai kini gas yang dihasilkan belum dapat dikemas dalam tabung karena gas dari kotoran sapi adalah jenis metana (CH4). Sementara gas yang dikemas dalam tabung merupakan gas yang bisa dicairkan, yang berasal dari jenis butana (C4 H10) dan pentana (C5 H12). Gas yang bisa dicairkan bisa masuk dalam tabung dengan volume jauh lebih banyak. Namun, metana tidak bisa demikian.

    ”Tapi biasanya dalam dunia teknologi, segala sesuatu akan terus berkembang. Mudah-mudahan ada dana untuk meriset lagi agar tidak hanya peternak sapi yang bisa merasakan manfaat biogas ini,” kata Andrias.

    Sejauh ini, bagi masyarakat yang ingin menikmati biogas dari kotoran sapi dan bagi peternak yang ingin menjual biogasnya kepada tetangga baru bisa dilakukan dengan sistem jaringan gas yang dihubungkan dengan selang-selang, seperti penggunaan gas pada zaman dahulu. Untuk menghitung pemakaian, digunakan meteran.

    Andrias adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak petani ini sering penasaran dan ingin membuktikan teori-teori yang didengarnya dengan cara melakukan percobaan. Waktu kecil ia pernah membuat listrik dan perahu motor mainan dengan penggerak kincir angin. Kincir angin dibuat dari pemutar kaset dalam tape. Andrias juga senang bertani dan beternak. Tanaman dan hewan ia rawat dengan kasih sayang. Ini adalah ajaran dari ibunya. Sejak kecil Andrias sering membantu orangtuanya bekerja di sawah. Ibunya sering menunjukkan kepadanya sawah-sawah yang subur dan kering. ”Sawah yang hijau dan subur itu setiap hari ditengok petani. Kalau yang coklat itu jarang ditengoki petaninya,” kenang Andrias menirukan kalimat ibunya. Perkataan itu mengartikan, sawah yang sering ditengok akan lebih terawat. Perawatan itu adalah cermin dari ketekunan. Tekun, itulah yang menjadi prinsip hidup Andrias.

    Suami dari Mila Juliani Perangin-angin (24) dan ayah dari Aldo Adicipta Yanuar (7 bulan) ini pun membuat dan memasarkan reaktor dengan ketekunannya. Meskipun sudah 66 orang menggunakan reaktornya, keuntungan materi belum ia rasakan. ”Yang penting masyarakat bisa menerimanya dulu,” kata Andrias menekankan. (Yenti Aprianti) --- Sumber: Harian Kompas, 15 Agustus 2005.
  5. ARIEF MULYANA DJUMRA
    Penemu Pemacu Produktifitas dan Kualitas Udang dan Ikan

    Melihat tren dalam upaya menggenjot hasil produksi pertanian, Arief Mulyana Djumra, 42 tahun, alumnus Teknik Kimia Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya ini prihatin dengan peredaran produk-produk kimia yang digunakan sudah di ambang batas. “Kalau dibiarkan, akan berdampak negatif. Terutama untuk keseimbangan lingkungan maupun kesehatan”, kata Arief.

    Keprihatinannya kemudian diwujudkan dengan membuat sebuah formulasi. Bentuknya berupa aktivator hayati untuk tambak udang dan ikan. Temuan yang digagas bersama rekan kerjanya ini dinamakan Mikrobial Plus. Yakni, sebuah teknologi berkonsep pengkayaan nutrisi, yang bermanfaat dalam meningkatkan produktifitas dan kualitas tambak. “Manfaat utamanya adalah untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas lingkungan tambak”, jelas Arif.

    Ahli kimia ini memang tergolong orang yang tidak mau tinggal diam kalau melihat kerusakan ekosistem akibat pemakaian bahan kimia berlebihan. Berdasarkan pengalamannya melanglang buana sebagai konsultan lingkungan untuk sejumlah perusahaan, membuat Arief dan rekan-rekannya bertindak. Dan teknologi bernama Mikrobial Plus itulah hasilnya.

    “Aktivator ini adalah hasil penelitian bioteknologi terapan yang memadukan konsep effective microorganism technology dari Jepang dan pengkayaan nutrisi”, terangnya. Adapun mikroba yang digunakan dipilih dari spesies unggul jasad renik daerah tropis tanpa campuran bahan kimia dan hasil rekayasa genetika. Inilah yang menjadi jaminan 100% akan aman bagi lingkungan. Tentu saja dengan kegunaan utama untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas hasil udang dan ikan.

    Menurut Arief, jasad renik ini murni dibikin di Indonesia. Pasalnya, negri ini memiliki cadangan bahan yang melimpah ruah, di samping bebas dari unsur rekayasa genetika seperti yang biasa dipraktikkan negara lain. “Jadi jelas beda kan?” tambah arek Suroboyo ini.

    Dalam memasyarakatkan produk ini, PT. Era Mandiri Lestari sebagai produsen menunjuk CV. Azka Gemilang. “Sasaran yang ditembak adalah lokasi-lokasi yang potensial menghasilkan udang dan ikan”, ujar Diah Sari, direksi CV. Azkia Gemilang.

    Lokasi lahan untuk percontohan antara lain di daerah Dipasena (Lampung), Demak (Jawa Tengah) dan Karawang (Jawa Barat). Terbukti, uji coba itu memang terasa “khasiatnya”. Di daerah Cibuaya, Karawang misalnya. Hanya dalam waktu 65 hari, udang bisa mencapai size 30 (artinya 30 ekor  per kilo). Padahal, umumnya membutuhkan sedikitnya 90 hari lebih.

    Manfaat lainnya, bisa digunakan untuk mengatasi penyakit klasik udang, yakni stres. “Jangankan sebelum udang mengalami stres, pada waktu stres pun bisa sembuh dengan Mikrobial Plus ini”, jelas Arief yang juga Direktur PT. Era Mandiri Lestari berpromosi. Setiap produk, apalagi yang berhubungan dengan kelangsungan dan kualitas makhluk hidup, pasti ada efek sampingnya. Kendati kemungkinannya kecil, pada udang pun demikian. Hal inilah yang dihindari oleh Arief. “Alhamdulillah, dalam setahun ini tidak ada sedikit pun yang mengeluh sampai ke telinga kami”, tegasnya.

    Salah satu kunci teknologi ini ialah penerapannya yang lebih mengarah pada keseimbangan lingkungan. Tanpa sedikit pun  membuat kerusakan di kemudian hari. (Setyo Nuryanto) --- Sumber: Tabloid Peluang, 15 November 2001.
  6. ARYADI SUWONO & TIM PENELITI ITB
    Penemu Bahan Pendingin (Hycool) Pengganti Freon Yang Lebih Hemat Energi

    Krisis energi yang terjadi saat ini harus segera dicarikan jalan keluarnya. Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan negara kita benar-benar akan kehabisan sumber-sumber energi. Salah satu sumber energi yang sangat penting adalah listrik. Parahnya, banyak sekali pihak-pihak yang menggunakan listrik dengan boros, terutama hotel, perkantoran, gedung-gedung bertingkat, dan industri. Khusus untuk hotel dan gedung perkantoran, ternyata 60 persen penggunaan listriknya untuk air conditioning (AC). Hal yang sama juga terjadi pada industri dan gedung-gedung perkantoran. Karena itu perlu terobosan guna menghemat pemakaian listrik untuk AC.

    Sejumlah dosen dan mahasiswa Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) telah mengadakan penelitian untuk menemukan cara menghemat pemakaian listrik untuk AC. Hasilnya, mereka menemukan Hycool, bahan pendingin (refrigeran) campuran untuk menggantikan bahan freon yang selama ini digunakan untuk AC. Selain lebih hemat energi, Hycool juga lebih ramah lingkungan karena tidak melepaskan zat-zat yang bisa merusak ozon sebagaimana freon.

    Hasil penelitian tersebut kemudian dipatenkan dan dikembangkan secara massal oleh PT Citra Total Buana Biru. Perusahaan ini dipimpin oleh salah seorang mantan mahasiswa ITB yang ikut dalam penelitian tersebut, Ir Ahmad Fahmi. Atas prestasi ini Ketua Tim Peneliti ITB, Prof Dr Ir Aryadi Suwono, mendapatkan penghargaan khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diserahkan pada 17 Agustus lalu.

    Kepada wartawan, Prof Aryadi mengatakan, penelitian tersebut dilakukan sekitar 1983 karena saat itu terjadi krisis energi yang berdampak pada industri. Bersama sejumlah dosen dan mahasiswa ITB, pihaknya lalu mengadakan penelitian khusus untuk mencari bahan pendingin yang hemat energi. Hycool adalah tiga bahan pendingin hidrokarbon, yaitu HCR-12, HCR-22 dan HCR-134a. Ketiga bahan ini memberikan tiga keunggulan, hemat energi/listrik, ramah lingkungan karena tidak merusak ozon dan tidak mengakibatkan pemanasan global, serta bisa memperpanjang usia kompresor AC.

    Hycool bisa menghemat pemakaian listrik 12-24 persen. Dengan demikian, pemakaian bahan ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang penghematan energi. ''Contohnya, Hotel Gran Melia. Biaya untuk listrik per bulan bisa mencapai Rp 600 juta. Dan, 60 persennya akibat pemakaian AC. Ketika menggunakan Hycool penghematan bisa mencapai 17 persen. Artinya, tiap bulan mereka bisa hemat sekitar Rp 100 juta,'' ungkapnya.

    Jika hal yang sama juga dilakukan oleh hotel, gedung perkantoran, perumahan, apartemen, industri, dan sebagainya, maka jumlah energi yang bisa dihemat sangat besar. Ini akan membawa keuntungan bagi pemerintah, kalangan swasta, dan PLN sendiri. Bagi PLN, penghematan energi bisa menghemat cadangan listrik sehingga mencukupi kebutuhan dan tidak perlu membangun fasilitas pembangkit listrik baru. Keuntungan bagi pemerintah, berkurangnya dana yang digunakan untuk mensubsidi BBM bagi PLN. Seperti diberitakan, bahan bakar yang digunakan PLN memang masih disubsidi oleh pemerintah.

    ''Selain hemat energi, Hycool juga lebih ringan daripada freon. Dengan menggunakan bahan pendingin ini, kinerja AC tidak berubah. Dinginnya tetap sehingga kenyamanannya pun tetap bisa dirasakan,'' papar alumnus Universite de Perpignan Prancis ini. (jar) --- Sumber: Harian Republika, 26 Agustus 2005.
  7. AYUB S. PARNATA
    Penemu Bakteri Kompos Organik

    Walau usia sudah mencapai 72 tahun, Ayub S. Parnata seakan tak pernah kehilangan semangat. Di tengah kesibukannya mengurus anggrek, setiap bulannya ia rutin mengirim minimal 2 kontainer pupuk organik ke Cina. Jumlah itu masih ditambah dengan ½ kontainer untuk melayani permintaan dalam negri. Kalau dihitung-hitung, sekitar 64 ton pupuk cair disalurkan tiap bulan. Bersama mitra kerja asal Hongkong, Ayub mempunyai pabrik peracikan pupuk di Cina Selatan. Di sana, biang pupuk organik yang dibuat di Indonesia diubah menjadi pupuk siap pakai. Lalu dieskpor kembali ke beberapa negara di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Di Asia, pelanggannya datang dari Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Mongolia. Permintaan konsumen terus meningkat. Peningkatan 100% per tahun untuk pasaran luar negri dan 20% dalam negri.

    Keberhasilan itu bukan datang sendiri layaknya bintang jatuh. Kisahnya dimulai 1960. Saat itu, Ayub mencoba bercocok tanam jagung. Sayang produksinya amat minim, tidak sampai 750 kg/ha. Kenyataan ini menggelitik lulusan Hogere Burgerschool itu untuk meneliti penyebabnya. Hasil pengamatannya menunjukkan, penyebab produksi minim karena efek samping penggunaan kimia dari pupuk yang tidak terserap efektif oleh tanaman sehingga hanya tersimpan di dalam tanah. Untuk menguraikan lagi, harus dengan bantuan jasad renik. Dari hasil analisis, diketahui pada tanah subur selalu ditemukan Pseudomonas putida dan Pseudomonas fluorescens. Dua jasad renik itulah yang harus didapatkan untuk dimasukkan ke tanah yang rusak. Pencarian jenis jasad renik itulah yang memakan waktu lama. Mencari di alam hingga membiakkan dengan media agar (jel) bukanlah proses mudah. “Seperti orang buta yang mencari-cari, tanpa ada satu buku pun yang menuntun”, ujar Ayub melukiskan betapa sulitnya pencarian itu.

    Setelah jasad renik berhasil dibiakkan, menentukan formulasi pupuk yang tepat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai komposisi dicoba dan hasilnya kebanyakan gagal. Misal ketika diujicobakan ke suatu lahan padi, bukannya menjadi subur, tanaman malah hangus terbakar. Begitu pun ketika diuji pada bunga kesayangan, anggrek. Si cantik eksklusif itu daunnya berguguran satu-per satu.

    Mirip Thomas Alva Edison yang tak pernah berhenti meneliti sampai berhasil, Ayub tidak berputus asa terhadap kegagalan yang ditemui. Penyilang 10.100 anggrek itu terus mencari jalan untuk memperbaiki penemuannya. Kerja kerasnya baru terbayar setelah berkutat 17 tahun. Ayub menemukan campuran pupuk yang tepat. Ramuan terbuat dari bahan-bahan organik dan mikroba-mikroba menguntungkan. Pertama kali dicobakan pada lahan jagung, hasilnya menakjubkan. Produksi yang semula hanya 600 kg/ha, meningkat pesat menjadi 8,5 ton. Tak heran jika Menteri Pertanian waktu itu tertarik berkunjung ke perkebunannya.

    Ayub pun kian semangat meracik pupuk dari bahan-bahan organik yang mudah didapat dan berharga murah. Ikan laut, daging apkir atau limbah hewan digunakan. Bahan baku itu diperoleh dari daerah pesisir. Bila kekurangan, ia mengimpor dari Cili dan Denmark. Investasi yang dikeluarkan tidak main-main. Empat rumah miliknya direlakan dijual untuk melengkapi sarana produksi.

    Namun rupanya perjuangan belum usai. Memasuki awal 90-an, Ayub mencoba untuk memasarkan produk bermerk Top Soil Fertilizer di Jawa Barat. Diharapkan pupuk itu bisa membantu para pekebun di sana untuk meningkatkan produksi. Namun pil pahit harus ditelan ketika niatan itu terbentur urusan perizinan. Maklum, waktu itu pupuk organik memang belum populer. Pupuk kimia yang jadi primadona. Ia pun urung memasarkan di dalam negri.

    Kegagalannya tak membuatnya berhenti berkarya. Berbekal keyakinan bahwa pupuk organik memiliki keistimewaan, pasar luar negri pun dijajaki. Bersama rekan kerja di Hongkong, ia memilih Cina sebagai sasaran pertama. Pertimbangannya, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, peluang pasar terbuka lebar. Izin peredaran diperoleh dari Beijing University.

    Ternyata sambutan penduduk di negri tirai bambu itu luar biasa. Malah pria yang gemar berkemeja batik ini mendapat tawaran maha berat. Ia diminta bekerja sama dengan para pakar di Universitas Beijing untuk mengembangkan formula. Bila diterima, rakyat Cina-lah yang menikmati penemuannya. Rasa nasionalismenya menuntun Ayub menolak tawaran itu.

    Tahun pertama sejak mendapat izin ekspor pada 1991, ia mengirim 10 kontainer biang pupuk ke pabrik perakitan di Cina. Di sana biang itu diencerkan sampai 5% sebelum dipasarkan. Volume pengiriman terus meningkat dari waktu ke waktu hingga 100% pada 2003.

    Pertengahan 1995, pabrik perakitan itu kedatangan tamu kehormatan, Menteri Pertanian Thailand. Rupanya pupuk organik karya Ayub berhasil mengatasi penyakit busuk buah dan busuk akar pada durian akibat pengaruh kimia. Setahun berikutnya, giliran Menteri Pertanian Malaysia datang. Lagi-lagi berkat hasil spektakuler pemanfaatan pupuk organik itu di perkebunan karet di Malaysia. Karet terus menghasilkan getah meski telah 20 tahun berproduksi.

    Kegagalan memperoleh perizinan usaha di dalam negri 8 tahun silam tak membuatnya jera. Uji coba yang dilakukan selama 2 bulan oleh Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) di Lembang, Bandung, menunjukkan hasil memuaskan. Perjuangan itu akhirnya berbuah dikeluarkannya izin dari pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian pada 1999.

    Pasa di dalam negri mulai dirambah. Melalui agen di Yogyakarta dan Sumedang, pupuknya menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Di antaranya, Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Kerjasama dengan Pusat Koperasi Veteran (Puskoveri) Jawa Barat dalam memasarkan pun terus dibina.

    Untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negri, rumah sang kakek yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Bandung, dijadikan pabrik. Semua bahan baku dan alat-alat produksi menempati belasan ruangan di dalamnya. Di situlah Ayub membuat formula pupuk pesanan para relasi dibantu tiga orang rekannya. Pupuk berbentuk cair lebih dipilih Ayub karena dalam bentuk itu jasad renik mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun. Sebaliknya, dalam bentuk padat, fungsi jasad renik berkurang, bahkan mati.

    Pupuk organik Ayub tidak hanya meningkatkan produksi tumbuhan. Tanpa mengubah komposisinya, ia bisa diterapkan pada ternak, ikan atau udang. Penelitian di Universitas Gadjah Mada pada 2002 menunjukkan, pupuk itu efektif memberantas newcastle disease (ND) pada ayam. Penelitian ini juga mengungkapkan peningkatan keuntungan peternak dari Rp 400.000,- / ekor menjadi Rp 1.750.000,- / ekor.

    Kontribusinya di dunia anggrek yang lama Ayub geluti pun tak kalah besar. Phalaenopsis miliknya bisa menghasilkan 17 tangkai bunga per satu tanaman. Buah dari semua itu, penghargaan sebagai mitra kerja berprestasi Dinas Pertanian Jawa Barat dari Menteri Pertanian RI diterimanya pada 2002. Meski demikian, bukan itu semata yang ia kejar. Dampak positif pemanfaatan pupuk organik dalam dunia pertanian Indonesia menjadi terminalnya. Bagi Ayub, prospek cerah pupuk organik membentang di masa mendatang. (Prita Windyastuti) --- Sumber: Majalah Trubus, Februari 2004.
  8. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
    Penemu Teori, Faktor dan Metode Habibie (Teknologi Pesawat Terbang)

    Kulit luarnya bisa saja terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.

    Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).

    Titik rambat, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.

    Pada saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936.

    Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana rambatan titik crack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas dinamakan crack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan sebagai Mr. Crack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih mudah dan murah.

    Sebelum titik crack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik crack bisa dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.

    Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.

    Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun.

    Riwayat keilmuan Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut Konstruksi Ringan di kampusnya.

    Otak Habibie makin kelihatan encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma cum laude pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya dipercaya jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya dalam kurun waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.

    Ia meraih kepercayaan lebih bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu diantara buah karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu tinggal landas dan mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama industri Donier. Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA).

    Habibie hanya sampai tahun 1969 saja di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB), industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini, karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.

    Di tempat ini pula Habibie menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika dan crack progression. Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode Habibie. Paten dari semua temuan itu telah diakui dan dipakai oleh dunia penerbangan internasional.

    Pesawat Airbus A-300 yang diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung Daimler, produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu. Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.

    Tahun 1978, Habibie dipanggil pulang ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah dalam upaya pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia, Hasilnya antara lain pesawat terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.

    Prestasi keilmuan Habibie mendapat pengakuan di dunia internasional. Ia menjadi anggota kehormatan berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain di Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l'Air et de l'Espace (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sedangkan dalam bentuk penghargaan, Habibie menerima Award von Karman (1992) yang di bidang kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dan dua tahun kemudian menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward Warner Award. (Hidayat Gunadi, Hatim Ilwan) --- Sumber: Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004).
  9. BUDI NOVIANTORO
    Penemu Klip Penambat Bantalan Kereta Api dengan Dua Gigi

    Tidak mudah membangun jalan kereta api sebab membangun jalur sistem kereta api kait-berkait dengan bermacam-macam hal, khususnya alat keselamatan perjalanan. Seperti pembangunan jalur ganda Cirebon- Cikampek Segmen 1, antara Cikampek dan Haurgeulis, Jawa Barat. Badan jalan selesai, rel terpasang lurus karena sudah di-listring (align), sebagian tetap saja tidak bisa digunakan karena persinyalan belum selesai. Padahal, proyek penggandaan jalur Cirebon-Cikampek ini dibangun dengan berbagai prestasi karena unik dan selesai sebelum jadwal, tetapi kemudian terganjal karena tidak "masuk" Stasiun Cikampek akibat Proyek Bandung Corridor yang waktu itu belum selesai.

    Bandung Corridor juga merupakan proyek jalur ganda parsial yang dibiayai Bank Dunia yang sepotong-sepotong membentang antara Stasiun Cikampek sampai Padalarang. Sementara Cirebon–Cikampek dibiayai bantuan Jepang dan keduanya merupakan proyek Departemen Perhubungan yang hari ini diresmikan presiden. Segmen 1 Cikampek-Haurgeulis sepanjang 54,3 kilometer ini merupakan bagian akhir dari jalur ganda Cirebon-Cikampek yang panjangnya sekitar 160 kilometer. Proyek ini semula direncanakan akan selesai pada November 2005 sesuai dengan hitungan konsultan. Namun setelah dihitung kembali, direncanakan dapat digunakan pada bulan Maret 2004. Kenyataannya, 14 November lalu jalur ini sudah dapat digunakan sehingga membantu memperlancar angkutan Lebaran. Dari jalur sepanjang 54,3 kilometer itu, 40 kilometer sudah komplet dengan persinyalan. Sisa sinyal sudah dipasang, tetapi belum dilakukan commissioning oleh kontraktor. Dengan alasan keselamatan, PT Kereta Api (PT KA) belum berani mengoperasikannya.

    Keberhasilan ini -ketika tak ada lagi kemacetan di jalur Cirebon/Cikampek karena tak lagi berbentuk jalur tunggal- tidak bisa dilepaskan dari peran Kepala Proyek (KA) Lintas Utara Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan. Keberhasilan membangun hanya satu segmen ini boleh kita anggap belum jadi ukuran, tetapi yang dikerjakan Budi Noviantoro (43) -biasa dipanggil Novi- memang selalu mengundang kekaguman. Ia berhasil mempercepat pembangunan jalur ganda Cikampek-Haurgeulis karena kejelian memanfaatkan dan mengerti kebutuhan orang lain.

    Kontraktor ingin proyek segera selesai sehingga cepat dibayar dan mencari pekerjaan lain. Berdasarkan alasan sederhana itu, tutur Novi, ia membagi proyek menjadi enam seksi yang dikerjakan serempak, tidak menyelesaikan sepotong-sepotong. Hasilnya, target penyelesaian November 2005 maju menjadi Maret 2004 dan akhirnya Februari mendatang semua sudah selesai karena tinggal persinyalan saja. Ketika konsultan dan pemberi bantuan mengatakan harus mengganti jembatan Kalibodri yang pilarnya bergeser dengan akibat harus menutup jalur selama belasan jam, Novi bilang tidak. "Wong jembatan masih bagus, kan bisa lebih hemat," kata ayah dua putra itu. Jembatan hanya dipindahkan ke pilar baru dengan cara menggeser di lempengan baja antikarat yang dilapisi teflon agar licin sehingga proses penggeseran pun hanya tiga jam. Orang Jepang yang tidak percaya pada ide Novi mengirimkan sejumlah ahli untuk memantau pergeseran ini. Selain itu, sekitar 150 mahasiswa jurusan teknik dari beberapa perguruan tinggi di Jateng dan Yogyakarta juga ikut hadir, yang kalau proses penggantian itu dikuliahkan, perlu 20 jam. Prinsip Novi, bahwa pekerjaan ini harus bisa diselesaikan dengan biaya murah, tingkat keandalan tinggi, dan cepat selesai, sudah memberikan hasil dengan diresmikannya jalur ini.

    PT KA pun sebenarnya harus berterima kasih kepada pemuda kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 17 November 1960, itu karena beberapa prestasinya. Misalnya ketika ia harus meninggikan rel dan mengganti jembatan di jalur Tegal-Tanjung (Jateng) karena permukaan tanah di sekitar jalur itu terasa semakin tinggi sehingga jalur KA terancam banjir. Proyek itu malah membuat PT KA secara tanpa sengaja mendapat jalur ganda di tempat itu tanpa tambah biaya.

    Dengan cara konvensional, untuk mengatasi masalah itu adalah dilakukan peninggian rel sedikit-sedikit dan ini memakan waktu lama serta mengganggu perjalanan KA. Cara lain adalah dibuat rel di sampingnya dan lalu lintas KA dialihkan ke rel sementara itu ketika jalur lama dinaikkan. Setelah selesai, jalur sementara dibongkar lagi, batu-batu balasnya dikeruk untuk digunakan di tempat lain.

    Cara kerja Novi tidak demikian. Ia tetap membangun jalur sementara tetapi dalam posisi tinggi, naik 2,85 meter dibandingkan dengan posisi rel lama, sehingga malah pada perlintasan dengan jalan raya ia dapat membangun sebuah underpass. "Dengan underpass, tak akan ada tabrakan di perlintasan lagi," katanya. Rel lama kemudian juga ditinggikan sama dengan rel baru.

    Novi tidak cuma piawai di lapangan. Ia juga berhasil membuat penambat rel (fastener) yang namanya KA-Clip, yang kemudian dipatenkan atas nama PT KA yang diproduksi oleh PT Pindad. Ia membuat penambat itu karena melihat, untuk rel-rel di Indonesia dibutuhkan penambat khusus. Misalnya untuk rel ukuran R33, tak mungkin menggunakan penambat merek Pandrol atau DE-Clip karena longgar. Apalagi Pandrol dan DE-Clip harus diimpor atau dibuat di Tanah Air dengan lisensi dan membayar royalti kepada pemilik paten. Dengan KA- Clip yang sudah diuji bertahun- tahun di lapangan sebelum diakui dan mendapat paten, PT KA tidak harus mengimpor, berarti menghemat devisa. Apalagi klip buatan Novi ibisa digunakan di rel ukuran berapa saja, baik R33, R42, maupun R54.

    Putra seorang guru STM yang menamatkan pendidikan S1 teknik sipil di Institut Teknologi Surabaya dan sarjana ekonomi di Universitas Islam Nusantara Bandung ini sangat rendah hati. "Paten KA-Clip bukan atas nama saya karena dari awal saya serahkan kepada PT KA," kata suami Windarti ini tanpa beban. Ia merasa semua bukan pekerjaannya sendiri karena antara lain PT Pindad memfasilitasinya untuk melakukan penelitian dan pengembangan, kemudian memproduksi.

    Kalau saja Novi yang memegang paten, dia akan mendapat royalti dari PT KA yang kini sudah menggunakan ribuan KA-Clip di seluruh jaringannya. KA-Clip itu membuatnya meraih Penghargaan Teknik Industri Kreasi Indonesia 2003 dari Presiden Megawati Soekarnoputri belum lama ini. (Moch S Hendrowijono) --- Sumber: Harian Kompas, 4 Desember 2003.
  10. DANI HILMAN NATAWIJAYA
    Penemu Indikator Alam (Terumbu Karang) terhadap Siklus Gempa

    Dr. Dani Hilman Natawijaya menemukan teori berdasar penelitiannya yaitu ada hubungan antara pertumbuhan terumbu karang yang hidup di pantai-pantai barat Sumatera dengan siklus kegempaan. Bentuk-bentuk terumbu karang dan umurnya menjadi indikator adanya siklus gempa dan gelombang tsunami.
  11. DJUANDA SURAATMADJA
    Penemu Beton Polimer yang Ramah Lingkungan

    Beton dalam pengertian umum adalah campuran bahan bangunan berupa pasir dan kerikil atau koral kemudian diikat semen bercampur air. Tetapi, tanpa menggunakan semen Prof Ir H Djuanda Suraatmadja melakukan penelitiannya sampai akhirnya terciptalah bahan bangunan baru yang disebut beton polimer. Hasilnya? "Ternyata cukup bagus dan sampai sekarang tidak pernah ada keluhan," kata Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Rektor Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung itu mengungkapkan berbagai uji coba lapangan sekaligus implementasi hasil temuannya.

    Ide dasar penelitian beton polimer pada awalnya berdasarkan pemikiran ingin mencari beton yang dalam hal-hal tertentu memiliki sifat lebih baik dari beton semen. Ternyata dari literatur diketahui, polimer memiliki sifat seperti semen.

    Polimer adalah suatu zat kimia yang terdiri dari molekul-molekul yang besar dengan karbon dan hidrogen sebagai molekul utamanya. "Bahan polimer berasal dari limbah plastik yang didaur ulang, kemudian dicampur dengan bahan kimia lainnya," kata penerima Piagam Penghargaan Menteri Pengawasan Lingkungan Hidup (1983) itu. Penggunaan bahan tersebut sekaligus bertujuan memanfaatkan limbah plastik, di samping mencari alternatif pengganti semen. "Ketika itu harga semen masih melonjak-lonjak," katanya dengan tutur kata halus.

    Berkat ketekunan dan kegigihannya, penelitiannya yang dilakukan sejak tahun 1975 dengan berbagai uji coba di Laboratorium Struktur dan Bahan serta laboratorium lainnya di ITB dan LIPI akhirnya membuahkan hasil. Hasil penemuan tersebut sekaligus menarik perhatian ilmuwan dan para industriawan mengingat beberapa keistimewaan dan sekaligus kelebihan beton polimer dibanding beton semen.

    Tahun 2000, Prof Ir H Djuanda Suraatmadja menerima penghargaan Anugerah Kalyanakretya pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional V yang dicanangkan Presiden Abdurrahman Wahid di Bandung.

    BETON polimer memiliki sifat kedap air, tidak terpengaruh sinar ultra violet, tahan terhadap larutan agresif seperti bahan kimia serta kelebihan lainnya. Yang lebih istimewa lagi, beton polimer bisa mengeras di dalam air sehingga bisa digunakan untuk memperbaiki bangunan-bangunan di dalam air.

    Satu-satunya kelemahan yang hingga kini belum teratasi adalah harga beton polimer masih belum bisa lebih rendah dibanding beton semen, kecuali untuk daerah Irian Jaya, di mana harga semen sangat mahal. Karena itu, beton polimer selama ini lebih banyak digunakan untuk rehabilitasi bangunan yang rusak.

    Perbaikan kubah clinker storage PT Semen Padang yang retak antara 0,01 sampai 5 mm akibat tertimpa crane dilakukan dengan menginjeksi bahan polimer JDB-01 Grout. Bahan serupa diberikan untuk perbaikan rotary kiln PT Tonasa IV yang retak pada pondasinya. Sementara perbaikan prilling tower PT Multi Nitrotama Kimia di lingkungan pabrik natrium nitrat di Dawuan, Cikampek, yang rusak akibat agresi bahan kimia tersebut, dilakukan dengan bahan polimer JDB-05 Coat. "Sampai sekarang masih tetap baik dan tidak ada keluhan," kata penerima Piagam Penghargaan Teladan Menteri PU (1992) dan Tanda Kehormatan "Satyalencana Karya Satya XXX tahun" itu.

    JDB-01 Grout dan JDB-05 Coat merupakan dua dari enam jenis bahan polimer hasil penelitiannya yang sudah dipatenkan dengan judul Beton Polimer untuk Perbaikan Struktur Beton dengan nomor paten P-981069. Empat jenis bahan polimer lainnya yang sudah dipatenkan adalah JDB-02 Seal, JDB-03 Bond, JDB-04 Prepack dan JDB-06 Shot. JDB merupakan singkatan dari penemunya, Djuanda dibantu dua mahasiswa yang menjadi rekannya dalam penelitian, Dicky dan Budi. Masing-masing jenis polimer tersebut memiliki sifat dan kegunaan berbeda. JDB-01 Grout, misalnya, merupakan bahan untuk pekerjaan grouting (pelapisan untuk menutupi celah). Sedangkan JDB-02 Seal merupakan bahan pelapis/penutup retakan pada pekerjaan grouting.

    Untuk merekatkan dua permukaan digunakan polimer JDB-3 Bond yang memiliki daya adesi tinggi. Sedangkan untuk beton prepack digunakan JDB-04 Prepack. Sedangkan JDB-05 Coat digunakan untuk pelapis dinding, lantai dan permukaan struktur bangunan lainnya dari gesekan atau agresi. Polimer JDB-06 Shot merupakan bahan untuk pekerjaan shotcrete.

    Keenam jenis polimer tersebut, selama ini masih diproduksi secara terbatas dan hanya berdasarkan pesanan. Walaupun ia mengakui tidak memiliki modal, tetapi ia belum bersedia menjual hak patennya. Dalam kesibukannya sebagai Rektor Itenas dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Siliwangi (Unsil) di Tasikmalaya, ia masih menyisihkan waktunya untuk melakukan penelitian. "Saya masih ingin mengembangkan lagi," katanya mengemukakan alasan.

    Lahir dari keluarga guru di Bandung, 3 Januari 1936, setamat dari Fakultas Teknik Sipil ITB (1960) Djuanda menjadi pegawai Pekerjaan Umum Jabar. Setelah enam bulan, ia kembali ke kampusnya karena kecewa. "Gambar-gambar yang saya buat tidak pernah direalisir," ujarnya.

    Anak kedua dari 12 bersaudara itu akhirnya memutuskan mengikuti jejak orangtuanya. Ayahnya, Otong Suraatmadja, adalah mantan Direktur SMA I Bandung, dan ibunya, Ny Kamidah Atmadidjaja, pernah menjadi guru Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) di Sumedang. Kariernya di ITB diawali sejak tahun 1960 sebagai asisten ahli. Ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (1977-1981) dan Kepala Program S2 STJR-ITB (1982-1992). Ayah tiga anak dari perkawinannya dengan Ny Hj Anny Sumarni M Ranusadjati itu banyak melakukan penelitian, di samping tidak kurang dari 24 karya tulis dengan delapan di antaranya disampaikan di luar negeri serta 16 karya teknologi yang sebagian besar merupakan konstruksi beton. Tahun 1971 dan tahun 1982 ia mengikuti pendidikan di The University of New South Wales, Australia, dan University California, Amerika Serikat, setelah sebelumnya di Purdue University selama dua tahun.

    Selama itu ia juga banyak melakukan penelitian. Karya-karya penelitiannya yang umumnya telah diseminasikan dalam bentuk Standar Nasional yang dapat berguna bagi masyarakat luas. Yaitu dalam bentuk Peraturan Dinas Nomor 10 tentang Jalan Rel Indonesia, SNI Uji Tarik Langsung Material Beton pada tahun 1997, dan SNI Tata Cara Pemakaian Beton Polimer untuk Perbaikan dan Penguatan Struktur Beton pada tahun 1998.

    Karya lainnya yang sekaligus merupakan penemuannya yang terbaru adalah pemanfaatan cooper tailling yang merupakan limbah PT Freeport di Irian Jaya yang selama ini terbuang percuma, bahkan menjadi masalah lingkungan.

    Cooper tailling berbentuk seperti pasir namun kurang baik jika digunakan sebagai bahan konstruksi beton semen. Sebaliknya bahan tersebut cukup baik untuk campuran beton polimer sehingga bisa menciptakan peluang wirausaha baru dalam produksi dan aplikasi beton polimer. Namun, ahli beton itu menyayangkan kerja sama ITB dengan PT Freeport terhambat karena situasi keamanan di wilayah tersebut. (Her Suganda) --- Sumber: Harian Kompas, 1 September 2000.
  12. EDDYMAN, INTAN ELFARINI & KANAKA SUNDHORO
    Penemu Obat Antinyamuk Alami dan Murah

    Setiap tahunnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) menyerang masyarakat di Tanah Air. Meski ada cara untuk menghindari dan mengobati penyakit ini, korban jiwa akibat DBD tak terelakkan juga. Kondisi ini menginspirasi siswa/siswi SMA Taruna Nusantara, Magelang, untuk sedikit menunjukkan baktinya kepada negara dengan meminimalisasikan jumlah penderita DBD. Sumbangsih ini mereka wujudkan dengan jalan mencari obat antinyamuk yang murah tapi efektif.

    Eddyman Kharma, Intan Elfarini dan Kanaka Sundhoro, pelajar SMA Taruna Nusantara, berupaya menawarkan cara membasmi nyamuk dengan murah, alami dan efektif. Temuan itu bukan serta-merta datang begitu saja, namun telah melewati penelitian ilmiah yang rumit dan panjang. Karena itulah, setelah dilombakan dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), karya ilmiah berjudul “Eksplorasi Bunga Sukun sebagai Pengganti Isi Ulang (Refill) Obat Nyamuk Elektrik” itu menyabet juara pertama.

    Menurut Eddyman Kharma, karya ilmiah yang diikutkan lomba itu merupakan sebuah usaha generasi muda dalam menjawab dan menanggapi kondisi kesehatan yang tengah dialami bumi Nusantara ini, khususnya masalah yang muncul karena nyamuk.

    Dikatakan siswa kelas tiga SMA itu, di tengah masyarakat yang terancam serangan nyamuk demam berdarah, tentunya kian banyak pula produsen obat antinyamuk yang menawarkan produk unggulannya. “Sayangnya, produk yang dikeluarkan sebagian besar perusahaan obat antinyamuk itu tidak ramah lingkungan dan bahkan bisa mengganggu kesehatan pemakainya. Ini dikarenakan sebagian besar obat antinyamuk mengandung bahan kimia sintetis berkonsentrasi tinggi, yaitu propoxur dan transfluthrin yang bisa menyebabkan kerusakan sel syaraf, bahkan kematian”, kata Eddyman sambil menegaskan bahwa obat antinyamuk temuannya, yang berbahan dasar buah sukun (Artocarpus communis) sebagai cara alami mengusir nyamuk yang tidak berefek buruk pada kesehatan penggunanya.

    Dalam penelitian ilmiahnya, ketiga pelajar SMA itu membandingkan keefektifan objek penelitian mereka dengan salah satu obat antinyamuk elektrik ternama. Setelah melalui uji laboratorium, kata Eddyman, obat antinyamuk temuannya justru lebih efektif dan lebih tahan lama ketimbang obat antinyamuk elektrik pembanding.

    “Hasil penelitian kami menyebutkan bahwa bunga sukun dapat digunakan sebagai penolak nyamuk, sekaligus bisa membunuhnya. Setelah dibandingkan dengan obat nyamuk elektrik, temuan kami lebih efektif dan tahan lama, dan tentunya lebih ekonomis”, kata Eddyman menjelang pemaparan karya ilmiahnya di muka dewan juri, awal Desember lalu.

    Dalam presentasi penelitian itu di kampus LIPI, Eddyman dan teman-temannya mengemukakan bahwa sukun memiliki banyak kegunaan, namun saat ini kebanyakan orang masih memanfaatkan sukun sebatas pada konsumsi buahnya sebagai sumber gizi dan pengobatan penyakit jantung, penyakit kulit, diare, diabetes, sakit kepala, sakit gigi, herpes, hipertensi, kelainan tulang dan sembelit.

    “Setelah melewati uji pustaka, diketahui bahwa bunga sukun mengandung zat kimia yang diperkirakan bisa mengusir bahkan membunuh serangga, namun aman bagi manusia”, kata Eddyman di depan juri.

    Adapun proses pembuatan obat antinyamuk  yang aman bagi lingkungan dan murah ini, kata Eddyman, tidak terlalu sulit. Bunga sukun dijemur sampai kering, lalu ditumbuk sampai halus. Selanjutnya serbuk bunga sukun itu dibungkus dengan kertas tisu, sehingga bentuknya seperti pelat obat antinyamuk elektrik.

    “Berat isi bungkusan ada yang 300 mg, 500 mg dan 700 mg”, katanya di depan juri.

    Langkah selanjutnya adalah menetesi bungkusan serbuk bunga sukun itu dengan air sebanyak 1 ml. Sekitar 1,5 jam berikutnya, ulangi lagi meneteskan air dalam jumlah yang sama ke bungkusan itu. Setelah kering, letakkan bungkusan tersebut pada mesin elektrik pembasmi nyamuk. “Untuk alat elektrik ini, kami masih menggunakan produk yang dibuat pabrik”, kata Eddyman. Kemudian alat elektrik tersebut dinyalakan di dalam sebuah kotak berisi delapan ekor nyamuk. Dalam waktu 10 sampai 20 detik, nyamuk terlihat menghindar, lalu satu menit setelah obat antinyamuk dari bunga sukun tsb dinyalakan, nyamuk mati.

    Hasil yang didapat, obat antinyamuk dari serbuk bunga sukun lebih tahan lama ketimbang produk keluaran pabrik. Bungkusan tisu berisi serbuk bunga sukun yang telah ditetesi air sebanyak 12 x 1 ml air setiap 1,5 jam efektif menolak nyamuk selama dua hari. Sementara produk pembasmi nyamuk elektrik merek tertentu hanya mempunyai tingkat keefektifan sekitar delapan jam.

    “Hasil lain yang kita dapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa bunga sukun yang digunakan sebagai penolak nyamuk lebih ramah lingkungan, karena bahan-bahan yang dikandungnya tidak bersifat racun terhadap manusia. Selain itu produk inovatif dari kita ini lebih ekonomis dan bisa terjangkau oleh semua kalangan, terlebih bagi mereka yang di dekat rumahnya ada pohon sukun. Aroma dari obat antinyamuk kita ini juga tidak menimbulkan bau yang mengganggu kok”, kata Eddyman usai penetapan kelompoknya sebagai juara pertama dan mendapatkan hadiah uang ditambah beasiswa setiap bulan selama satu tahun dari PT Asuransi Jiwa Bumiputera (AJB). [m7] --- Sumber: Harian Warta Kota, 17 Desember 2005.
  13. EVVY KARTINI
    Penemu Penghantar Listrik Berbahan Gelas

    Di kalangan internasional, Dr. Evvy Kartini memiliki reputasi terhormat. Ia dikenal sebagai ilmuwan penemu penghantar listrik berbahan gelas dengan teknik hamburan netron yang berdaya hantar sepuluh ribu kali lipat dari bahan sebelumnya. Penemuannya itu membuka peluang produksi baterai mikro isi ulang. Material kaca yang lebih elastis, secara logika bisa dibentuk semungil dan setipis mungkin. Revolusi baterai pun di depan mata. Baterai tidak lagi identik berpenghantar elektrolit cair.

    Sebelum menemukan bahan-bahan gelas berpenghantar listrik superionik, dibutuhkan percobaan mahal. Inilah yang sempat membuatnya hampir putus asa. Biaya dan fasilitas penelitian di Indonesia, termasuk Batan, tidak memungkinkannya. Beruntung, Evvy, penerima penghargaan Indonesia Toray Science Foundation/ITSF 2004 ini bukanlah tipe yang mudah putus asa. Dikirimkannya proposal itu ke lembaga penelitian di Kanada.

    Ketertarikan sarjana Fisika lulusan ITB itu terhadap pengembangan material gelas berawal pada saat ia magang di Hahn Meitner Institute (HMI) di Berlin, Jerman, 1990. Ia dibimbing ahli hamburan netron Prof Dr Ferenc Mezei.

    Karier penelitiannya dimulai saat menyelesaikan S2-nya di Universitas Teknik Berlin. Ia berhasil menemukan model baru difusi dalam material gelas. Penemuan itu dipresentasikan pada Konferensi Internasional Hamburan Netron (ICNS) Jepang. Maka namanya mulai tercatat dalam jurnal penelitian internasional bergengsi seperti Physica B (1994). Sejak itu, tawaran presentasi dan konferensi mengalir deras.

    Tahun 1996, melalui kolaborasinya dengan profesor dari Universitas Mc Master, Kanada, Evvy kembali menemukan hal baru: adanya puncak Boson pada saat energi rendah. Temuan itu dipresentasikannya pada 600 peserta konferensi hamburan netron Eropa I/ECNS di Interlaken, Swiss. Namanya kembali tercatat dalam jurnal internasional, Canadian Journal of Physics (1995), Physical Review B (1995), dan Physica B (1997).

    Ia pun mulai berkolaborasi dengan profesor dari Organisasi Sains dan Teknologi Nuklir Australia (ANSTO). Profesor itulah yang membuka jalan untuk berkolaborasi dengan banyak profesor lain di negara maju.

    Penelitian tentang bahan-bahan superionik berbahan gelas ia mulai tahun 1996, sepulang dari Jerman. Ia sempat frustrasi karena terbatasnya fasilitas, tetapi tetap tekun menyiapkan eksperimen, seperti difraksi Sinar X dan pengukuran suhu serta konduktivitasnya, untuk dikirim ke Chalk River Laboratory, Kanada.

    Tahun 1998 ia menerima penghargaan Riset Unggulan Terpadu (RUT) VI dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi atas penelitiannya berjudul "Sintesa dan Karakterisasi Bahan-bahan Gelas Superionik (AgI)x(AgPO3)1-x". Tahun itu juga, ia menerima tawaran program postdoctoral di Kanada.

    Sungguh kebetulan. Ia tidak perlu menyupervisi contoh yang akan dieksperimen di Kanada. Bersama Prof Dr MF Collins, ia mencoba memahami mekanisme konduksi dari bahan gelas bersifat superionik dan mengamati ketergantungan suhu bahan-bahan superionik.

    Saat itu pula ia mulai berkolaborasi dengan para profesor peneliti netron dari Jepang dan Inggris, negara-negara terkemuka dalam penelitian netron. Kolaborasi menghasilkan fenomena dinamika ion dalam bahan-bahan gelas. Penemuan besar yang dicari para ilmuwan dari berbagai belahan dunia.

    Dalam tempo dua tahun, 1998-2000, namanya tercatat di sepuluh jurnal bergengsi sebagai peneliti utama. Selain tercatat di jurnal Physica B, Evvy juga menulis buku Solid State Ionics (2001) bersama profesor dari Jepang.

    Di tengah kepopulerannya di kalangan fisikawan negara maju, dan berbagai bujukan dengan segala fasilitas untuk berkiprah di luar negri, namun istri Dr Ir Pratondo Busono (Kepala Bidang Instrumentasi Kedokteran BPPT) mengatakan tetap ingin bertahan di Indonesia. Ia mengaku masih ingin bebas meneliti dan memberikan ilmunya untuk kemajuan negeri ini. (Gesit Ariyanto) --- Sumber: Harian Kompas, 2004.
  14. FUAD AFFANDI
    Penemu Pupuk Alami dari Air Liur

    Mengapa bingung dengan harga pupuk dan pestisida yang melangit? Gunakan saja air liur, mujarab kok! Setiap bangun tidur bau mulut kita pasti terasa tak sedap. Tahukah Anda bahwa bau tak sedap itu sangat bermanfaat untuk dunia pertanian?

    Itulah yang dikembangkan Fuad Affandi. Putra Ciwidey, Bandung ini berhasil membuat karya inovatif berupa pupuk dan obat pemberantas hama tanaman dari bahan dasar air liur. Uniknya, Fuad bukanlah seorang ahli bioteknologi atau lulusan perguruan tinggi. Ia 'hanya' seorang kiai yang mengasuh 300 santri.

    Awalnya, ia melihat melimpahnya kotoran sapi, kambing, dan ayam. Mang Haji -demikian Fuad biasa dipanggil- berniat menjadikan kotoran ternak tadi menjadi pupuk kandang. Agar menjadi pupuk alami yang baik, kotoran itu harus diperam selama dua sampai empat bulan. Fuad berpikir, bagaimana mempercepat proses penghancuran dan pembusukan kotoran ternak tadi? Ternyata, bakteri penghancur yang ampuh justru ada di perut manusia. "Buktinya, hari ini kita makan, besok keluar sudah busuk," ujar alumnus Pesantren Lasem, Jawa Tengah ini.

    Menurut penelitian Laboratorium Mikrobiologi Universitas Padjajaran, Bandung, dalam air liur memang terdapat empat macam bakteri: Saccharomyces, Cellulomonas, Lactobacillus, dan Rhizobium. Bakteri ini biasa hidup di lambung manusia. Bagaimana mendapatkan bakteri itu? Tak kurang akal. Kebiasaan makhluk renik itu, kalau tidak ada makanan masuk dalam waktu cukup lama, mereka akan naik untuk menyantap sisa-sisa makanan yang ada di dalam rongga mulut. Karena saat tidur tidak ada makanan yang masuk, saat itulah banyak bakteri berkumpul di mulut.

    Nah, Fuad lantas memerintahkan 300 santrinya membuang air kumur pertama dari  bangun tidur ke dalam kaleng yang telah disediakan di depan penginapan santri. Mikroorganisme dalam air liur itu lalu dikembangbiakkan dengan menambahkan molase (gula), dedak, dan pepaya ke dalamnya. Setelah beberapa hari, air liur santri ternyata berubah menjadi cairan kental berwarna keruh, dengan bau wangi seperti bau coklat. Itu berarti bakteri dapat berkembang biak dengan subur. Fuad lalu menyiramkan cairan bakteri itu ke kotoran ternak dan jerami yang sedang diperam. Hasilnya dahsyat. Hanya dalam tiga hari, kotoran ternak itu hancur dan busuk, siap dipakai sebagai pupuk kandang. Penemuan Fuad ini diberi nama MFA (Mikroorganisme Fermentasi Alami) --kadang diplesetkan menjadi Mikroorganisme Fuad Affandi.

    MFA berkasiat untuk mempercepat ketersediaan nutrisi tanaman, mengikat pupuk dan unsur hara, serta mencegah erosi tanah. Semula, pupuk organik itu dipakai untuk kalangan sendiri, kemudian menyebar dari mulut ke mulut para petani di lingkungannya. Pada tahap selanjutnya, Mang Haji berhasil mengembangkan pupuk kandang menjadi cairan yang dikemas dalam botol dan siap disemprotkan ke tanaman.

    Inovasi Fuad tak berhenti sampai MFA. Dia juga menciptakan tiga jenis pembasmi hama tanaman yang diberi nama Innabat (Insektisida Nabati), Ciknabat (Cikur Nabati), dan Sirnabat (Siki Sirsak Nabati).

    Innabat adalah insektisida yang terbuat dari kacang babi dicampur bawang putih, bawang merah, cabe rawit, dan temulawak. Semua bahan itu digiling menjadi satu dan dicampur dengan air beras. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 14 hari sebelum disemprotkan ke tanaman. Ketika diuji, ramuan ini ampuh untuk membasmi berbagai jenis ulat, ngengat, dan lalat yang sering menyerbu tanaman sayuran.

    Sedangkan Ciknabat, yang terbuat dari cikur (kencur) dicampur dengan bawang putih, ampuh sebagai fungisida (pembasmi jamur tanaman). Selain membasmi jamur, Ciknabat juga berfungsi ganda sebagai insektisida. Kencur dan bawang putih ini tidak mematikan hama, tapi baunya membuat hama enggan mendekat.

    Lain lagi dengan Sirnabat, yang terbuat dari gilingan biji sirsak, merupakan  formula paling keras yang dibuat Fuad. Ramuan ini disemprotkan jika Innabat dan Ciknabat sudah tak mempan lagi mengusir hama.

    Untuk memproduksi pupuk dan pestisida alami itu, Fuad mendirikan pabrik di Garut, yang kini dikelola Tatang Sutresna, mantan santrinya. Permintaan tidak cuma datang dari Bandung dan sekitarnya, melainkan dari luar pulau, seperti Jambi, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

    Bila Fuad intensif mengembangkan pupuk dan pestisida alami, itu bukanlah aneh. Memang sudah sejak lama kiai ini bersentuhan dengan dunia pertanian. Bahkan pesantrennya, Al Ittifaq, yang berada di Desa Alam Endah Ciwidey, identik dengan pesantren pertanian. Santrinya tidak cuma memperdalam agama, juga belajar bercocok tanam. Hebatnya, beberapa santrinya dikirim ke Jepang dan beberapa negara Eropa mengikuti pelatihan agroindustri di sejumlah industri pertanian dan perkebunan, atas biaya Bank Dunia dan Departemen Pertanian.

    Saat pertama datang di Ciwidey, 40 km arah selatan Bandung, sekitar tahun 70-an, Fuad terheran-heran. "Mengapa penduduknya miskin, padahal alamnya sangat subur?" pikirnya dalam hati. Tampaknya, salah satu penyebab utama adalah tingkat pendidikan yang rendah. Banyak anggota masyarakat tidak tamat SD. Kalaupun ada, hanya bisa dihitung dengan jari. Terdorong oleh keinginan mengubah nasib masyarakat, Fuad lantas mendirikan pesantren. Bermodal sebidang tanah dan sedikit pengetahuan pertanian, Fuad kemudian juga mengajak beberapa warga menanam sayuran buncis dan kentang. Hasilnya ternyata bagus.

    Tentu saja keberhasilan ini mengundang minat banyak orang mengembangkan agrobisnis. Setelah beberapa kali gagal menembus pasar swalayan, karena syarat kualitas yang ketat, supermarket Hero akhirnya bersedia menerima sayuran Fuad. Jalan menuju keberhasilan semakin lempang. Buktinya, kini Fuad setiap harinya mampu memasok sayuran segar ke Jakarta sekitar 5 ton. Jumlah tersebut untuk memenuhi beberapa super market, dengan perincian: 2 ton ke Hero, serta 3 ton untuk Makro, Ramayana, dan Gelael. "Kalau ditanya omzet, Alhamdulillah dalam sebulan kurang lebih tiga ratus enam puluh jutaan," aku peraih penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden B.J Habibie (1998) ini.

    Dibanding pupuk dan pestisida kimiawi, buatan Fuad memiliki sejumlah keunggulan.

    Pertama, dari segi biaya, lebih murah. "Harga pestisida kimia Rp 50.000, sedangkan produksi cuma Rp 15.000," tutur Apep, Wakil Ketua Pondok Pesantren Al Iftifaq. Apep memberi gambaran, untuk luas 1 ha tanaman buncis petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 2 juta untuk membeli pestisida kimia/sintesis. Kalau menggunakan pestisida alami, petani hanya mengeluarkan beaya Rp 100.000, dengan luas lahan yang sama. "Hasilnya sama, per hektar sekitar 8 ton," ujarnya.

    Kedua, menggunakan pupuk dan pestisida alami tentu lebih sehat, karena tidak menimbulkan pencemaran lingkungan maupun hasil produksinya.

    Ketiga, harga sayurannya lebih tinggi, karena sayuran tampak lebih segar, bersih dan bebas dari zat-zat kimiawi.

    Bukan berarti tanpa kendala. Menurut Apep, yang sulit justru mencari bahan bakunya.

    Misalnya, untuk membuat Innabat, sangat sulit mendapatkan kacang babi. Juga untuk membuat Sirnabat, biji sirsaknya tidak gampang diperoleh. "Mungkin, kami perlu mendatangi para penjual juice buah sirsak, atau para pembuat dodol sirsak," kata Apep sambil terkekeh. Melejitnya harga pupuk dan pestisida kimia sekarang ini, tentu peluang untuk kembali ke alami. "Pesanan memang naik drastis. Saya optimis produksi kami akan dicari petani. Sekarang kapasitas produksi kami bisa 30 ton/bulan," kata Awang Nawangsih, yang bersama suaminya, Tatang Sutresna, diberi amanah mengembangkan MFA.

    Prospek agrobisnis dengan mengedepankan pestisida serta pupuk ramah lingkungan yang dikembangkan Ponpes Al-Iftifaq ini, sudah dikenal masyarakat luas bahkan jadi pilot project skala nasional di lembaga pertanian lain. "Jangankan kabupaten, dari pusat pun banyak yang berdatangan ke pesantren itu guna melihat kemajuan agrobisnisnya. Hasil produksi sayurannya bisa akses ke supermarket," kata Ir. Jumhana, Kasie Pengembangan Produksi Buah-buahan, Tanaman Hias serta Tanaman Obat Dinas Pertanian dan Hortikultura Kab. Bandung. (ddg) --- Sumber: Majalah Suara Hidayatullah, Juni 1999.
  15. HARYADI
    Penemu Alat Penghancur Jarum Suntik Bekas

    Mengatasi limbah jarum suntik bekas yang selama ini hanya dikubur atau dimasukkan ke insinerator (penghancur sampah), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkenalkan alat pelebur jarum suntik bekas, Syringe Shredder SS-500. Alat tersebut mampu meleburkan bahan stainless steel jarum suntik yang bertitik lebur 1.200 derajat Celcius menjadi serbuk.

    Peneliti LIPI dari Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi Ir Haryadi MT menjelaskan, cara penguburan jarum suntik bekas atau penggunaan insenerator tidak efektif, karena insenerator tidak mampu mencapai titik lebur jarum suntik.

    “Pengoperasian insinerator juga memerlukan tempat khusus dan energi yang besar, sementara temuan LIPI tersebut merupakan alat yang portable dan digerakkan dengan tenaga motor listrik berdaya 100 Watt,” ujarnya di Jakarta, Selasa (7/11/2006). Sedangkan upaya penguburan sampah bekas jarum suntik akan membuat masyarakat tidak aman dari kemungkinan kecelakaan akibat tusukan jarum suntik bekas itu.

    Haryadi menjelaskan, alat penghancur jarum suntik itu memanfaatkan panas yang tinggi yang ditimbulkan akibat gesekan pada saat proses penghancuran secara mekanis sehingga menghasilkan serbuk yang sudah steril. “Peranti itu juga dirancang untuk mampu menghancurkan jarum suntik menjadi serbuk berukuran 0,005 mikron hanya dalam waktu 10 detik, sedangkan botol penampungnya mampu menampung minimal 300 jarum suntik serbuk,” tuturnya.

    Alat berdimensi 250x120x200mm dengan bahan aluminium cor, hard nylon dan stainless steel yang praktis tersebut telah terdaftar dengan nomor paten S0020050055. Saat ini jarum suntik hanya digunakan praktisi medis sekali pakai sebagai pengganti jarum suntik tabung gelas. Ini untuk mencegah resiko penyebaran virus melalui jarum suntik dari satu pasien ke pasien lain. Namun penggunaan jarum suntik sekali pakai membuat limbah jarum suntik semakin menggunung sehingga memerlukan suatu alat yang betul-betul mampu memusnahkannya, dan yang tak kalah penting harganya relatif terjangkau. (iis) --- Sumber: Pdpersi Jakarta, November 2006
  16. HERMAN JOHANNES
    Penemu Tungku Berbahan Bakar Briket Arang Kayu dan Dedaunan

    Benda itu mengusung nama B3. Tapi ia bukan limbah beracun dan berbahaya. Justru banyak guna serta ramah lingkungan. Itulah tungku B3 (biomassa, bioarang dan biogas) temuan Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (1961-1966). Bahan bakarnya briket arang dari potongan kayu dan dedaunan. Tapi apinya panas sekali, tak kalah dengan kompor gas.

    Tungku B3 dikembangkan oleh ayah presenter berita Helmi Johannes ini pada awal 1980-an. Herman --meninggal pada 1992 dalam usia 79 tahun—berprinsip, apapun yang dikembangkan harus membantu ekonomi kecil. “Pemikirannya sederhana, bagaimana rakyat kecil tidak keluar uang untuk membeli minyak tanah sebagai bahan bakar”, kata Robby, menantu sekaligus asisten Herman.

    Nah, jadilah Herman, mantan Menteri Pekerjaan Umum (1950-1951) ini, berkutat mengembangkan bahan bakar murah dan tidak merusak lingkungan. Ayah empat anak yang hidup sederhana itu mengumpulkan limbah organik seperti potongan kayu, ranting, daun-daunan, batang jagung dan alang-alang. Bahan eceng gondok pun jadi. Inilah yang ia sebut biomassa. Setelah itu dilakukan proses pirolisis, yaitu pembakaran tanpa udara.

    Pembakaran dilakukan dalam drum dengan membuat lubang kecil untuk mengeluarkan asap. Jika asap hitam keluar, berarti bahan-bahan tersebut telah menjadi karbon atau disebut bioarang. Bioarang ditumbuk dan dibentuk sesuai cetakannya, bisa kaleng biskuit atau anglo.

    Tumbukan bioarang dipadatkan, bagian tengah dibuat lubang berbentuk silinder. Diameternya kira-kira 10 sentimeter. Briket arang tersebut siap digunakan. Caranya, dibakar di bagian tengah. Apinya tanpa asap! Sebab, asapnya turut menjadi bahan bakar. Apa yang dihasilkan inilah yang disebut biogas. Tungku B3 tak hanya bisa mengurangi ketergantungan rakyat pada minyak, juga sungguh ramah lingkungan. Tak perlu menebang pohon untuk mendapatkan biomassa. (Taufik Alwie, Sawariyanto) --- Sumber: Majalah Gatra, Agustus 2004.
  17. I GEDE NGURAH WIDIDANA
    Penemu Formula Minyak Oles Bokashi

    Sepak Terjang Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr dalam pengembangan Teknologi EM di Indonesia, Khususnya di bidang kesehatan adalah membuat ramuan yang amat terkenal yaitu MINYAK OLES BOKASHI. Ramuan serbaguna yang terbuat dari campuran beberapa tanaman berkhasiat obat yang difermentasi dan diekstrak dengan teknologi EM. Maka G.N. Wididana dikenal dengan nama "Pak Oles" dan ramuannya dikenal oleh masyarakat luas sebagai "Ramuan Pak Oles".

    Persentuhan Wididana dengan obat-obatan alternatif berbasis teknologi effective micro-organism (EM), yang kemudian menjadi bisnis inti, memang bukan suatu kebetulan. Artinya, bidang yang biasanya dihubungkan dengan wangsit dan klenik itu tidak ditempuhnya lewat jalur supranatural. Wididana menempuh jalan ilmiah. Ini dimulainya pada 1980-an ketika dia memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali. Ketika tamat pada 1985, dia tak lantas mencari pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan besar. Kelahiran Busung Biu, Buleleng, Bali, 9 Agustus 1961 ini langsung mengabdikan ilmunya di sawah, alias menjadi petani. Dia menyewa tanah seluas 2 hektare di lereng Gunung Batur, di tepi Danau Batur yang terletak di daerah wisata Kintamani. Di daerah yang dingin dan tak terjamah aliran listrik itu dia menanam aneka sayuran.

    Toh, itu tak membuat Wididana terisolasi dari kegiatan ilmiah. Di sela-sela kesibukannnya sebagai petani, dia mencari hiburan dengan bertandang ke Balai Seni Toyabungkah, milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA), yang letaknya tidak seberapa jauh dari kebun sayurnya. Anak desa itu kemudian ditawari STA bergabung di laboratorium lapangan Fakultas Pertanian Universitas Nasional. Begitulah, Wididana kemudian pindah ke Jakarta, meninggalkan kebunnya yang baru setahun dikelola, untuk mengurus kebun orang. Setahun kemudian pria berpenampilan sederhana itu mendapat beasiswa dari Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang. Di Negeri Sakura dia berkesempatan belajar langsung dari Prof. Dr. Teruo Higa, penemu teknologi EM. Menurut Wididana, teknologi EM baru ditemukan tahun 1980, untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia di bidang pertanian dan kesehatan yang mulai berlebihan.

    Ketika kembali ke Jakarta pada 1990, Wididana yang bergelar Master of Agriculture bidang holtikultura langsung menjadi Dosen dan Kepala Laboratorium Fakultas Pertanian Unas. Dia sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang memperkenalkan teknologi EM. Di Unas, dia cuma bertahan empat tahun. Pada 1994 dia kembali ke Desa Bengkel, Busung Biu, Buleleng. Di tanah kelahirannya itu, dia berkonsentrasi membesarkan PT Songgolangit Persada. Perusahaan ini memasarkan pupuk organik yang diolah dari sampah rumah tangga.

    Selain itu, Wididana juga mendirikan Yayasan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Dia melengkapi IPSA dengan kebun seluas 7 ha sebagai sarana menerapkan teknologi EM. Lahan ini ditanami 135 jenis tanaman obat dan sepenuhnya dijalankan dengan metode EM. Itu tak berarti jalan telah terbuka buat teknologi EM yang dibawanya dari Jepang. Para petani yang terbiasa menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan hasil panen, ogah mencobanya. Dukungan pemerintah juga tak dia dapatkan. Ilmu yang dia dapat dari Prof. Teruo kemudian digabungnya dengan usadha (pengobatan tradisional Bali). Penelitiannya yang tak kenal lelah akhirnya menghasilkan ramuan multimanfaat pada 1998. Ramuan itu diberi nama Minyak Oles Bokashi, dikemas dalam botol 10 dan 40 ml dengan harga Rp 10 ribu dan Rp 40 ribu. “Bokashi” diambil dari bahasa Jepang yang berarti fermentasi. Ini sesuai dengan teknologi EM yang dipergunakan untuk menemukan ramuannya hingga menghasilkan minyak. Sementara itu, kata “oles” dipilih karena penggunaannya dilakukan dengan cara mengoles laiknya teknik pengobatan tradisional Bali. Selain itu, “oles”, menurut Wididana, merupakan singkatan dari organik lestari sehat sejahtera.

    Produk bokashi oles itu kemudian dipasarkan Wididana kepada para petani di desanya dari pintu ke pintu. Usahanya yang tak kenal lelah akhirnya membuahkan hasil. Pasar mulai melirik produk bokashi organik olesnya dengan peningkatan signifikan dari waktu ke waktu. Melihat produknya mulai mendapat sambutan positif di pasar, Wididana akhirnya memutuskan memproduksi temuannya secara massal. Begitulah, pada 2000, dengan modal Rp 20 juta dan dibantu lima karyawan, dia mendirikan pabrik pupuk bokashi di Desa Bengkel, Buleleng. Produk pertamanya, pupuk organik bokashi. Kendaraan yang dipakainya adalah PT Karya Pak Oles Tokcer.

    Sukses ini berakibat hilangnya nama Wididana dari dunia bisnis yang dirintisnya. Orang lebih mengenalnya sebagai Pak Oles. Wididana sendiri tidak keberatan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Baginya, yang penting orang bisa disadarkan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Apalagi, sebutan itu membuat produknya makin cepat dikenal dan laris di pasar. Ini terbukti dengan semakin bervariasinya produk Pak Oles. Selain Minyak Bokashi Oles, sekadar menyebut sebagian, ada minyak oles untuk gatal-gatal, pegal, keseleo, linu, perut kembung bayi, cacingan, melancarkan peredaran darah, rematik, sampai penambah “greng” pria, minyak kayu putih, dan minyak sajas (khusus hewan). Lalu, madu (7 jenis), parem (2 macam), anggur (2 macam), balsem, krim kecantikan, penambah awet muda, serta minyak oles relaksasi untuk spa dan EM keramik.

    Tak berhenti sampai di situ. Untuk keseimbangan lingkungan, Pak Oles juga meluncurkan Ecocity-1 untuk membersihkan lantai hingga menghilangkan bau pengap. Ini juga bisa dipakai buat memandikan hewan piaraan serta mencuci mobil. Lalu, ada produk yang diberi nama EM-4 untuk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan pengolahan limbah; EM Toilet untuk menghilangkan bau tak sedap dari limbah WC; Sarula-3 untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil pertanian; dan Saferto-5 untuk mencegah serangan hama. Dalam waktu tak terlalu lama, variasi produknya sudah mencapai 24 jenis. Ini membuat pabriknya di Desa Bengkel tak sanggup lagi memenuhi permintaan pasar. Pak Oles lalu menambah satu pabrik lagi di Denpasar, sekaligus mendekati konsumennya. Meski telah memiliki dua pabrik, semua produknya tetap dipasarkan di bawah payung besar PT Karya Pak Oles Tokcer.

    Kesibukan Wididana yang terus bertambah, baik di perusahaannya yang terus berkembang maupun di yayasan, tak membuat kreativitasnya mandek. Tahun 2001 dia malah menemukan alat yang disebutnya spontan power. Alat ini dikaitkan di mesin mobil atau motor untuk menghemat energi, menambah tenaga, memperpanjang umur mesin, memperhalus suara mesin, dan, yang terpenting, untuk menekan polusi udara. Harga yang ditawarkan Rp 70 ribu untuk spontan power motor dan Rp 400 ribu untuk mobil. Pemasaran produknya, selain door-to-door, kini juga menggunakan gerai modern lewat apotek dengan sistem beli putus. Pemasarannya tidak lagi terbatas di Bali, tapi sudah menjangkau Jakarta, dan kota-kota besar di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi dan Sumatera. Ekspornya, meski belum banyak, sudah menjangkau Jepang, Malaysia, Thailand, Korea, AS, Australia, Austria, dan beberapa negara Timur Tengah. Omset Pak Oles mencapai Rp 3 miliar/bulan atau Rp 36 miliar/tahun, separuhnya disumbang Minyak Oles Bokashi. Produk bokashi pertanian rata-rata menyumbang Rp 300 juta/bulan, sedangkan spontan power yang diluncurkan pada 2001 menyumbang Rp 20 juta/bulan. Total karyawan Pak Oles kini sekitar 1.800 orang.

    Bila tak ada aral melintang, Wididana boleh jadi akan menjelma menjadi konglomerat baru di Indonesia yang masuk lewat pintu alternatif. Ahli hama dan penyakit tanaman berumur 43 tahun itu kini memasuki bisnis resto dengan membuka rumah makan di Denpasar yang diberi nama Warung Organik Pak Oles Fish & Vegetables. Di sini disediakan berbagai masakan yang bebas bahan kimia. Dia juga membuka dua klinik pijat dan penyembuhan Bali ala Pak Oles, diberi nama Usadha Oles. Klinik ini melayani pijat relaksasi, pijat osteopati (kepala dan tulang belakang), pijat sirkulasi, pijat refleksi, pijat alternatif patah tulang, dan bokashi therapy - pengobatan dengan panas bokashi.

    Paparan di atas dengan gamblang menunjukkan keuletan pria Bali yang satu ini. Dia bergerak bak meteor di bidang yang dikuasainya betul. Rantai bisnisnya, meski kelihatan setengah main-main, dibangun serius dari hulu ke hilir. Penyandang gelar Doktor dari American Institute Management Studies, Hawaii (1999), ini memproduksi sendiri bahan baku yang dibutuhkan pabriknya. Sejak dulu Pak Oles yakin, bila teknologi dan manajemen digabungkan, akan menghasilkan industri. Bila industri tersebut mendapat dukungan informasi yang akurat, akan menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar. Keyakinan ini kemudian dirumuskan Pak Oles menjadi SIMT (sistem informasi manajemen dan teknologi) yang dipakainya untuk membangun jaringan bisnis. Usahanya, menurut Pak Oles, dibangun secara konservatif alias menghindari utang. "Saya tidak ingin besar tapi dibebani utang," katanya terus terang. "Itu sebabnya, saya tidak mau gegabah menambah kapasitas produksi, sebelum ada kepastian bahwa produk itu akan diserap pasar," ia menambahkan.

    Wididana tak punya jawaban pasti ketika ditanya soal kunci suksesnya. "Dalam bisnis, yang penting keberanian menangkap peluang dan jangan sekali-kali masuk ke medan atau usaha yang tidak kita kuasai," katanya hati-hati. "Lalu, harus dikelola dengan manajemen yang profesional. Tanpa itu, semuanya bisa jadi nol," ujarnya tegas. Wididana mengaku sangat berterima kasih kepada istrinya, Komang Dyah Stuti, dan empat putranya yang mendukung kreativitasnya. Juga, kepada 1.800 karyawannya di seluruh Indonesia. Tanpa dukungan mereka, dia menandaskan, tak mungkin Pak Oles Tokcer bisa berkembang. Tahun ini dia menargetkan meraup penjualan di atas Rp 40 miliar.  (Ishak Rafick, Silawati, Susi Sulistiorini) --- Sumber: Majalah SwaSembada, 18 Maret 2004.
  18. I MADE BUDI
    Penemu Formula Sari Buah Merah untuk Pengobatan

    Secercah harapan bagi penderita HIV/AIDS untuk sembuh muncul dari pulau paling timur Indonesia, Papua. Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lum.) yang diduga hanya tumbuh di pulau tersebut, tampaknya bisa diprediksi sebagai obat penangkal virus yang menyerang kekebalan tubuh.

    Drs. I Made Budi, MS menceritakan tentang pengalamannya menggunakan Sari Buah Merah terhadap seorang pengidap HIV/AIDS. Berat badannya semula 27 kg, karena terserang virus yang belum ada obatnya itu, namun setelah mengonsumsi Sari Buah Merah, naik menjadi 42 kg. Awalnya, orang yang mengidap HIV/AIDS itu dibawa oleh Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua kepada I made Budi yang sedang meneliti buah itu. YPKM Papua yang mengetahui adanya Sari Buah Merah yang dapat merekondisi kesehatan penderita HIV/AIDS meminta I Made Budi untuk membuatkan dan meminumkannya kepada si pengidap HIV/AIDS. Setelah beberapa lama meminum Sari Buah Merah, ternyata ia merasa lebih baik. Gejala diare berat dan sariawan yang muncul jika mengidap HIV/AIDS hilang. Ia merasa segar dan bisa melakukan kegiatan sehari-hari, bak orang sehat kembali.

    Sari Buah Merah yang disebut Kuansu oleh penduduk setempat menjadi fokus penelitiannya untuk obat secara tidak sengaja. Awalnya, lanjut Made, Buah Merah itu diambil oleh masyarakat Wamena hanya sebagai bahan makanan. Dosen Universitas Cendrawasih itu mengamati secara seksama kebiasaan masyarakat tersebut yang mengonsumsi buah merah itu, ternyata masyarakat sekitar jarang terkena penyakit berat seperti hepatitis, kanker, jantung, hipertensi dan termasuk HIV/AIDS. " Saat itu saya menduga, jarangnya penyakit yang diderita masyarakat Wamena pasti berhubungan dengan buah itu," ujar Made.

    Setelah meneliti beberapa lama, ternyata Buah Merah itu banyak mengandung Antioksidan, Betakarotin, Omega 3 dan 9, serta banyak zat lain yang meningkatkan daya tahan tubuh. "Kemudian saya melakukan percobaan kepada 30 unggas karena virus penyakit yang berbahaya tersebut juga ditemukan sudah menyerang unggas," ujar Made yang menyelesaikan S2 bidang gizi masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB).

    Semula ahli gizi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) itu hanya ingin mengungkap kandungan gizi buah tersebut, namun akhirnya ia mencoba juga meneliti, apakah bisa untuk menangkal HIV/AIDS. Ternyata dari hasil analisis, kandungan kimiawi Buah Merah itu dapat yang mengilhami Made untuk menjadikan sebagai obat. Buah Merah itu mengandung zat gizi bermanfaat dalam kadar tinggi. Di antaranya Betakaroten, Tokoferol, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan dekanoat. Semuanya merupakan senyawa obat aktif.

    Betakaroten berfungsi memperlambat berlangsungnya penumpukan flek pada arteri. Jadi aliran darah ke jantung dan otak berlangsung tanpa sumbatan. Interaksinya dengan protein meningkatkan produksi antibodi. Ini meningkatkan jumlah sel pembunuh alami dan memperbanyak aktifitas sel T Helpers dan limposit. Suatu studi membuktikan konsumsi betakaroten 30 - 60mg/hari selama 2 bulan membuat tubuh memiliki sel-sel pembunuh alami terbanyak. Bertambahnya sel-sel pembunuh alami itu menekan kehadiran sel-sel kanker. Mereka ampuh menetralisir radikal bebas senyawa karsinogen, penyebab kanker.

    Peran Buah Merah lainnya yaitu sebagai antikarsinogen yang makin lengkap dengan kehadiran tokoferol. Senyawa ini berperan dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh yang menjadi sasaran HIV/ AIDS.

    Buah Merah yang mengandung Omega 3 dan 9 dalam dosis tinggi itu sebagai asam lemak tak jenuh yang gampang dicerna dan diserap sehingga memperlancar metabolisme. Lancarnya metabolisme sangat membantu proses penyembuhan. Sebab, tubuh mendapat asupan protein yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh.

    Asam lemak yang dikandung buah merah juga merupakan antibiotik dan antivirus. Mereka aktif melemahkan dan meluruhkan membran lipida virus serta mematikannya. Bahkan virus tidak diberi kesempatan untuk membangun struktur baru sehingga tak bisa melakukan regenerasi. Karena kemampuan itu, ia efektif menghambat dan membunuh beragam strain HIV/AIDS, termasuk virus hepatitis yang merusak sel hati. Ia juga terbukti menghambat dan membunuh sel-sel tumor aktif. (Bagoes Illen) --- Sumber: Harian Pikiran Rakyat, 6 Desember 2004.
  19. LALU SELAMAT MARTA DINATA
    Penemu Alat Pemanggil Ikan

    Memanggil ikan di laut agar mendekat biar gampang terperangkap jaring maupun jala nelayan mungkin masih langka. Lalu Selamat Marta Dinata alias Memet (23) bisa menjawab kelangkaan itu. Dengan alat bikinannya yang mengeluarkan suara dan cahaya, ikan ditanggung bakal mendekati bunyi dan sinar itu.

    "Saya sebut saja 'API' (alat pemanggil ikan), daripada susah-susah mikir," ujar Memet mengenai nama rakitannya itu.

    API terbuat dari komponen yang biasa digunakan sebagai bahan baku produk elektronik, seperti transistor frekuensi rendah, transformer (trafo frekuensi), piezo (penghasil/pengatur tingkat suara), kapasitor elektrolit dengan kertas sebagai filter RC (resistor-capasitor), dan lampu led super yang memproduksi suara.

    Perangkat itu dilengkapi baterai, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kedap air terbuat dari plastik kaca, yang biasanya digunakan sebagai wadah bumbu merica. "Dulunya pakai tupperware, meski suaranya konstan, karena tidak dilengkapi piezo," tutur Memet mengungkap tahapan temuannya itu.

    API, yang secara teknis komponennya lebih sempurna dibandingkan dengan alat sebelumnya itu, menghasilkan lengkingan frekuensi suara 10 kHz- 150 kHz dan jangkauan daya bias lampu mencapai 200-500 meter pada malam hari. Dari hasil uji coba alat yang dimasukkan pada kedalaman laut dua-tiga meter di perairan Batu Nampar, Lombok Timur, diketahui bahwa yang memburu suara dan sinar itu adalah udang lobster, ikan layar dan kapas, kepiting, serta ikan-ikan kecil.

    API itu digantungkan pada jaring angkat yang diletakkan sekitar 6-10 meter kedalaman laut. Sekitar 15-30 menit setelah alat diaktifkan, kawanan ikan berdatangan, jaring pun diangkat pelan-pelan, sehingga ikan itu kena serok. Malah dengan frekuensi 45 kHz- 90 kHz, alat tersebut dikatakan mampu memanggil ikan sepanjang satu jengkal dan selebar lima jari orang dewasa.

    Memet menciptakan temuannya itu setelah terinspirasi oleh tayangan televisi yang menyiarkan beragam temuan teknologi, seperti bagaimana memanggil anjing dan kelelawar dengan memakai frekuensi ultrasonik. "Anjing pelacak bisa dipanggil dengan peluit yang bila ditiup tidak terdengar kuping manusia karena frekuensinya di bawah 30 kHz. Batas frekuensi yang tertangkap genderang telinga manusia maksimal-minimal 30 kHz," ucapnya. Sedangkan "memanggil-mengusir tikus dan nyamuk, saya ketahui dari buku ilmiah," ujarnya lagi. Memet yang saat itu masih kelas I Sekolah Teknik Menengah (STM) Wiraswasta Cimahi, Bandung, Jawa Barat, tergugah. "Jika binatang bisa dipanggil, mengapa pola yang sama tidak diterapkan pula pada ikan?" ucapnya.

    Anak pertama dari empat bersaudara pasangan Lalu Kartawinata (almarhum)-Neneng Herawati ini lalu memulai proses kreatifnya. Dia lantas membeli radio, amplifier, dan televisi rongsokan di pasar loak yang harganya rata-rata Rp 1.500-Rp 5.000 per unit, dengan menyisihkan jatah uang jajannya. Barang elektronik itu dibongkar, komponennya yang masih layak pakai dirakit lagi.

    Dia juga mempelajari perilaku ikan yang gemar mengejar dan mengelompok pada plankton yang mengeluarkan cahaya berkedap-kedip di malam hari, sehingga "di mana ada sinar, di situ biasanya banyak ikan. Dan, sebagai pengganti cahaya plankton, saya gunakan lampu led super yang kilatannya 500 meter per 0,5 detik sampai satu detik di dalam air, seperti kilatan lampu blitz," tuturnya.

    Setelah setahun berkutat dengan peranti elektronik, Memet berhasil merakit alat yang diinginkan saat di kelas II. "Tinggal di mana alat ini saya uji coba," tuturnya.

    Beruntung dia punya teman yang berasal dari Desa Cihampelas, Kecamatan Cililin, Bandung, yang memiliki beberapa petak kolam ikan air tawar. Memet diizinkan menggunakan dua petak kolam. Kolam pertama diisi ikan, kolam kedua tanpa ikan, hanya berisi air yang disalurkan melalui saluran dari kolam pertama. Alat ciptaannya itu dicelupkan ke kolam yang kosong ikan, dan sekitar 15 menit kemudian ikan di kolam pertama menyerbu kolam kedua melalui saluran tadi.

    Memet tampaknya belum puas bila alat itu cuma digunakan di kolam di darat. Dia ingin agar 'API'-nya dapat dimanfaatkan dalam skala yang lebih luas, yaitu di laut, guna membantu para nelayan. Niat itu dilatarbelakangi oleh "wilayah negara kita sebagian besar berupa kepulauan", juga kehidupan nelayan yang serba susah, sementara hasil tangkapannya sebatas untuk membiayai hidup satu-dua hari.

    Saking terdesak oleh tuntutan hidup, tidak sedikit nelayan yang berpikir pendek, seperti meracik bahan tertentu kemudian dipakai untuk ngebom, atau memakai potasium. Pola seperti itu menjadikan ekologi dan ekosistem laut rusak.

    Hanya saja, niat Memet tak begitu saja kesampaian. Selain dia tak punya biaya, tempat tinggalnya di Bandung relatif jauh dari laut. "Kita baru ketemu laut empat jam perjalanan dari Bandung," ujarnya. Baginya, Bandung kurang memungkinkan untuk mengimplementasikan alatnya itu.

    Akhirnya, setelah tamat STM, Memet pulang ke tanah kelahirannya di Lombok, tinggal di rumah bibinya di Jalan Gunung Kawi, Mataram. Lombok, atau Nusa Tenggara Barat (NTB), yang secara geografis sebagian besar wilayahnya berupa laut, memberi peluang besar baginya untuk memasyarakatkan temuannya itu.

    "Di Lombok, jalan dalam hitungan menit, kita sudah sampai laut," katanya. Betapapun, dia harus bekerja keras mencari kawan dan relasi untuk memperkenalkan temuan dan pengakuan dari banyak kalangan. Awal tahun 2002, dia mengajukan proposal ke Kantor Bappeda NTB, dengan harapan lembaga ini mau membiayai penelitian dan temuannya.

    Tanggapan instansi itu positif dan dia diminta menunggu kabar lebih lanjut. Seraya menunggu kepastian, Memet mengajukan proposal yang sama ke Kantor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB, yang kemudian merekrutnya sebagai tenaga kontrakan. Masa kontraknya berakhir Desember 2002. Melalui balai inilah Memet punya banyak kesempatan mewujudkan cita-cita membuat temuannya.

    Memang, teknologi sederhana itu belum bisa digunakan secara massal kendati dari aspek efektivitasnya dinilai sudah layak. "Sebagai produk massal, kan, saya butuh detailnya. Misalnya, bila frekuensinya segini, jenis ikan apa yang mendekat," katanya.

    Memet yang lahir 1 Maret 1979 di Mataram merasa yakin, perusahaan di Tanah Air mampu memproduksi tabung-salah satu komponen yang sangat ia butuhkan-dengan mutu yang diperlukan untuk API-nya.

    Ia mengharapkan teknologi sederhana itu dapat diproduksi secara massal, apalagi setelah ditotal, harga per unitnya dinilainya tidak terlalu mahal, sekitar Rp 200.000-Rp 250.000, sehingga dapat terjangkau para nelayan di Tanah Air yang kemampuannya sangat terbatas. Dengan alat ini, nantinya, pola penangkapan ikan secara destruktif bisa ditekan.

    Memet kini bangga, sebab dari API, dia termasuk dalam 11 orang yang mendapat "Anugerah Teknologi Terapan" dari Pemerintah Provinsi NTB dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun NTB pada 17 Desember 2002. Namun, penghargaan itu bukanlah tujuan akhirnya.

    Tahap berikutnya, "bagaimana para nelayan bisa membawa pulang ikan dengan menggunakan alat yang saya buat", adalah cita-cita Memet, yang, meskipun masih dalam usia muda, mau memikirkan kehidupan rakyat kecil. (Khaerul Anwar) --- Sumber: Harian Kompas, 19 Desember 2002.
  20. M. DJOKO SRIHONO
    Penemu Penjernih Air Limbah

    Pria ini lahir di Surakarta (Jawa Tengah) pada 13 Maret 1946. Sejak kecil gemar mengamati dan meneliti. Pada suatu pagi, ia memperhatikan ibunya yang sedang memasak. Diperhatikannya, bila sayur yang dimasak ibunya terlalu asin maka ibunya akan menambahkan kentang ke dalam sayur itu. Tersimpul dalam pikirannya, ternyata kentang bisa mengurangi rasa asin. Lalu ia mencoba membuat sendiri sari kentang yang kemudian ia pakai untuk mengurangi rasa asin. Ternyata keasinan tidak berkurang. Perhatiannya beralih pada pati kentang yang digunakan untuk membuat sari kentang tadi. Maka kemudian tepung pati kentang dicobanya, ternyata berhasil.

    Adalah suatu budaya yang lazim, para lelaki di lingkungannya memelihara burung perkutut. Setiap sangkar burung biasanya memiliki tempat air minum dan biasanya diberi tumbuhan patah tulang (Eforbia ferocalli). Hal ini menarik perhatiannya. Kemudian ia mengetahui bahwa pemberian jenis tumbuhan tsb ternyata dapat mencegah timbulnya bau akibat kontaminasi air dan makanan burung. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia pun mencoba dengan berbagai tumbuhan lainnya. Jelaslah, ia sudah memiliki bakat dan perhatian untuk menjadi inovator.

    Pendidikan yang dijalani mengantarnya sampai ke jenjang perguruan tinggi, yaitu Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Di sini ia bertemu dengan seorang teman yang juga gemar meneliti. Temannya ini seorang perokok berat. Karena uang sakunya tak mencukupi, terpaksa kadangkala mengkonsumsi tembakau bekas puntung rokok yang harganya lebih murah. Tentu saja yang murah belum tentu nikmat. Itulah yang terjadi pada tembakau bekas itu. Namanya saja bekas, sehingga rasa bekas sukar hilang dari tembakau itu. Jadilah sepasang sahabat ini meneliti cara menghilangkan rasa bekas dari tembakau puntung rokok itu.

    Fakultas farmasi membuatnya mengerti kimia dan membukakan pintu untuk meneliti apapun. Tak kurang dari itu, ia jadi mengetahui hampir semua sifat dari senyawa kimia yang ada. Kalaupun ada yang belum sempat diketahuinya, itu adalah kimia polimer. Tetapi itu tidak mengurangi kreatifitasnya. Kali berikutnya, ia dihadapkan pada masalah pengadaan air.

    Banyak masyarakat di Indonesia dihadapkan pada masalah pengadaan air. Banyak pula diantara mereka terpaksa menggunakan air permukaan seperti air rawa/gambut, sungai, telaga dan air genangan/kubangan. Ini biasanya terjadi di daerah Kalimantan, Riau, Papua, Bangka dan sebagainya. Penggunaan air yang demikian secara higienis tentu tidak layak. Selain masalah ketercemaran air oleh zat kimia dan jasad renik yang merugikan, air tersebut juga tidak jernih.

    Untuk menjernihkan air, cara yang biasa dipakai adalah menggunakan tawas dan kapur yang bisa mengendapkan kotoran pengeruh air. Tetapi masalahnya tidak semua air bisa dijernihkan dengan cara itu, misalnya air rawa/gambut yang berwarna coklat kemerahan. Lagipula tawas adalah bahan kimia yang tidak selalu tersedia di pedesaan Indonesia. Terlebih lagi kapur yang diperlukan untuk menurunkan kadar asam (pH) air rawa/gambut hingga layak guna.

    Berangkat dari masalah yang ada itu, mulailah ia mencari kemungkinan penggunaan bahan lokal yang bisa digunakan. Inilah cara unik dari Djoko yang lulusan fakultas farmasi. Ia berimajinasi. Jadilah proses uji coba dan reaksi yang biasanya di laboratorium berpindah ke laboratorium imajinerdi otak Djoko. Ia cukup mengkhayalkan: bahan kimia ini yang sifatnya begini direaksikan dengan bahan kimia itu yang sifatnya begitu maka diperkirakan hasil reaksinya adalah anu. Setelah cukup yakin dengan imajinasinya itu, barulah ia melakukan percobaan reaksi yang sesungguhnya. Imajinasi ini tentunya ditunjang oleh pengetahuan yang memadai tentang sifat-sifat berbagai senyawa kimia yang diketahuinya semasa kuliah. Dengan cara demikian ia menghemat biaya yang biasanya diperlukan untuk pengadaan alat dan bahan percobaan.

    Menurut Djoko, biasanya orang masih menggunakan tawas atau ferri klorida (FeCl3) untukmenjernihkan air. Memikirkan tentang penjernihan air membawanya kepada suatu logika. Logika ini menurut Djoko belum terpikirkan orang lain yang berkecimpung di masalah penjernihan dan pemurnian air. Yaitu bahwa pada dasarnya kekeruhan air disebabkan oleh senyawa kimia, karena itu penting sekali dipahami bentuk molekul senyawa tersebut untuk kemudian dicari gugus molekul yang bisa “diganggu”. Kalau gugus molekul itu bisa “diganggu” maka keseluruhan molekul senyawa akan goyah. Bila ini terjadi maka pengotor itu bisa dipisahkan dari air dan air menjadi jernih.

    Dengan logika seperti itu, Djoko cukup optimis untuk mengatakan, “Sanggup menjernihkan air limbah apa saja kecuali limbah nuklir dan limbah polimer karena saya belum belajar tentang itu”.

    Penjernih air sebagai solusi, menurut pandangannya harus memenuhi syarat: mudah dan murah. Mudah berarti tidak diperlukan keahlian khusus dan prosedur yang rumit untuk melaksanakannya. Murah berarti biaya yang diperlukan relatif tidak mahal. Memang itulah kenyataannya. Djoko menjelaskan untuk menjernihkan air sebanyak 1 m3 (1.000 liter) dibutuhkan 2 gram formula penjernih temuannya. Bandingkan dengan pemakaian 200 gram air kapur yang diperlukan untuk mengolah air gambut sebanyak jumlah yang sama.

    Tidak hanya formula penjernih, tetapi Djoko juga telah merancang alat yang digunakan untuk menjernihkan air. Alat tersebut berupa tabung atau pipa pencampur terbuat dari bahan PVC atau paralon sepanjang + 50 cm dengan tiga lobang yang diberi tiga selang plastik. Ketiga selang tersebut nantinya masing-masing untuk dihubungkan dengan larutan formula penjernih, larutan tawas dan larutan kaporit sebagai disinfektan bila diperlukan. (Erwan R) --- Sumber: Majalah Zaitun Khatulistiwa, Agustus 2005.
  21. MARUNI WIWIN DIARTI
    Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut

    Seperti halnya makhluk hidup lain di jagat raya ini, sifat antagonismenya beragam spesies bakteri juga sebuah keniscayaan. Namun bagaimana sifat penentangan maupun perlawanan antar bakteri itu “didamaikan” agar bermanfaat bagi orang banyak. Khususnya bagi dunia kedokteran, bukan hal mudah untuk diwujudkan. Namun, Maruni Wiwin Diarti (Wiwin) justru tertantang oleh kesulitan itu. Lewat kajiannya, warga Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini berhasil menemukan obat anti mikroba dari bakteri rumput laut, kemudian mendapat Anugerah Teknologi Terapan dari Pemerintah Provinsi NTB, Desember 2003 di Mataram.

    Menurut staf pengajar Akademi Analis Kesehatan (AAK) Mataram ini, adanya antagonisme di antara bakteri laut sudah diketahui. Namun, sangat sedikit penelitian yang mengeksplorasi keragaman bakteri laut di Indonesia untuk penemuan bahan baku obat anti mikroba baru. Salah satu penyebabnya keterbatasan dana untuk kegiatan penelitian itu. Penelitian awal sudah saya lakukan pada tahun 1999, namun sempat terhenti karena tidak cukup biaya. Saya kirim proposal penelitian ke Bappeda NTB, tetapi tidak ada jawaban sebab saat itu sedang terjadi krisis moneter. Penelitian berjalan lagi pada tahun 2001 dan selesai dua tahun tahun kemudian,” kata Wiwin menyebut lembaga penyandang dana penelitiannya.

    Dia juga dibantu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Riset Pembinaan Iptek Kedokteran Departemen Kesehatan. Belum tergalinya potensi laut Indonesia yang luar biasa banyaknya itu menjadi alasan lain Wiwin melakukan riset. Selain itu, banyak bakteri klinis yang resistan terhadap beberapa produk anti biotik sehingga perlu dicari sumber anti biotik baru yang secara finansial dapat dijangkau rakyat kecil. Dari telusur pustaka, lulusan Fakultas Biologi Universitas Islam Al-Azhar, Mataram, tahun 1996 ini memilih rumput laut Thalassia hemprichii yang kemudian diketahui memproduksi senyawa anti bakteri. Lokasi penelitiannya di Pantai Gerupuk, kawasan wisata Kute, Lombok Tengah, dimana masyarakat pesisir membudidayakan rumput laut sebagai sumber penghasilan alternatif.

    Di tempat ini terdapat 11 jenis bakteri aerob, dan dia memilih meneliti Thalassia hemprichii. Rumput laut itu diambil bagian akar, batang, dan daunnya, lalu di masukkan ke dalam kantong plastik steril berisi air laut, lalu disimpan dalam kotak pendingin untuk uji laboratorium. Kultur primer rumput laut itu ditanam bagian akar, batang, dan daunnya pada permukaan lempeng NASW (Nutrient Agar Sea Water) bertemperatur 20 derajat selama 48 jam. Tiap koloni yang muncul dimurnikan, diidentifikasi secara konvensional berdasarkan karakteristik morfologi, biakan, biokimia, dan resistansi antibiotik. Setelah dilakukan pemurnian, rumput laut yang sudah jadi ekstrak itu diteteskan pada kertas filter steril dan di lakukan proses uji kadar hambatan minimal. Pada tahap ini diketahui senyawa hasil pemurnian memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri isolat klinis oleh senyawa bio-aktif dengan zona penghambatan 12 mm - 18 mm, tidak bersifat racun karena sampai dosis mikrogram per miligram tidak menyebabkan matinya hewan coba, dan potensinya 100 persen bisa menyembuhkan infeksi bakteri. Obat antimikroba dari bahan baku rumput laut itu bukan penelitian pertama perempuan kelahiran tanggal 15 Januari 1974 di Selong, ibu kota Lombok Timur. Sebelumnya Wiwin meneliti efek Helicobacter pylori (H pylori), penyebab penyakit lambung gastritis kronis aktif, dan pengaruh telur ayam terhadap H pylori.

    Obat alternatif ini mungkin lebih murah mengingat obat infeksi lambung yang relatif mahal, kemudian banyak produk obat antibiotik berbahan kimia resistan terhadap H pylori. Jika bahan baku obat senyawa aktif biofisik bisa dimanfaatkan, dampak positifnya, antara lain, pada dunia farmasi dan mengangkat posisi tawar dan nilai jual sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti rumput laut dan telur ayam, menjadikan pendapatan petani terdongkrak. Itu memang cita-cita, tetapi yang lebih penting adalah menggali potensi SDA di Nusantara yang masih tersembunyi itu untuk diteliti bagi kepentingan orang banyak. Wiwin punya bekal untuk itu. “Saya suka meneliti yang mikro-mikro sebab selain tertarik, juga basis saya adalah analis kesehatan,” ujar istri Yunan Jiwintarum yang juga karyawan di AAK Mataram itu.

    “Ini bidang penelitian potensial, namun amat sedikit orang mau menekuninya, malah yang mengincar potensi darat dan laut Indonesia adalah pihak asing. Kalau tidak proaktif dan berinisiatif, ya kita cuma jadi penonton.” tambahnya. Komitmen dan kesukaan seperti itu ditopang pula oleh lingkungan Wiwin sebab, kecuali mengajar, dia juga menjadi peneliti pada Unit Riset Biomedik (URB) Rumah Sakit Umum Mataram. Di sini ada peneliti senior Prof Dr dr Soewignjo Sumohardjo, pakar gastroentero hepatologi, yang membimbing, memberi dukungan moral dan material bagi ibu seorang anak itu.

    Karena kemudahan yang disediakan itu maka setiap kali melakukan kegiatan penelitian, Wiwin turun membawa bendera URB Rumah Sakit Umum Mataram tadi. Wiwin agaknya belum puas dengan hasil yang diraihnya selama ini. Malah berbagai hal yang acapkali mengganggu kesehatan alat reproduksi perempuan tidak luput dari perhatiannya. Untuk itu, direncanakan pada bulan Mei ini dia bersama timnya mulai turun ke lapangan. Dia akan meneliti pemanfaatan alga untuk uji penapisan anti jamur infeksi kandida yang menyebabkan kanker mulut rahim pada perempuan. Biaya penelitian itu disponsori Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia yang membantu pendanaan kegiatan sebesar Rp 40 juta.  --- Sumber: Harian Kompas, 12 Mei 2004.
  22. MIFTAHUL KHAIRI
    Penemu Penghapus Papan Tulis Elektrik

    Prihatin melihat teman dan gurunya berkotor-kotor menghapus papan tulis setiap hari, menjadi inspirasi bagi Miftahul Khairi menciptakan alat sederhana penghapus papan tulis. Usai menunaikan Shalat Maghrib, ide tersebut muncul dibenaknya. Tiga kali research terhadap tiga replika, akhirnya lahir sebuah penemuan baru yang nanti bakal menjadi prototipe untuk dikembangkan.

    Putra keempat dari lima bersaudara pasangan Bakri Harun (Kepsek SD 15 Matur) dan Rasmiati (Hakim Pengadilan Agama Maninjau) ini berperawakan tenang. Karena terlahir dari orangtua yang juga berprestasi, sorot mata Ari memancarkan gejolak rasa keingintahuan yang meledak-ledak.

    Bahkan siswa kelas 10 Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) SMA 1 Bukittinggi ini, begitu lancar mempresentasikan penemuannya ketika ditemui di sekolahnya. Menghapus papan tulis, cerita Ari, sapaan akrabnya, bagi sebagian pelajar cukup membosankan. Selain tangan kotor terkena tinta spidol, kadangkala bau tinta itu sendiri mempengaruhi penciuman. Bahkan siswa yang ditugasi menghapus papan juga kerap terganggu konsentrasi belajar mereka.

    Sehingga kondisi ini, bagi Ari, sangat tidak efektif dan tidak kondusif di tengah proses belajar mengajar. Ketika menerima tawaran Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk membuat karya tulis ilmiah bidang sains dan teknologi, Ari bersama guru pembimbingnya, Zefliwer SPd merasa tertantang. Awalnya muncul berbagai macam ide, namun belum satu pun yang terkerangka secara baik dalam pikirannya. Usai menunaikan Shalat Maghrib, terlintas bayangan membuat alat penghapus papan tulis elektrik tadi.

    Karena belum mahir membuat karya tulis ilmiah, apalagi dengan kemampuan menulis seadanya, draft abstrak (kerangka pikiran) karya ilmiah tadi terpaksa bolak-balik dari tangan guru pembimbingnya. Atas arahan pembimbing itulah, dalam tenggang waktu sejak Februari hingga April, akhirnya konsep alat yang dirancangnya mulai dikerjakan.Yang dilakukan pertama kali adalah mencari berbagai macam literatur tentang konsep motor penggerak.

    Ketika literatur diperoleh, harus disesuaikan pula dengan dasar-dasar cara kerja alat yang ingin diciptakannya. Persoalan semakin rumit, ketika dasar cara kerja telah ditemukan sesuai petunjuk literatur, ia juga harus mulai memikirkan seperti apa rancangan alat yang akan dirakit berbagai komponennya.“Pada proses inilah saya membuat berbagai replika rancangan yang akan dirakit. Dari 3 replika yang dikonsep dari berbagai kemungkinan, terdapat satu rancangan yang saya anggap paling mungkin dan berpeluang dikembangkan, dengan menggunakan motor penggerak power window mobil sebagai komponen utama.

    Namun pilihan tadi masih jauh dari sempurna, dan belum bekerja sebagaimana mestinya,” ungkap Miftahul Khairi.

    Ketika itulah Ari mendapat dukungan dan sokongan dari pembimbingnya. Sehingga penemuan hasil penelitian terapan yang ia lakukan tadi mulai dituangkan ke dalam karya tulis. Sambil menulis, Ari terus membenahi pesawat sederhana temuannya tadi. Tapi berbekal rasa percaya diri yang tinggi, konsep alat penghapus papan elektrik tersebut ia persentasikan di hadapan tim penguji dosen ITB, yang ikut disaksikan puluhan mahasiswa elektro.

    “Selain memberi persentasi, saya juga dihadang beberapa pertanyaan dari penguji. Bahkan setelah memperagakan cara kerja alat penghapus tadi, saya juga mendapat pertanyaan dari sejumlah mahasiswa elektro ITB yang penasaran dan ingin mengetahui secara detail alat tersebut,” ungkap Ari yang mengaku sempat meneteskan keringat dingin dalam ruang ber-AC.Di samping itu, kisah Ari, awalnya ia juga sempat merasa minder dengan siswa lain yang akan mempersentasikan karya ilmiah mereka. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaan, seakan karya orang lain lebih hebat dari yang ia kerjakan.

    Tapi karena mewakili Bukittinggi dan difasilitasi berbagai pihak, ia bertekad untuk menjadikan karyanya sebagai yang terbaik. Ketika diumumkan keluar sebagai juara pertama, dengan bangga ia menemui ratusan alumni SMA 1 Bukittinggi yang sedang menuntut ilmu di ITB.Karya ini belum sempurna dan saya belum puas dengan hasilnya. Untuk itu, dengan dukungan pembimbing dan guru lainnya saya akan terus kembangkan dan sempurnakan, hingga benar-benar menjadi penemuan yang bermanfaat untuk dikembangkan,” ungkap Miftahul. --- Sumber: Padang Ekspres, 12 Mei 2007
  23. MINTO
    Penemu Kompor dan Pengering Hasil Tani dengan Tenaga Matahari

    Meski telah berhasil menciptakan kompor tenaga matahari yang berfungsi ganda, untuk memasak dan antena parabola, serta telah mendapat pengakuan kalangan perguruan tinggi ini, termasuk penghargaan dari Direktorat Jendral Listrik dan Pengembangan Energi Departemen Pertambangan dan Energi, Minto, guru Sekolah Dasar Negri (SDN) Prambon I, kecamatan Dagangan, kabupaten Madiun (Jawa Timur), ini tak pernah berhenti menciptakan alat berenergi sinar matahari.

    ”Waton tekun, mesti ketemu tujuane. Ora usah neko-neko (Asalkan tekun, pasti berhasil. Tidak usah berbuat yang aneh-aneh)”, ujar Minto.

    Awal 1988, Minto yang tinggal di desa Mruwak, kecamatan Dagangan, Madiun ini tergerak niatnya untuk membuat kompor tenaga matahari. Keinginan itu dilandasi kenyataan dalam masyarakat pedesaan yang hidup di kaki gunung Wilis (Madiun). Sehari-hari, mereka tergantung pada kayu-kayu hutan untuk keperluan memasak. Sementara keadaan hutan jati di wilayah itu makin gundul. Dampaknya, untuk mencari kayu bakar di hutan, masyarakat harus berjalan kaki antara 3,5 km sampai 8 km.

    Keadaan ini melecut nurani Minto, lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1973 untuk membuat suatu karya yang bermanfaat bagi penduduk sekitar hutan. Gagasan itu baru terwujud berupa kompor tenaga matahari yang lalu dikembangkan hingga dapat dimanfaatkan untuk antena parabola tahun 1991.

    ”Sampai sekarang (akhir 1998) sudah 60 unit kompor tenaga matahari yang saya buat dan tersebar di NTT, Bali, Jatim, Jateng, Jakarta, Lampung, Palembang dan Pontianak”, ujar bapak dua anak ini.

    Dari hasil temuannya itu, kini Minto kerap menjadi narasumber dalam berbagai pertemuan ilmiah di kampus-kampus di negri ini. Sebanyak 14 penghargaan pun sudah diterima, diantaranya dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS), Bappeda NTT, Pemda Tk II Kupang (NTT) dan Universitas Udayana Denpasar (Bali). Selain itu, ratusan surat telah diterimanya. Isinya meminta agar pak guru mau menebarkan ilmunya kepada masyarakat luas.

    ”Terakhir saya diundang sebagai instruktur pelatihan pengenalan dan penyebarluasan teknologi energi baru. Pesertanya dari eselon III/IV di Lingkungan Depdikbud di Cisarua, Bogor. Padahal, pada saat bersamaan sebenarnya saya harus menyelesaikan pembuatan alat pengering tenaga matahari dan pemanas air tenaga matahari (solar water heater). Karena kesibukan itu, terpaksa penyelesaian alat pemanas air bertenaga matahari, saya tangguhkan”, katanya.

    Prinsip kerja kompor tenaga matahari buatan Minto ini berdasarkan pantulan cahaya matahari oleh beberapa keping cermin datar. Keping-keping ini ditata pada kerangka reflektor yang bentuknya menyerupai parabola. Bila reflektor diarahkan tegak lurus searah datangnya sinar matahari, semua pantulan akan menuju ke satu titik. Kumpulan sinar pantul ini akan menimbulkan panas amat tinggi. ”Panas pada kompor tenaga matahari ini adalah radiasi sinar infra merah matahari, sehingga memiliki beberapa keistimewaan”, ujarnya.

    Jika cuaca cerah, kompor buatan Minto ini bisa bekerja optimal. Reflektor berdiameter 150 cm dapat mendidihkan air satu liter dalam waktu 10-11 menit dengan kaoasitas maksimal empat liter air. Bila diameter reflektor 267 cm, mampu mendidihkan air satu liter dalam waktu dua menit dengan kapasitas maksimal 18 liter.

    Kompor temuan Minto ini juga bisa menjadi antena parabola bila dilengkapi low noise block (LNB), feed horn, receiver, kabel dan pesawat televisi. Prinsipnya, kata Minto, reflektor yang tegak lurus dengan arah datangnya gelombang elektromagnetik dari satelit akan memantulkan kembali semua gelombang itu menuju ke fokus. Kumpulan gelombang itu ditangkap LNB (penguat sinyal). Dari LNB ini sinyal diteruskan ke receiver lewat kabel untuk dipilih gelombang mana yang diinginkan. Dari receiver, diteruskan ke pesawat televisi. ”Jumlah saluran yang diterima sama. Gambarnya juga bagus, sebab kaca ditata rapat. Semua sinyal dari satelit dapat dipantulkan ke LNB”, katanya.

    Saat itu, Minto, guru SD dengan gaji Rp 450.000,- sebulan itu sedang merampungkan 14 unit alat pengering tenaga matahari pesanan Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi. ”Pengering tenaga matahari ini temuan saya yang terbaru. Pengering ini dapat mengeringkan gabah, jagung, kacang tanah dan cengkeh. Praktis bila dibanding dengan menjemur hasil pertanian di lantai. Tetapi temuan ini belum efektif untuk mengeringkan GKP (gabah kering panen – red) menjadi GKG (gabah kering giling – red), karena kapasitasnya Cuma dua kuintal”, lanjut suami Ny. Sutjiati, guru SDN Segulung IV Dagangan (Madiun) ini.

    Namun alat pengering buatan Minto itu mampu menghemat waktu dua jam. ”Untuk mengeringkan gabah, petani biasanya butuh waktu sembilan jam. Dengan alat ini, hanya perlu waktu tujuh jam. Dan kalau tiba-tiba hujan, petani tidak perlu repot”, katanya.

    Alat pengering ciptaan Minto itu pun bisa berfungsi banyak, untuk pengering hasil pertanian, pengering hasil perikanan (untuk mebuat ikan asin), dan hasil industri kecil seperti kerupuk, lempeng, emping dan sebagainya. Prinsip kerja alat pengering ini mengubah sinar matahari menjadi udara panas. Udara panas itu dialirkan lewat rak-rak pengering. Hasil ujicoba alat ini diperoleh suhu panas pada mulut kolektor 57 derajat celsius, pada rak pertama 51 derajat celsius dan di rak kedelapan 46 derajat celsius. ”Harganya? Rp 800.000,- per unit. Tetapi kalau harga-harga komponen turun, ya harganya bisa ditekan lagi”, ujar Minto.

    Gagasan membuat pengering tenaga matahari bermula dari tawaran Ir. Ris Wahyuti, Kasubdit Energi Pedesaan Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi Departemen Pertambangan dan Energi. Hanya selang dua bulan –tawaran datang Agustus 1998—Minto dapat merampungkan tujuh unit pengering tenaga matahari pada Oktober 1998 dan kemudian sudah dimanfaatkan masyarakat di Sragen, Sleman, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Manado.

    Meski telah membuat banyak karya, namun Minto mengaku tak mau mengorbankan profesinya sebagai guru. ”Itu semua hanya sampingan. Saya nggak mau mikir yang neko-neko, karena tugas dan tanggung jawab saya sebagai guru tidak boleh keteter. Mungkin kalau tidak mengajar, saya bisa menyelesaikan alat pemanas air tenaga matahari seharga Rp 600.000,- . Tetapi waktu saya tersita untuk mengajar dan mengerjakan alat pengering multiguna”.

    Sebagai guru Ilmu Pendidikan Alam (IPA) tingkat SD, Minto mengaku, selalu mengimplementasikan apa yang diajarkan kepada anak didiknya ke dalam kreatifitas karya cipta teknologi tenaga matahari. Hasrat besar mempelajari bidang teknologi yang ditunjang kepedulian terhadap bidang teknik, ikut memberi andil besar terhadap keberhasilannya. ”Kadang-kadang saya berpikir, jangan-jangan saya ini salah asuh”, kata Minto sambil tertawa (Abdul Lathif) --- Sumber: Harian Kompas, 21 Januari 1999.
  24. MUMU SUTISNA
    Penemu Hormon Penyubur Anakan Padi  

    Ironis memang. Sebagai negara agraris dengan lahan sangat luas, Indonesia justru harus mengimpor beras. Galur padi baru seperti Mamberamo dan Maros yang diharap menghasilkan bulir-bulir padi lebih banyak, rupanya belum bisa menjawab persoalan. Kenyataan inilah yang mengusik Mumu Sutisna, ahli ekologi tumbuhan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menemukan solusinya.

    Berbagai eksperimen dilakukan. Akhirnya, doktor ekologi lulusan Universitas Montpelier, Prancis, ini menemukan hormon yang bisa membuat rumpun padi beranak-pinak lebih banyak. Bioregulator atau Bioreg, begitulah Mumu menamai hormon temuannya. Dengan menyemprotkan hormon itu ke tanaman padi muda, menurut pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat tahun 1940 itu, jumlah anakan bisa berjibun.

    Rumpun padi normal umumnya berisi sekitar 35 anakan. Bioreg membuat jumlah anakan padi meningkat dua kali lipat, jadi 60-70 batang per rumpun. Sawah makin rimbun, produksi berlipat. Itu bisa dilihat dari eksperimen Mumu di berbagai lahan persawahan dengan hasil memuaskan. Di Wado, Sumedang, sawah percobaan Mumu dipupuk dengan dosis normal ditambah semprotan Bioreg memberikan hasil 8,6 ton gabah per hektare. Hasil produksi tanpa Bioreg hanya 6,1 ton gabah. Berarti, produksi naik 40%.

    Pada percobaan di Soreang, Kabupaten Bandung (Jawa Barat), hasilnya lebih bagus. Di sini Bioreg mendongkrak produksi gabah dari 7,5 ton menjadi 11,4 ton per hektare. Kenaikan produksi 52%. Yang lebih menakjubkan, eksperimen Mumu di Jatilawang, Banyumas (Jawa Tengah), Bioreg bisa meningkatkan produksi hingga tiga kali lipat (naik 200%) !

    Hormon pertumbuhan memang bukan barang baru di dunia pertanian. Berbagai hormon yang diekstrak dari pucuk tetumbuhan dan kemudian dibikin sintesisnya dipakai pada bermacam usahatani. Tapi sejauh ini belum ada yang menawarkannya untuk budidaya padi secara aman dan ekonomis, sebagaimana yang diajukan Mumu.

    Uniknya, Mumu memanen hormon itu dari ganggang laut. Hormon dicampur dengan senyawa poliamina dan magnesium sulfur, lalu diencerkan. Untuk menyemprot satu hektare sawah, cuma diperlukan 2,5 liter Bioreg. “Satu musim tanam perlu empat kali penyemprotan”, kata dosen Jurusan Biologi ITB itu.

    Mumu mengaku membiayai eksperimen itu dari kantongnya sendiri. Suami Usye Roslina ini pernah mengajukan proposal penelitian ke ITB tapi ditolak. “Tiga kali saya mengajukan, hasilnya nihil”, kata ayah empat anak ini. Alasan yang diterimanya, urusan pertanian bukan bidang di ITB, karena ada Institut Pertanian Bogor yang lebih berkompeten.

    Tak mendapat dukungan kampus, Mumu melakukan penelitian sendiri dengan dibantu beberapa mahasiswanya pada 1992. Empat tahun kemudian, ia menemukan Bioreg. Hasilnya, sejauh percobaan Mumu cukup fantastis. Padahal temuan Mumu ini sebenarnya bertolak belakang dengan pemikiran di alam pertanian selama ini. Teori yang melatari penemuan galur unggul untuk meningkatkan produksi padi berlawanan dengan Bioreg. Galur unggul dibuat dengan prinsip anakan harus sedikit dengan malai panjang. Malai adalah daun menjulur atau dahan yang menjadi tempat padi berbunga dan kemudian menjadi gabah. Dengan memanjangkan malai, tempat munculnya padi jadi lebih banyak.

    Metode galur unggul memang berhasil. Namun kenaikan produksinya tak serevolusioner Bioreg. Paling banter hanya mendongkrak produksi 10%. Bandingkan dengan Bioreg yang mampu mendongkrak dari 40% hingga 200%. Itu pun belum termasuk kendala yang terjadi di metode galur unggul dengan malai panjangnya  yang sering mudah rebah.

    Menurut Mumu, galur-galur padi unggul di Indonesia umumnya hasil belanja dari luar negri. Galur terbaru seperti Maros, menurutnya kurang cocok di iklim tropis. “Empat tahun saya di Prancis, jadi tahu betul bahwa galur unggulan kita itu cocoknya di negara subtropis”, katanya. Karena dipaksakan ditanam di iklim tropis, padi yang tumbuh dari malai hanya dua pertiganya. “Sehingga waktu panen, padi hampanya tinggi”, katanya. Lain bila ditanam di iklim subtropis pada saat musim panas. Dengan matahari bersinar hingga pukul 10 malam, tapi tak terik, padi bisa berfotosintesis lebih lama. Inilah yang menyebabkan padi tumbuh di sepanjang malai.

    Nah, teori Mumu, Bioreg menyebabkan anakan bertambah banyak dan rimbun. Sehingga proses fotosintesis lebih optimal. Hasil padi pun lebih maksimal. (Irwan Andri Atmanto) --- Sumber: Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004.
  25. MULYOTO PANGESTU
    Penemu Teknik Ekonomis Pembekuan Sperma

    Riset Mulyoto Pangestu tentang upaya pembekuan sperma hewan dengan cara sederhana dan murah telah mengantarnya meraih penghargaan tertinggi (Gold Award) dalam kompetisi Young Inventors Awards, yang diadakan majalah The Far Eastern Economic Review (FEER) dan Hewlett-Packard Asia Pasifik, akhir tahun lalu. Temuannya dipuji sebagai suatu terobosan.

    Penemuan Mulyoto sangat berguna bagi para ilmuwan dan dokter di negara sedang berkembang yang kekurangan biaya untuk mengadakan peralatan pendingin. Peralatan cold storage untuk menyimpan bahan organis biasanya membutuhkan nitrogen cair sebagai bahan pendingin (coolant). Selain tangkinya mahal dan makan tempat, nitrogen cair sangat berbahaya. Soalnya, agar tetap cair, nitrogen jenis ini harus disimpan di bawah suhu minus 196 derajat Celcius.

    Mulyoto justru menemukan cara untuk mengeringkan dan menyimpan sperma dalam suhu ruangan karena ia memakai jasa gas nitrogen. Dan yang luar biasa --ini yang membuat Mulyoto mengalahkan ratusan pesaingnya dari berbagai negara Asia Pasifik-- bahan yang dipakainya amat murah, hanya sekitar Rp 2.500,-. Bahan yang dipakai adalah dua lapis tabung plastik mini (ukuran 0,250 ml dan 0,500 ml) yang disegel dengan panas (heat-sealed), kemudian dibungkus lagi dengan aluminium foil.

    Kandidat doktor biologi Universitas Monash ini menyebut proses pengeringan sperma yang ditemukannya sebagai pengeringan evaporatif (evaporative drying).

    Dikatakan, untuk "pengeringan" sperma, ataupun penyimpanan sperma pada suhu ruang, sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1970-an. Namun, laporan-laporan tersebut masih terbatas informasinya. Baru pada Juli 1998, Wakayama dan Yanagimachi dari Universitas Hawaii mempublikasikan hasil penemuan mereka pada jurnal Nature Biotechnology, berupa "kelahiran anak mencit hasil pembuahan menggunakan sperma kering dan beku (freeze-dried sperm)".

    "Hasil penemuan mereka itu yang menarik perhatian saya dan supervisor saya untuk mengulangi sukses mereka. Namun, pada saat itu saya menghadapi kendala yang cukup penting, yaitu departemen saya, Monash Institute of Reproduction and Development, tidak memiliki dana untuk memberi freeze-drying machine. Keterbatasan atau kendala itu menyebabkan saya harus mempelajari kelebihan dan kekurangan penyimpanan freeze-dried sperm dan penyimpanan beku," tutur Mulyoto.

    Setelah melihat beberapa penelitian lainnya dan hasil studi literatur, akhirnya Mulyoto dan supervisornya, Dr Jillian Shaw, menyimpulkan bahwa sperma dapat disimpan pada suatu kondisi yang kering dan bebas oksigen. "Untuk itulah saya menggunakan gas nitrogen untuk mengeringkan atau menguapkan (evaporasi) air atau cairan sperma sehingga sperma tersebut dapat disimpan dalam keadaan kering. Kendala lain yang saya hadapi adalah kemungkinan terjadinya kebocoran atau perembesan oksigen ke dalam kemasan yang berisi sperma tersebut," tambahnya.

    Hasilnya adalah temuan Mulyoto tadi; kemasan penyimpanan sperma kering dan beku yang tidak membutuhkan penanganan khusus dan hasilnya dapat tetap dipakai walaupun telah disimpan bertahun-tahun. Memang, sperma hewan yang telah dikeringkan Mulyoto dengan cara ini tidak mampu bergerak lagi (immotile), dan berdasarkan pemeriksaan menggunakan bahan pewarna, diketahui bahwa sperma itu "mati". Agar bisa membuahi sel telur, sel sperma harus disuntikkan ke dalam sel telur. Teknik ini dikenal dengan nama Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan sudah banyak digunakan pada pembuatan bayi tabung manusia.

    Mulyoto sendiri sama sekali tidak mencobakan metodenya untuk sperma manusia karena ethics permit yang dimilikinya hanyalah untuk hewan. Sperma yang sudah dikeringkannya berasal dari mencit (mice), marmoset (sejenis kera), dan juga wombat (binatang asli Australia). "Yang sudah digunakan untuk pembuahan adalah sperma mencit dan marmoset yang mampu membentuk embrio, bahkan untuk mencit sudah berhasil melahirkan anak mencit," kisahnya.

    Temuan Mulyoto kini sedang dalam proses dipatenkan di Australia. Nantinya, paten temuan Mulyoto menjadi milik Universitas Monash, namun ia masih akan tercatat sebagai inventornya.

    Mulyoto mengaku mulai terlibat dalam penelitian mengenai sperma sapi dan kambing sejak tahun 1985-an, saat ia masih kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. "Saat itu saya masih bergelut dengan kondisi peternakan di pedesaan. Saya ikut terlibat dalam pengembangan teknik inseminasi buatan pada kambing lokal dan kambing peranakan Etawa di wilayah eks Karesidenan Banyumas," tulisnya.

    Dengan temuannya, Mulyoto bukan lagi jago Banyumas, tetapi telah jadi jago tingkat dunia. (Irwan Julianto) ---Sumber: Harian Kompas, 13 Januari 2001
  26. Mbah Moedjair,                                                 Penemu Ikan Mujair yang Mendunia

    Sosok Mbah Moedjair
    Sosok Mbah Moedjair
    SainsMe – Mbah Moedjair memiliki nama asli Iwan Muluk lahir pada tahun 1890 di desa Kuningan (3 km arah timur dari pusat kota Blitar, Jawa Timur). Beliau menikah dengan Partimah dan memiliki 7 orang anak. Hingga saat ini hanya tinggal dua orang anak Mbah Moedjair yang masih hidup dan bisa bercerita tentang perjuangan orang tuanya.
    Semasa hidupnya Mbah Moedjair memiliki sebuah warung sate yang sangat populer di kalangan masyarakat Blitar. Namun karena Mbah Moedjair memiliki kebiasaan berjudi, pada akhirnya usaha satenya mengalami kerugian yang membuat beliau mulai terpuruk.
    Di tengah keterpurukannya ini, kepala desa Papungan, Pak Muraji mengajaknya melakukan tirakat di Pantai Serang setiap tanggal 1 Suro penanggalan Jawa. Nah di pantai inilah Mbah Moedjair menemukan sekelompok ikan yang menarik perhatiannya. Ikan ini sangat unik, mereka menyembunyikan anak-anaknya di mulut pada saat terancam bahaya. Rasa tertarik rupanya membuat Mbah Moedjair membawa beberapa ekor ikan baru tersebut untuk dipelihara di rumahnya.
    Dikarenakan habitat yang berbeda tentu saja ikan yang dibawa Mbah Moedjair dari pantai tersebut tidak bisa bertahan hidup di air tawar. Namun Mbah Moedjair tak patah semangat. Beliau mulai rajin melakukan riset dengan tekat bahwa ikan ini harus bisa hidup di habitat air tawar. Beliau mulai merubah-rubah komposisi air tawar dan air laut hingga menemukan campuran yang tepat untuk memelihara ikan baru ini. Menurut penuturan anak Mbah Moedjair, usaha gigih tersebut berhasil pada percobaan ke-11 dengan 4 ekor ikan. Perlu diketahui, untuk setiap percobaan, Mbah Moedjair harus pulang pergi ke Pantai Serang dari desa Papungan yang jaraknya 35km dengan berjalan kaki melintasi hutan selama dua hari, pulang dan pergi.
    Keberhasilan Mbah Moedjair membawa ikan jenis baru ke kolam halaman rumahnya membuat nama Mbah Moedjair menjadi lekas terkenal. Dari satu kolam kemudian berkembang menjadi tiga. Ikan hasil budidayanya dibagi-bagikan ke tetangga dan sisanya di jual ke pasar dan dijajakan dengan sepeda kumbang.
    Berita mengenai Mbah Moedjair juga rupanya menarik perhatian Asisten Resident (penguasa wilayah Jawa Timur pada masa penjajahan Belanda) yang berkedudukan di Kediri. Asisten Resident yang juga seorang peneliti tersebut kemudian melakukan penelitian mendalam tentang ikan spesies baru sekaligus mewawancarai Mbah Moedjair. Berdasar hasil penelitian dan literatur yang ada, diketahui bahwa spesies ikan Mbah Moedjair berasal dari perairan laut Afrika.
    Kemudian sebagai bentuk penghargaan atas usahanya selama ini, Asisten Resident memberikan nama ikan spesies baru ini sesuai dengan nama penemunya, yaitu moedair (mujair).
    Perkembangan selanjutnya, Mbah Moedjair banyak menerima anugerah penghargaan dari berbagai pihak karena ikan hasil temuannya disukai banyak orang bahkan sudah mulai mendunia.
    Beberapa penghargaan yang diterima Mbah Moedjair diantaranya adalah dari Eksekutip Committee Indo Pasifik Fisheries Council pada tahun 1954.
    Sementara penghargaan dari pemerintah Indonesia diterima pada 17 Agustus 1951 dari Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
    Mbah Moedjair meninggal pada tanggal 7 September 1957 karena penyakit asma dan kemudian dimakamkan di Blitar. Batu nisan makamnya bertuliskan “MOEDJAIR, PENEMU IKAN MOEDJAIR” lengkap dengan ukiran ikan mujair. (ak)-/sains.me/281/mbah-moedjair-penemu-ikan-mujair-yang-mendunia.html/
     
  27. NENY NURAINY
    Penemu Varian Virus Hepatitis B Spesifik Indonesia

    Perempuan muda kelahiran kota kembang, Bandung, 14 Februari 1974 ini, Alhamdulillah telah berhasil menemukan varian virus hepatitis B khas Indonesia setelah memeriksa darah pasien yang positif mengandung HbsAg, yakni antigen pada selubung terluar Hepadna viridae (nama ilmiah virus hepatitis B).

    Penelitian ini merupakan penelitian terbaru dalam dunia biologi molekuler virus. Dan merupakan berkah bagi perkembangan antibiotika dan proses penyembuhan pasien hepatitis B yang kini jumlahnya kian hari kian meningkat.

    Dengan metode yang dikembangkannya dan diberi nama ELISA (enzyme-linked immunisorbenty assay), Neni berhasil membedah dan memilah virus yang mematikan itu dalam serotipe: adw, adr, ayw dan ayr. Dengan demikian, virus penyerang tersebut berhasil diklasifikasikan berdasarkan genotipe perbedaan susunan nukleotida pada DNA (deoxyribo nucleic acid)-nya. Ada delapan genotipe yang berhasil ditemukan: A, B, C, D, E, F, G dan H, dimana genotipe tersebut terbagi lagi dalam sub-sub genotipe, misalnya: Ba, Bwi (B west indonesia), Bei (B east indonesia), Bci (B chinese indonesia) dan Bj untuk genotipe B. 

    Dengan penemuan metode baru ini maka tes DNA virus yang sebelumnya bisa memakan waktu lama dan harga yang sangat tinggi, bisa ditekan dengan harga yang jauh lebih murah dan cepat. Bahkan diagnosis dokter akan lebih fokus serta lebih spesifik pada sasaran dan dapat benar-benar memberikan serangan penghancur terhadap virus.

    Tak ayal, penemuan Neni ini sangat membantu pasien dalam menentukan terapi apa yang paling tepat bagi diagnosis penyembuhan penyakit hepatitisnya. Selain itu juga bisa digunakan untuk perbedaan membuat manifestasi klinik penyakit hepatitis B. Sehingga perkembangan akumulasi hepatitis menjadi akumulasi hepatitis akut, sirosis hati atau kanker hati akan terdeteksi dan tercegah sejak dini.

    Neni sendiri menemukan metode ini pada waktu menyelesaikan program doktoral ilmu biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Penelitian yang dilakukan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman) ini sebenarnya pada mulanya adalah penelitian untuk program master. Namun karena penemuannya dianggap spektakuler oleh ahli hepatitis, dr. David Handojo Muljono, SpPD, PhD. dan ahli biologi molekuler dr. Herawatie Sudoyo, PhD., Neni dipromosikan menjadi mahasiswa S3 sekaligus tesisnya dijadikan sebagai penelitian program doktoral. Apalagi nilai akademik Neni dalam program pasca sarjana Biomedik sangat memungkinkan untuk melanjutkan jenjang doktoral ini.

    Dalam penelitian ini, Neni mengambil 36 sampel serum dari delapan populasi sehat yang tersebar di Nusantara. Mulai dari etnik Jawa, Batak Karo dan Dayak Benuaq (mewakili Indonesia Barat). Juga Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Alor dan Sumba (mewakili Indonesia Timur) serta Indocina (mewakili keturunan Tionghoa).

    Dari tiga penggolongan tersebut (gen yang berada dibawah adw, ayw dan adr), oleh Neni dilakukan uji statistik chisquare. Dimana perlakuan ini pada akhirnya menghasilkan sebuah penemuan baru lagi yaitu hubungan antara serotipe dan genotipe atau subgenotipe VHB. Data serotipe inilah yang oleh Neni dikonversikan menjadi genotipe atau sub genotipe.

    Keberhasilan dalam upaya pengkonversian serotipe inilah yang mengantarkan Neni meraih gelar doktor dengan predikat yudisium cumlaude, sekaligus mengantarkannya sebagai doktor keenam dan doktor termuda dari program Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

    Padahal semasa remaja, dia termasuk badung. Tapi karena ketatnya sang ayah maka setiap sebelum adzan berkumandang dapat dipastikan Neni akan buru-buru pulang. ”Kalau tidak, ayah akan marah besar. Dan jangan harap bisa menonton acara kartun di TV yang kami sukai saat itu”, jelas Neni.

    Perjalanan hidup dan pendidikan kedua orangtua Neni ini sepertinya membekas dalam karakter hidupnya. Bermula dari keprihatinan, kemudian melahirkan penemuan spektakuler, yang InsyaAllah berguna untuk kemaslahatan umat manusia. --- Sumber: Majalah Tarbawi, edisi 107/Th.7/1426 H.
  28. PUJI SLAMET ARIF
    Penemu Motor Listrik Hemat Energi  

    Pendidikan boleh tak tamat SLTP. Tapi, ini bukan hambatan bagi Puji Slamet Arif untuk berkarya. Setelah melalui proses coba-coba selama 10 tahun, Puji akhirnya berhasil menciptakan motor listrik yang diyakininya bisa menghemat energi listrik hingga 75 persen.

    Tubuhnya kurus. Rambutnya sudah banyak yang memutih. Cara bicaranya ceplas-ceplos dan selalu percaya diri. "Meski saya ini bukan orang pendidikan, tapi saya punya pengalaman. Pengalaman inilah yang membuat saya yakin akan karya saya ini," kata Puji yang mengaku lahir di Bapinang Bulu, Sampit ini. "Saya siap diuji oleh profesor mana pun," ujar pria 53 tahun ini.

    Apa yang dikatakan Puji ini bukanlah sekadar isapan jempol. Motor listrik ciptaannya yang diberi nama Taheta (dari bahasa Dayak, artinya baru) itu bahkan sudah dipresentasikannya di ITS (Institut Teknologi 10 November). "Ini buktinya," kata Puji, sambil menyodorkan dua lembar surat berkop ITS. Dalam surat yang ditandatangani Pembantu Rektor (Purek) IV Ir Daniel Mochammad Rosyid itu disebutkan, bahwa motor listrik karya Puji ini memang tergolong karya inovatif yang orisinil.

    Dia menceritakan, pada 6 September lalu, karyanya dipresentasikan di depan beberapa dosen ITS. Di antaranya Ir Daniel M. Rosyid (Purek IV ITS), Dr Ir Soeprapto (Ketua Hak Kekayaan Intelektual ITS) dan Ir Margo Pujiantoro MT (Dosen Teknik Elektro ITS).

    Alat ciptaan Puji itu dikemas sangat sederhana. Bentuknya bulat dengan diameter sekitar 25 centi meter. Alat tersebut ditutup dengan triplek. Ada kabel yang dihubungkan dengan aki 10 A (amper) 12 volt.

    Selain menciptakan Taheta, Puji juga mengaku telah menciptakan tiga mesin yang dinamainya Taheta Hindai (lebih baru), Taheta Kia (baru juga), dan Taheta Toto (terbaru). "Semua temuan itu saya namakan dengan bahasa dayak karena saya ingin mempopulerkan bahasa dayak," ujar Puji.

    Untuk membuat karya-karyanya itu, Puji tak mau setengah-setengah. "Saya butuh waktu 10 tahun untuk menciptakan keempat alat itu. Utak-atik alat dan mencobanya, begitu seterusnya," kata laki-laki yang saat ini tinggal di rumah kakaknya di Urip Sumoharjo.

    Ketertarikan Puji pada hal-hal berbau teknik diawali saat Puji berusia 8 tahun. "Ayah saya punya dua kapal bermotor yang tiap hari digunakan untuk berjualan sayur di pasar terapung sepanjang sungai Sampit," tutur putra ke lima pasangan (alm) Badri Arif dan Dewi Mulat ini. Setiap hari, Puji dipercaya ayahnya untuk memegang kemudi kapal keliling sungai Sampit. Hingga suatu saat, tiba-tiba motor kapalnya ngadat gara-gara kehabisan minyak. "Waktu ayah saya membongkar motor kapal, saya jadi tertarik untuk mempelajari seluk-beluk motor listrik," papar pria yang sebagian rambutnya telah memutih ini.

    "Waktu itu, saya sempat penasaran, bagaimana jika minyak dan semua hasil bumi telah habis. Pasti repot sekali. Semua mesin yang berbahan bakar minyak pasti mati," tutur pria yang hobi melihat program discovery channel ini. Inilah yang lantas menggelitik Puji, selanjutnya dia bertekat untuk menggeluti hal-hal yang berbau teknik. "Jujur saja, setiap hari saya terus memikirkan cara membuat alat yang mampu bekerja tanpa menggunakan energi listrik, minimal, jika tetap memakai listrik, alat yang saya ciptakan itu harus bisa seirit mungkin," ujarnya.

    Akhirnya, tahun 1977 Puji memutuskan hijrah ke Surabaya. "Saya merasa tidak akan maju jika tetap berada di Sampit," paparnya. Tiba di Surabaya, tempat pertama yang ditujunya adalah pasar loak. "Banyak ide-ide saya yang muncul dari pasar loak. Bahkan, kebiasaan jalan-jalan ke pasar loak itu tetap saya lakukan hingga kini," tandas Puji.

    Ketika usianya menginjak 25 tahun, Puji menikahi Tri Ida Setiani, gadis manis asal Jombang yang memberinya tiga orang putra. Setelah menikah, ketertarikan Puji pada hal-hal yang berbau teknik semakin menggebu. Hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk mempelajari motor listrik dan bongkar pasang mesin.

    Kegilaan Puji pada dunia teknik makin menjadi-jadi tahun 1992. "Di tahun itulah awal mula saya menemukan ide untuk membuat motor listrik Taheta," paparnya. Didukung peralatan seadanya, Puji mulai mengerjakan proyek barunya itu. "Saya menggarap motor listrik ini siang malam. Bahkan, saya tidak bisa tidur jika pekerjaan belum selesai," akunya. Perkakas yang digunakan, kebanyakan didapatnya dari pasar loak. "Semua komponen saya rakit sendiri. Hanya klaher (bearing) dan platina saja yang bikinan pabrik," terang Puji. (Firzan Syahroni) --- Sumber: Harian Jawa Pos, 20 Desember 2002.
  29. RAHMIANA ZEIN
    Penemu Teknik Pemisahan Cairan dalam Kecepatan Tinggi

    Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, tak cuma terkenal indah oleh panoramanya, melainkan juga sejumlah tokohnya. Dari sini lahir ulama dan sastrawan Buya HAMKA dan Dr. Mohammad Natsir, ulama dan politisi pendiri Partai Masyumi yang pernah menjabat sebagai Perdana Mentri RI. Di abad milenium ini, muncul pula Prof Dr. Rahmiana Zein, 46 tahun, penemu teknik kromatografi tercepat di dunia.

    Keberhasilan ini diperoleh istri Prof. Dr. Edison Munaf, Pembantu Rektor II Universitas Andalas itu saat penelitian untuk disertasi doktor bidang kimia dibawah bimbingan Prof. Toyohide Takeuchi, di Universitas Gipu, Jepang pada 1998. Kromatografi memang bukan ilmu baru. Pemisahan senyawa kimia memanfaatkan interaksi antara pelarut, sampel yang akan dipisahkan, fase diam (stationary phase) dan fase bergerak (mobile phase) ini telah berkembang seabad silam. Setelah T. Swett berhasil memisahkan zat warna dedaunan tahun 1903.

    “Pisau pembedah” senyawa kimia yang cepat dan simultan ini terus berkembang ke bidang lain. Terutama ilmu kedokteran, pertanian, peternakan, biologi dan lingkungan. Izmailov dan Schaiber misalnya, pada 1938 menggunakan teknik ini untuk memisahkan senyawa lapisan tipis. Lalu Martin dan James, tahun 1952, memakainya untuk membedah senyawa gas. Namun jika sebelumnya para peneliti perlu waktu antara 1.000 dan 100 menit, adik kandung Mayor Jendral (purnawirawan) Kivlan Zein itu hanya butuh 10 menit!

    Teknik ini terus berkembang dan kian populer berkat ditemukannya teknik HPLC (high performance liquid chromatography). Teknik pemisahan cairan dalam kecepatan tinggi dengan fase diam berukuran terkecil 10 mikrometer. Bahkan Dido Ishii, guru besar emeritus Universitas Nagoya memperkecil kolom mikro menjadi 0,5 milimeter. Sejak 1980-an, dikembangkan jadi 0,2 milimeter dan panjang 10 sentimeter. Oleh Rahmi, begitu ibu tiga anak ini biasa disapa, kolom itu diperkecil lagi jadi 5 mikrometer, panjang 10 sentimeter dan kedalaman 0,35 milimeter. Dengan bejana itu, screening serum sapi yang ditelitinya dapat didiagnosis kurang dari 10 menit. Cara yang sama ia lakukan untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam urin, air ludah, darah dan air sungai. Bahkan untuk diagnosis senyawa kanker jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH), pencemaran akibat bahan bakar minyak atau asap rokok.

    Wanita berkulit hitam manis ini dikukuhkan jadi guru besar pada Agustus 2003. Dengan teorinya, Rahmi menjawab teka-teki bagaimana Allah menciptakan Nabi Adam dan Hawa dari tanah sehingga jadi manusia. Katanya, Nabi Adam dan Hawa memang diciptakan dari tanah yang mengandung zat kimia, diantaranya protein. Lalu, sesuai kaidah kromatografi, protein itu berproses sehingga jadi fisik manusia. Kini makanan di tubuh manusia pun mengalami proses kromatografis. Lalu dihasilkan ion-ion yang berguna bagi tubuh dan sisanya terbuang melalui urin dan feses. Artinya, kehidupan sehari-hari mengikuti kaidah kromatologi. Bahkan penderita kelainan ginjal menjalani proses cuci darah mengikuti teknik ini.

    Rahmi tak mematenkan hasil penelitiannya karena diburu tenggat studi. Ia harus mempublikasikan hasil penelitiannya di beberapa media internasional. Akibatnya, hak untuk mempatenkan temuan itu pun hilang. Toh, ia bangga, hasil penelitiannya terus dimanfaatkan oleh para peneliti. Tahun lalu misalnya, seorang peneliti dari Amerika yang merujuk teorinya berhasil memperbaiki sensitifitas dan resolusi kecepatan diagnosis delapan jenis anion secara serentak dalam waktu semenit.

    Namun ia menyayangkan, dikala diagnosis pencemaran lingkungan kini kian murah dan cepat, Rp 5.000,- per 10 ion, banyak kasus lingkungan di Tanah Air belum diteliti. Misalnya limbah rumah sakit yang mengandung racun phenol, pembersih alat-alat kedokteran, dibiarkan mengalir ke sungai-sungai di perkotaan. “Yang belum ada cuma kesamaan sikap pemerintah dan pengusaha industri untuk menanggulangi pencemaran itu”, katanya.

    Rahmi, kini Kepala Laboratorium Kimia Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, terus berkarya. Lebih dari 10 jenis tanaman alam diolahnya jadi alat netralisasi zat kimia. Di antaranya dari kulit manggis, ampas tebu dan sabut kelapa sawit. Ia juga menulis artikel bidang kromatografi di media internasional. Misalnya di jurnal Analytica Chimica Acta, Chromatographia dan Environmental Technology. “Biarlah tak dipatenkan. Tujuan ilmu itu adalah kebaikan bagi manusia. Dan saya berharap, Allah menerima jadi amal jarizah saya”, katanya. (Fachrul Rasyid HF) --- Sumber: Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004).
  30. RANDALL HARTOLAKSONO
    Penemu Formula Kimia Pemadam Api Ramah Lingkungan

    Siapa yang peduli kulit singkong. Jangankan kulit, dagingnya pun tak banyak mendapat perhatian kaum ilmiawan. Tapi di tangan Randall Hartolaksono, kulit singkong bisa menjadi bahan anti api kelas dunia. Temuan revolusioner arek Suroboyo kelahiran 16 Maret 1956 itu terjadi secara tak sengaja.

    Itu terjadi saat ia kuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas London (ia masuk tahun 1977, karena para dosennya sulit mengeja Hartolaksono maka kemudian namanya sering dipanggil Hart). Kala meneliti saripati kulit singkong untuk bahan pelumas engsel robot, tak sengaja ia menumpahkan bahan itu di atas nyala api. Ternyata api padam. Randall takjub. Di bawah bimbingan Profesor Evans, ia meneliti keampuhan kulit singkong.

    Saripati singkong, menurutnya, terbukti memutus reaksi kimia berantai dalam proses kebakaran. “Zat aktif itu bisa mencegah lompatan energi elektron melewati titik kritis di lapisan terluar atom saat pembakaran”, katanya. Randall menjuluki teorinya “free radical” atau radikal bebas. Teori ini sempat ditolak pakar Inggris dalam pertemuan tahunan di Edinburgh University, Skotlandia, 1982.

    Baru setelah uji coba laboratorium selama lima tahun, teori Randall diakui. “Mereka menyebutnya teori pemutusan rantai kimia”, katanya. Dalam penelitian lanjutan, zat aktif dari kulit singkong, seperti tripotasium sitrat, itu bisa dikembangkannya menjadi aneka produk anti api. Ada yang seperti cat, dioleskan pada kayu, membuat tahan api selama 200 tahun! Ada juga yang dimasukkan pada tabung semprot untuk memadamkan nyala api.

    Kini tiga produk temuan Randall telah mendapat sertifikat uji standar dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Produknya bisa menembus banyak tempat elit, seperti Istana Buckingham Inggris. Perusahaan Malaysia seperti Petronas, Proton dan Telecom mengganti produk halon dengan produk Randall yang ramah lingkungan. Beberapa hotel berbintang pun mulai disusupi produk Randall.

    Pemegang status permanent residence di Inggris dan Singapura ini membangun kerajaan bisnisnya yang dinamai Hartindo Chemicatama Industri. Selain di Jakarta dan Surabaya, Randall juga membangun pabrik perakitan di Malaysia, Singapura, Taiwan, Inggris dan Thailand.

    Tapi sukses tidak diraih Randall dengan gampang. Sebelum mendapat banyak lisensi, ia harus keluar masuk laboratorium di mancanegara. Ia memberi contoh, AF11E yang ditemukan pada 1983 baru mendapat sertifikat uji standar dari Amerika pada tahun 2000. Randall membuktikan, jadi inovator tak cukup hanya kreatif, melainkan juga harus ulet dan sabar. (G.A Guritno, Hendri Firzani) --- Sumber: Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004.
  31. RIZAL & JUFFRI SAHRONI
    Penemu Alat Penghemat Bahan Bakar Diesel

    Mobil diesel anda ingin lebih bertenaga dan hemat bahan bakar? Ada satu penemuan mutakhir dan canggih dari karya cipta anak-anak bangsa ini, yakni MAX-PC. Teknologi ini dirancang untuk meningkatkan tenaga mesin diesel mobil anda, meningkatkan penghematan bahan bakar dan menurunkan tingkat kebisingan mesin tanpa harus mengubah mesin anda dari spesifikasi standar pabrik. Menariknya, sejarah penemuan formula ini berawal dari hal yang tidak disangka-sangka. Saat itu kumpulan anak-anak muda yang hobi dan gila utak-atik mobil, antara lain Rizal Simanjuntak dan Juffri Sahroni berhasil menemukan sebuah teknologi rancang bangun mesin untuk meningkatkan tenaga mesin diesel. Akhirnya mereka mendirikan R&D dengan nama MAXIMIZER.

    Dari pengalaman berbulan-bulan mengamati dan mengutak-atik mesin mobil, mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah teknologi rancang bangun untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan mesin diesel. Produk itu dinamakan MAX-PC dan telah dipatenkan.

    Bentuknya kira-kira sebesar bungkus rokok. Namun produk yang amat mudah dipasang di mesin kendaraan tersebut didesain penciptanya menjadi produk `pintar`. Produk ini didesain untuk sebuah target perbaikan. Dia dapat meningkatkan akselerasi gas buang, dapat meningkatkan top speed kendaraan diesel. Selain itu produk ini diciptakan untuk menambah tenaga pada semua tingkat kecepatan. Bukan hanya itu saja, keunggulan lainnya, dapat menurunkan getaran mesin, menurunkan tingkat kebisingan, dan penghematan bahan bakar.

    Menurut Rizal Simanjuntak, peningkatan akselerasi dapat dirasakan pada tiap tingkat kecepatan. Untuk semua jenis dan merek mobil diesel keluaran tahun 1995-2002, akselerasinya mencapai maksimal 2-6 detik. Sedangkan untuk mobil diesel keluaran dibawah tahun 1995 dapat meningkatkan akselerasi hingga 10-20 detik. Sedangkan untuk penurunan kebisingan dapat dicapai rata-rata antara 1,5 dB hingga 3 dB.

    "Kadar suara dengan sendirinya memang dapat turun karena beban kerja mesin menjadi lebih ringan," jelas Rizal. Soal penghematan bahan bakar, buktikan saja. Bahan bakar yang dihemat setelah mesin dipasangi alat ini mencapai rata-rata 5-10 persen. Jika pemakaian bahan bakar mobil diesel anda -untuk berbagai macam aktivitas-, tiap harinya rata-rata 50-100 liter, maka anda dapat menghemat antara 5-10 liter. Lumayan juga! Uniknya, alat ini hanya dijual seharga Rp 1,250 ribu. Murah bukan? Jika kita melihat pelayanan purna jualnya. Produsen MAX-PC, yakni MAXIMIZER memberi garansi pada alat yang dijualnya SEUMUR HIDUP! Bayangkan. Jadi jika MAX-PC memang tidak mampu memenuhi semua kelebihannya seperti yang diceritakan diatas maka konsumen boleh mengembalikan tanpa membayar. Dan jika alat ini tidak berfungsi atau rusak, maka produsen atau bengkel resmi penyalurnya akan mengganti dengan alat baru tanpa bayar alias gratis. Konsumen cukup membayar bila terjadi perbaikan.

    Pabrik MAXIMIZER pun membuat pelayanan atau aturan main penjualan yang benar-benar customer satisfaction. Tiap mobil yang akan dipasang MAX-PC, dilakukan pengetesan sebelum dan sesudah produk MAC-PC terpasang. Dan perbandingan kondisi kendaraan sebelum dan sesudah MAX-PC terpasang --misalnya peningkatan tenaga, akselerasi, kebisingan suara dan hemat BBM-- terbukti, menjadi acuan kesepakatan bertransaksi antara pemilik mobil dan bengkel resmi penjual MAX-PC yang ditunjuk MAXIMIZER.

    Panduan perbandingannya ialah, untuk uji akselerasi (0-100 kilometer) dan uji kebisingan (menggunakan dB meter). Alat MAX-PC ini akan dipasang di sela-sela saluran engine, injector dengan tangki bahan bakar. Jadi tidak mengganggu spesifikasi mesin secara standar, tidak membutuhkan tambahan power dari aki atau mesin.

    Lebih jauh Rizal mengungkapkan, alat ini sengaja didesain dengan menggabungkan sourcing dari beberapa tempat. Untuk bodi MAX-PC, MAXIMIZER selaku pemilik paten mengambil bahannya dari pabrik mesin di sekitar Tegal dan Klaten Jawa Tengah. Bodi alat terbuat dari alumunium yang tahan panas dan bisa mengalirkan tenaga secara maksimal. Kemudian untuk pembuatan enginenya, MAXIMIZER menggunakan fasilitas milik pabrik pesawat terbang IPTN di Bandung guna menyediakan rancangan engine dalamnya. "Pokoknya komposisi alat ini 60 persen lokal dan 40 persen dengan presisi tinggi," ujarnya.

    Pada kesempatan ini Rizal juga membuka kesempatan pada bengkel atau agen di daerah yang ingin membuka agen penjualan MAX-PC. "Syaratnya mudah kok, datang saja ke markas kami di Jalan Pangeran Antasari Nomor 70, Cipete, Jakarta Selatan, nomor teleponnya 766-2205, nanti kita bicarakan bersama," ujarnya. Menurut taksiran Rizal untuk membuka agen penjualan atau bengkel dibutuhkan investasi sekitar Rp 300 juta. Tapi itu bagi mitra yang memang benar-benar mulai dari nol alias tidak punya bengkel. Bagi yang sudah punya tempat dan bengkel, investasinya kecil sekali. "Dan kami tidak menggunakan metode yang rumit pada pola mitra dagang dan pendistribusiannya, nantinya kita tinggal bagi hasil saja," tutur Rizal. Saat ini sudah ada beberapa tawaran masuk untuk menjadi mitra, yakni dari Semarang dan Surabaya. Namun dari Bandung, Medan, Ujung Pandang, dan kota-kota besar lainnya masih terbuka luas. (Edo) --- Sumber: MandiriDotCom, 26 April 2002.
  32. ROBERT MANURUNG
    Penemu Minyak Jarak Murni

    Dalam situasi krisis minyak bumi ini, Dr Ir Robert Manurung MEng (50), Lektor Kepala Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), tetap konsisten meneliti pirolisa biomassa-usaha mencairkan bahan bakar padat (biomassa) secara termal untuk menghasilkan bahan bakar cair, gas yang bisa terbakar, dan padatan berupa arang-seperti cahaya terang di ujung terowongan. Ketekunannya berangkat dari pemikiran bagaimana membuat potensi alam Indonesia menjadi berkah yang berguna untuk masyarakatnya.

    Penelitiannya pada jarak pagar (Jatropha curcas L) memperlihatkan secara teknologi sederhana dan ekonomis memungkinkan mengutip minyak jarak untuk menggantikan solar.

    Penelitian minyak jarak dilakukan laki-laki kelahiran Onan Ganjang, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, itu sejak tahun 1997 bersama teman-temannya di ITB dengan fokus pengutipan (ekstraksi) minyak kelapa dan jarak. Rancangan ekstraksi itu sempat dipamerkan tahun 1998 di Istana Negara. Pada periode itu, Manurung yang menyelesaikan S-1-nya di Teknik Kimia ITB, S-2 di Technology Asian Institute of Technology (Bangkok) dan S-3 di Rijksuniversiteit Groningen (RuG, Belanda) ini juga sedang mendalami struktur berbagai minyak tumbuhan. Sayangnya, dia gagal mendapat dana Riset Unggulan Terpadu karena dianggap tidak relevan. Yang tertarik membiayainya justru RuG, Belanda.

    “Penelitian yang diperlukan bukan lagi pada minyak jaraknya karena minyaknya dapat digunakan langsung sebagai bio-diesel tanpa campuran metanol atau bahan lain, tetapi bagaimana mengutip minyak itu seefisein mungkin. Yang lebih penting lagi, bagaimana memanfaatkan limbah padatannya," papar Manurung yang tengah meneliti pengutipan minyak dari limbah jarak untuk mendapat pengganti minyak tanah, bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi.

    Ketertarikan Manurung pada pirolisa dipicu pengalamannya di kampung. Sampai usia 14 tahun sebelum melanjutkan pendidikan SMA ke Bandung tahun 1970, Manurung dan saudara-saudara lelakinya harus mencari kayu bakar untuk digunakan ibunya memasak. “Sekembali dari luar negeri di kampung kami BBM bukan lagi barang mewah, tetapi di berbagai pelosok Indonesia apa yang saya rasakan 30-40 tahun lalu di kampung masih mereka alami. Padahal, saya sudah menjelajah berbagai negeri turut mengembangkan teknologi limbah pertanian menjadi energi," kata ayah Christy Sondang Nauli (8), Efraim Partogi Nahotasi (6), dan Gamaliel Adaran Nadiuarihon (4) dari pernikahannya dengan Desi Indira Chaer yang juga lulusan Teknik Kimia ITB.

    Sejak belum lulus dari ITB, pada tahun 1977 Manurung sudah dilibatkan Prof Dr Saswinadi Samojo dalam penelitian bahan bakar terbarukan yaitu pirolisa sekam padi. Pada tahun 1976, ITB berkerja sama dengan TH Twente dan TH Delft, (keduanya dari Belanda), dalam penelitian energi baru dari biomassa melalui proses gasifikasi.

    Dalam kerja sama TH Twente-ITB, Prof Dr Ir AACM Beenackers tahun 1982 mengunjungi ITB untuk menjajagi pengembangan gasifikasi sekam padi skala kecil. Dalam sebuah desertasi doktor di Jerman dikatakan, karena sifat fisik sekam padi dan kandungan silikanya yang tinggi tidak mungkin gasifikasi dibuat dalam skala kecil. Di depan tamunya Manurung mengambil potongan seng. Dengan meniru tungku sekam padi di pedesaan Yogyakarta, tiga jam kemudian alat yang dimodifikasi dengan menambah penyalur udara dan kompresor serta berisolasi itu siap. Manurung mendapat biaya penelitian doktor dan dia dipromosikan di Rijksuniversiteit Groningen pada tahun 1993.

    “Promosi itu menjadi kenangan indah pertama sebagai peneliti karena yang saya katakan 10 tahun sebelumnya terbukti kebenarannya secara ilmiah dalam desertasi doktor saya," papar Manurung yang langsung mendapat kesempatan melanjutkan penelitian post-doctoral selama setahun di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS. Sepulang dari MIT dia terobsesi pada penelitian pirolisis minyak tumbuhan karena teknologi saat itu memungkinkan pengutipan sampai 70 persen berat biomassa serta penggunaannya menggantikan BBM.

    Karena itu ketika Mitsubishi Research Institute (Miri) dan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) dari Jepang mengajak bekerja sama, Manurung menekankan penggunaan langsung minyak jarak tanpa campuran bahan lain dan pengolahan lebih lanjut limbahnya. Tahun depan, dia optimis teknologi pengutipan minyak jarak ini dapat disebarkan ke masyarakat.

    Jarak dipilih karena bisa tumbuh di tanah tandus. Kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, serta sejumlah pesantren di Jawa Barat memperlihatkan produktivitas buah sampai 30 kg/pohon/tahun sehingga keekonomisan juga bisa dicapai.

    “Menariknya, ada rekan yang tidak percaya, ada pesimis, tetapi ada juga yang mengatakan “nothing new". Nothing is perfect di dunia. Karena itu perlu penelitian dan pengembangan lebih jauh," kata staf ahli bidang keahlian energi baru Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini.

    Penggunaan jarak sebagai substitusi solar sangat dimungkinkan. Bahkan, tidak seperti yang selama ini dinyatakan Pemerintah, yaitu mencampur dengan solar, sesungguhnya minyak jarak murni pun bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin kendaraan. Percobaan ini telah dilakukan melalui Jatropha Expedition 2006 yang melewati rute Atambua, Bali dan berakhir di Jakarta.

    Menurut Manurung, penggunaan minyak jarak 100 persen ini sangat dimungkinkan. Bahkan dalam perjalanan, tim ekspedisi Jatropa 2006 yang pada Senin (17/7/2006) sampai di Bali, mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Dia mengatakan, tanaman jarak ini selain buahnya bisa menghasilkan minyak murni yang bisa digunakan langsung sebagai bahan bakar kendaraan, ampasnya pun bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Persentasenya mencapai 40 persen untuk minyak dan 60 persen untuk pupuk.

    B. Prabowo, anggota tim ekspedisi yang bertugas mengkomparasikan data menambahkan bahwa dari hasil pengukuran yang dilakukan pada tiga mobil yang dijadikan percobaan, mobil berbahan bakar minyak jarak murni menghabiskan 29 liter untuk jangkauan 274 kilometer. Dia mengatakan jika ditarik perbandingan pemakaian angkanya mencapai 1 : 9,4. Sementara itu mobil yang menggunakan campuran dengan komposisi 50 persen solar dan 50 persen minyak jarak diperoleh hasil penggunaan minyak jarak sebanyak 31,5 liter. Sedangkan untuk mobil berbahan 100 persen solar dengan jangkauan tempuh 301 kilometer, solar yang dihabiskan sekitar 35 liter atau 1 : 8,6.

    Prabowo menyimpulkan sementara ini, dilihat secara teknis, spesifikasi minyak jarak murni sudah bisa digunakan sebagai substitusi solar. Selain lebih hemat, yang perlu diingat jarak juga menghasilkan emisi dari tanaman. Artinya lebih  ramah lingkungan dibandingkan emisi yang dikeluarkan solar. (Ninuk M Pambudy, kmb18) --- Sumber: Harian Kompas, 12 Mei 2005, Harian Bali Post, 18 Juli 2006.
  33. SAVERINUS NURAK
    Penemu Mesin Pompa Tangan Berkekuatan Tinggi

    Pendidikan terakhirnya ’cuma’ Sekolah Guru Bantu (SGB). Tapi dari tangannya, telah lahir mesin pompa tangan berkekuatan dahsyat. Mesin yang mampu menyedot air dari dasar jurang sedalam 7-10 meter dan memuncratkannya ratusan meter. Mesin yang hak patennya telah diakui di dunia internasional atas bantuan LIPI tahun 1994 dengan pengarahan lembaga hak paten di Den Haag, Belanda. Mesin pompa tangan itu juga telah diberi merek ”S Nurak”.

    ”S Nurak” bukan Cuma nama merek, tapi juga nama penemunya, Saverinus Nurak. Lebih dikenal dengan nama Guru Sepe, Nurak memang pantas mendapat pujian. Ia mewakili orang-orang yang tak mau menyerah pada kekerasan alam. Alam yang tidak ramah, yang membuat penduduk negrinya turun-temurun sulit memperoleh air minum.

    Natawulu, begitu nama kampung kelahiran Guru Sepe, tumbuh diantara tebing dan jurang dalam. Seperti di banyak kampung lain di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), penduduk Natawulu –-yang terletak di desa Nita-kolang, kecamatan Nita, 20 km arah selatan Maumere, Kabupaten Sikka—harus mencari sumber air pegunungan di dasar kaki tebing. Inilah yang kemudian mengilhami Guru Sepe.

    ”Sejak masuk SR (sekarang SD), saya seolah terus diusik pergulatan, bagaimana caranya air dari dasar kaki tebing bisa disedot dan dinaikkan hingga kampung”, kenang pria dengan tujuh anak dan tiga cucu itu, yang tinggal di jalan Egon, kelurahan Kabor, Maumere.

    Obsesinya semakin memuncak ketika memasuki SGB (sejenis kursus pendidikan Guru bagi tamatan SD untuk mengatasi kesulitan tenaga guru dalam waktu cepat) tahun 1950-an. Pelajaran di sekolah ketika itu antara lain mempertajam bakat seninya. Sejak itu pula Guru Sepe mematri motto pendorong semangat dalam dirinya: ”Hanya melalui seni dan teknologi saya bisa lebih sejahtera dan menjadi orang termashyur!”.

    ”Posisi kampung yang kesulitan air serta motto itu memberi saya inspirasi untuk berkarya”, tutur Guru Sepe. Dari inspirasi itu, ia memutuskan untuk merancang mesin pompa tangan.

    Lahir di Natawulu, 17 Juni 1936, Saverinus Nurak sebenarnya hanya sekitar tujuh tahun bekerja sebagai guru, terhitung sejak tamat SGB tahun 1957. Sebelum berhenti sebagai guru tahun 1964, sejak 1961 ia sudah mengawali karyanya dengan mulai merancang mesin pompa khusus yang menjadi obsesinya.

    Sebelum mulai berkarya pada awal tahun 1960-an itu, Guru Sepe pernah mampir di sebuah toko terkenal milik Amun di Maumere. Ia bertanya ke pemilik toko apakah ada mesin pompa tangan dengan daya dorong sampai 1.000 m. Pemilik toko menanggapinya dengan jawaban menantang. Katanya, mesin seperti itu hanya mungkin kalau pesan khusus atau buat sendiri!

    ”Saya memang sempat ciut dengan jawaban itu, tapi tidak sampai memupuskan niat untuk berkarya. Saya yakin ilmu di dunia ini tidak mungkin digarap habis, karenanya saya harus terus mencobanya”, tuturnya.

    Ternyata perjuangannya membutuhkan waktu lama. Bentuk pompa yang sekarang baru dicapai antara tahun 1983-1986 atau lebih 20 tahun sesudah mulai mencoba. ”Bentuk yang sekarang juga sebenarnya masih harus terus diuji coba hingga mencapai kesempurnaan. Namun yang pasti, bentuknya berbeda dengan mesin-mesin pompa lainnya”, tuturnya.

    Merasa telah mencapai bentuk spesifiknya, Saverinus Nurak --dengan dorongan serta dukungan kuat dari Laurens Say (mantan Bupati Sikka 1967-1977 dan mantan anggota DPR RI 1977-1982)-- mulai merakitnya. Salah satu mesin pompa hasil rakitannya pernah dicoba di perkampungan Wairpung (Sikka) tahun 1987. Hasilnya menakjubkan. Beroperasi tanpa katup, mesin sederhana ini mampu menyedot air dari kedalaman sekitar 10 meter, kemudian mampu mendorongnya hingga ketinggian hampir 300 meter.  ”Kalau pakai katup, daya sedot dan daya dorongnya bisa mencapai ratusan dan ribuan meter”, yakin Guru Sepe.

    Menyaksikan hasil menggembirakan ini, sang penemu bersama Laurens Say langsung mengusahakan hak patennya.

    Di bengkel kerja di komplek SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Negri I Maumere, sosok Guru Sepe sama sekali tak menonjol. Dengan pakaian lusuh, penemu mesin pompa tangan ”S Nurak” ini lebih banyak diam dan bekerja. Jika ditanya tentang karyanya, dengan ramah dan rendah hati ia malah menunjuk Laurens Say. Kerendahan hati serta kesederhanaan penampilannya sempat membuat sekelompok wartawan ’salah alamat’. Ketika ditemui,  mereka justru mengira Laurens Say sebagai penemu mesin pompa tangan ini. Untung, mantan bupati itu segera ganti menunjuk seseorang yang kebetulan berada di sampingnya. ”Kalau yang kalian cari penemu pompa tangan, inilah orangnya”, tutur Laurens Say sambil menepuk bahu Saverinus Nurak alias Guru Sepe.

    Apa keistimewaan mesin pompa ”S Nurak” ? Yang pasti daya sedot dan daya dorong mesin ini memiliki kekuatan dahsyat dibanding sejumlah mesin pompa jenis lainnya seperti sentrifugal, turbin, blimbing atau isap tekan. Mesin lain dilengkapi katup, namun daya sedot dan daya dorongnya rata-rata dibawah kemampuan mesin pompa ”S Nurak”. Menurut Guru Sepe, ini dimungkinkan karena ”S Nurak” dilengkapi penyetel as pengendali hingga proses penyedotan dan pendorongan dapat dilakukan melalui dua arah. ”Kelengkapan seperti ini tidak dimiliki mesin pompa lain”, jelasnya.

    Dengan modal seadanya, perakitan mesin pompa ini dilakukan oleh Saverinus Nurak bersama empat guru dari SMK Negri I Maumere. Perakitan di bengkel sekolah ini tidak banyak mengalami kesulitan karena kebetulan Laurens Say sendiri ketua majelisnya. Hingga saat ini, mesin pompa ”S Nurak” rakitan bengkel sekolah itu berjumlah empat unit, masing-masing satu unit di Serpong, ATMI (Akademi Teknik Mesin Industri) Solo dan dua lainnya di Maumere.

    Dunia ilmu pengetahuan kini jelas mencatat satu temuan baru mesin pompa tangan ”S Nurak” dengan hak paten atas nama penemunya sendiri. Yang ditunggu sekarang adalah lirikan pemerintah atau investor hingga temuan ini dapat dirakit atau dipabrikasi secara massal,mengingat kondisi berbagai daerah yang sangat membutuhkan jenis pompa tangan seperti ”S Nurak”. Namun yang pasti, Guru Sepe keberatan kalau hak patennya harus digadaikan. Seorang pengusaha Korea Selatan sekitar empat tahun lalu (1994) pernah bermaksud membeli hak paten temuannya itu seharga Rp 3 milyar. ”Saya sangat keberatan kalau harus kehilangan hak paten saya”, tegasnya. (Frans Sarong) --- Sumber: Harian Kompas, 18 April 1998.
  34. Sutjipto & Ryantori -                                                                                       Penemu Konstruksi Fondasi Sarang Laba-laba

    INSPIASINYA
    Tersendatnya pembangunan sebuah gedung, merupakan salah satu contoh permasalahan yang muncul dalam dunia konstruksi. Contoh lain, timbulnya dilema ketika perencana konstruksi dihadapkan pada keadaan tinggi atau berat gedung tanggung, daya dukung tanah permukaan rendah, atau letak tanah keras cukup dalam.

    Berangkat dari sebuah penelitian, lahirlah penemuan baru sistem konstruksi atau fondasi bangunan, sebagai solusi terhadap dilema yang selalu muncul ketika merencanakan gedung dengan ketinggian tanggung yang butuh fondasi dangkal, seperti lantai satu hingga delapan. Penelitian yang dilakukan oleh Ir. Sutjipto dan Ir. Ryantori tahun 1976 silam, yang akhirnya melahirkan penemuan baru itu.

    Diberi nama konstruksi sarang laba-laba atau KSLL karena bentuknya yang mirip sarang laba-laba. Sistem fondasi sarang laba-laba hasil karya bangsa Indonesia asli itu, tak hanya menjawab kebutuhan dunia teknologi konstruksi akan sistem fondasi yang bernilai ekonomis dari segi biaya, tapi juga multi fungsi. Dalam perhitungan, biaya bisa dihemat hingga 50 persen.

    Dari segi waktu, sistem KSLL ini sangat efisien, karena menerapkan prinsip ban berjalan, sehingga pengerjaannya pun lebih cepat dibanding sistem konstruksi lain.

    Dari 1000 lebih bangunan yang menggunakan sistem KSLL ini, hingga saat ini belum terdapat bangunan yang mengalami keretakan berarti. Ini berarti KSLL memberikan stabilitas yang tinggi, meski terjadi guncangan. Risiko penurunan yang tidak merata, dapat dieliminasi sampai mendekati angka 0. Sistem ini mampu membuat tanah menjadi bagian dari struktur fondasi.

    Melalui berbagai studi dan diskusi, KSLL terus dikaji. Dari sebuah lokakarya di kota Bandung, Jawa Barat, mengukuhkan bahwa fondasi sarang laba-laba sebagai salah satu alternatif solusi fondasi, dapat dipertanggung jawabkan dan layak dikembangkan. Kini, lisensi untuk pemasaran sistem fondasi KSLL ini dipegang oleh PT. Katama Suryabumi.

    Ir. Sutjipto, penemu teknik fondasi sarang laba-laba ini kemudian justru lebih populer sebagai politisi ketimbang bidang konstruksi keahliannya. Pilihannya dalam berpolitik, telah mengantarkan lulusan Insitut Teknologi Surabaya (ITS) yang kemudian menemukan teknik fondasi sarang laba-laba, ini menjadi seorang politisi kaliber nasional. Ahli konstruksi yang temuannya antara lain dipakai di Bandara Hang Nadim, Batam, ini akhirnya lebih mengalir bicara politik ketimbang bidang konstruksi yang juga digelutinya.

    Memang, kehidupan politik bisa jadi berawal dari keaktifannya berorganisasi sejak di SMA tahun 1964 yang terus berlanjut sampai ia kuliah di ITS Surabaya. Pada 1986, Sutjipto mulai terjun aktif di Partai Politik sampai mengantarkan pria kelahiran Trenggalek menduduki jabatan sekretaris jendral partai dan kemudian juga pernah dipilih sebagai Wakil Ketua MPR RI (e-ti/tempo). --- Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) & Indosiar (Horison, Mei 2004).
  35. Sutrisno -                                                                                                                              Penemu Alat Perangkap Lalat Buah 

    INSPIRASINYA
    Keprihatinan Sutrisno yang bermula dari ekspor buah Indonesia ke Jepang di tolak, karena penyakit busuk buah, membuatnya mengadakan penelitian serius yang akhirnya menghasilkan alat perangkap lalat.

    Bagi para petani maupun pengusaha buah-buahan dan sayur-sayuran, salah satu masalah yang sering timbul adalah penyakit busuk buah dan gagal bertanam karena hal yang sama. Serangan busuk buah ini sering menyebabkan daun pohon cabe menjadi keriting, menggulung ke dalam berbentuk bisul-bisul. Dan kalau musim hujan bisa mencapai 80% atau praktis busuk semua. Menyedihkan memang.

    Rasa keprihatinannya mendorong Sutrisno, Kasubdit Buah-buahan, Ditjen TPH Deptan untuk melakukan penelitian serius mengenai penyakit tadi.

    Lulusan UGM Fakultas Pertanian ini akhirnya berhasil menemukan penyebabnya, yakni akibat lalat buah yang sekilas tampak cantik dan sebenarnya pembersih. Sayangnya sang lalat betina suka meletakkan telurnya-telurnya pada buah-buahan yang telah ditusukinya.

    Seorang staf Sutrisno, Parlindungan, mengusulkan penggunaan perangkap lalat yang menggunakan sejenis cairan untuk memanggil lalat jantan. Bahan dasarnya minyak cengkeh yang diolah menjadi metil egenol. Senyawa ini ditemukan ITB, mirip dengan senyawa yang dikeluarkan lalat buah betina pada saat kawin.

    Percobaan demi percobaan dilakukannya sendiri di halaman rumahnya yang mempunyai lahan tanaman sekitar 600 m2.

    Hasilnya, ia menemukan perangkap lalat. Dan telah dicobakan pada tanaman cabe. Cabenya telah berbuah dengan hasil produksi yang bagus dalam waktu tiga bulan. Per batang produksinya mencapai 1,5 sampai 2 kg. Sampai ke tiga kali panen, hasilnya tetap bagus.

    Alatnya sederhana, berupa tabung yang di isi air setinggi sepertiga dengan terlebih dulu dicampur detergen. Kemudian cairan dioleskan pada kapas dan diikat pada tutup tabung bagian atas. Sementara kiri dan kanannya dilubangi dengan corong. Corong ini merupakan bagian terpenting, karena seharusnya bau cairan metil egenol hanya tercium dari corong ini. Pastikan tabungnya tidak bocor, sehingga baunya tidak keluar. Sutrisno sendiri tidak bermaksud mempatenkan temuannya karena harganya sangat murah, hanya Rp 1.500,- per unit. (Isa) --- Sumber: Berita Iptek, 11 Januari 2001.  
  36. SUPARMIN SINUANG RAHARDJO
    Penemu Kompor Berbahan Bakar Air

    INSPIRASINYA

    Banyumas - Ketergantungan masyarakat terhadap kompor elpiji sangat tinggi. Tak pelak, ketika terjadi kelangkaan pasokan elpiji hal itu menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Barangkali hal itu tidak terjadi jika masyarakat telah memakai kompor yang ditemukan Suparmin Sinuang Rahardjo (48), warga Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah.

    Kompor penemuan Suparmin itu juga tidak akan terpengaruh meski terjadi kelangkaan minyak tanah. Bahkan, sebaliknya, kompor tersebut mampu menurunkan konsumsi minyak tanah.

    Aneh memang, kompor “ajaib” yang ditemukan Suparmin justru bergantung pada air. Kenapa? Karena kompor itu sebagian besar bahan bakarnya memang dari air, meski masih membutuhkan minyak tanah. Tetapi jumlahnya sangat sedikit. Itulah kelebihan kompor yang ditemukan Suparmin. Warga Kalibagor itu memang menemukan kompor yang lain daripada yang lain. Bahkan di kolong dunia ini belum ada kreasi semacam itu, sehingga dia memperoleh hak paten atas penemuannya tersebut.

    Bayangkan saja, untuk menyalakan kompor hanya membutuhkan listrik, air, dan minyak tanah dengan jumlah sangat sedikit. Perbandingan antara air dengan minyak tanah adalah 1:10. Jika airnya 5 liter misalnya, kebutuhan minyak tanah hanya 0,5 liter. Sangat irit bukan?

    Penemuan itu tidak datang begitu saja. Membutuhkan waktu bertahun-tahun agar bisa menciptakan kompor berbahan bakar air tersebut. Suparmin memulainya sejak tahun 2003, baru tahun 2006 mulai menemukan hasilnya. Tahun 2007 sekarang, kompor tersebut sudah semakin baik, meski belum sempurna bentuknya. Tetapi secara prinsip, kompor itu betul-betul telah mampu dioperasikan.

    Ketika SH berkunjung ke rumahnya, Suparmin dengan cekatan mampu membuktikannya. Kompor tersebut bentuknya hampir sama dengan kompor elpiji. Bentuknya lebih tebal. Tidak ada tabung seperti halnya tabung elpiji. Hanya ada kabel dari kompor tersebut yang dialirkan pada arus listrik. Selain itu, bahan bakarnya yakni air dan minyak tanah dimasukkan dalam tabung yang bersatu dengan kompor.

    Cara kerjanya pun sangat sederhana. Mula-mula, kabel dari kompor dialiri listrik. Aliran listrik itu digunakan untuk memanaskan air yang menjadi bahan bakar tersebut, serta untuk memantik “korek api” elektrik yang ada dalam komponen kompor. Setelah beberapa saat, akan terdengar suara air mendidih. Kemudian, dia menyalakan kompor seperti halnya kompor elpiji. Nyala apinya juga sama persis dengan elpiji (biru), bahkan tidak membuat kehitaman (jelaga) panci atau alat masak lainnya.

    Prinsipnya, kata Suparmin, sebetulnya sangat sederhana. Aliran listrik tersebut masuk dalam pemanas yang kemudian membuat air yang menjadi bahan bakar itu mendidih. Dalam kondisi mendidih, air menghasilkan uap yang bercampur dengan minyak tanah. Bersamaan dengan itu, pemantik dihidupkan dan menghasilkan api yang berwarna biru. “Jika kompor dipakai sejak awal, pemanasannya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit. Setelah kelihatan menganga pada “korek” elektriknya maka saklar dinyalakan dan api langsung menyala. Awalnya, aliran listrik membutuhkan daya sekitar 100 watt. Namun jika telah menyala, kebutuhan listrik hanya tinggal 5 watt saja. Kalau kompor akan terus dipakai, sebaiknya aliran listrik jangan diputus. Sebab kalau diputus itu berarti membutuhkan waktu untuk pemanasan lagi,” katanya.

    Menurutnya, adanya kompor ini akan sangat membantu masyarakat yang kesulitan membeli gas elpiji atau minyak tanah karena harganya semakin mahal. Penemuan ini, kata Suparmin, memang tidak bisa disampaikan secara detail kinerjanya, karena menyangkut hak cipta. “Yang pasti, dengan adanya penemuan kompor ini, setidaknya masyarakat akan tahu bahwa kompor tidak selamanya berbahan bakar minyak atau elpiji atau listrik. Tetapi juga dapat berbahan bakar air,” tandas Suparmin. (sutriyono) --- Sumber: Harian Sinar Harapan, 14 April 2007.
  37. Sedijatmo - Penemu Konstruksi Fondasi Cakar Ayam
  38. Septinus George Saa -                                                                                                  Penemu Rumus Penghitung antara Dua Titik Rangkaian Resistor 

    INSPIRASINYA
    Pada pertengahan April 2004, media-media massa di Indonesia tiba-tiba santer memberitakan tentang Septinus George Sa’a. Pemuda ini telah memenangi lomba “First Step to Noble Prize in Physics”. Ini adalah lomba bergengsi bagi siswa sekolah menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri Internasional di Polandia. Sementara dalam Olimpiade Fisika para peserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan. Pada kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics" hasil riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.

    Oge, demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya "Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor" itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri.  Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas.

    Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir lomba itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula.

    Kemenangan Oge mengikuti jejak para genius Indonesia sebelumnya. Lima tahun lalu I Made Agus Wirawan dari Bali juga meraih emas pada kompetisi serupa.

    Oge adalah putera asli Papua. Tanah kelahirannya, di ujung timur Indonesia, hingga kini tak usai didera konflik. Lima orang presiden yang datang dan pergi selama 59 tahun Indonesia merdeka tak pernah berhenti berjanji meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bumi cendrawasih sana. Tapi janji hanya janji. Kemunculan Oge di panggung internasional seperti mengingatkan bahwa ada mutiara-mutiara  bersinar yang perlu mendapat perhatian di kawasan timur Indonesia.

    Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang, menanam umbi-umbian. Kelima anak Silas mewarisi keenceran otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas tahun 1969, sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala itu.

    Apulena Saa, puteri sulung Silas, mengikuti jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana  Kehutanan lulusan Universitas Cendrawasih. Franky Albert Saa, putera kedua, saat ini tengah menempuh Program Magister Manajemen pada Universitas Cendrawasih. Yopi Saa, putera ketiga, adalah mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Agustinus Saa, putera keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di panggung internasional. "Semua anak mama tidak manja dengan uang, sebab kami tidak punya uang," tutur mama Nelce usai menemani puteranya menerima penghargaan dari Departemen Kehutanan, Selasa (22/6/2004), di Departemen Kehutanan, Jakarta.

    Ia bertutur, karena minimnya ekonomi keluarga, Oge sering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik "taksi" (angkutan umum) dengan ongkos Rp 1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi. "Tidak bisa jajan. Untuk naik "taksi" saja mama sering tidak punya uang. Kalau Oge mau makan harus pulang ke rumah,” katanya.

    Oge lahir 22 September 1986. Ia memang pintar sejak kecil. Tidak seperti Einstein yang pernah tinggal kelas, Oge kecil selalu juara kelas sejak di bangku SD hingga SMP. Bahkan ketika kelas IV SD gurunya menawari untuk ikut Ebtanas kelas VI. Namun, mamanya melarang karena saat itu kakaknya, Agustinus Saa, juga duduk di kelas VI.

    Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti karena uang. Pemuda yang dikenal sebagai playmaker di lapangan basket ini adalah orang yang haus untuk belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang haus seperti Oge. Prestasinya di bidang fisika bukan semata-mata karena ia menggilai ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini.

    "Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak ada yang khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka belajar saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya," katanya. "Semua mata pelajaran di sekolah saya suka kecuali PPKN (Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan). Pelajaran itu membosankan dan terlalu banyak mencatat. Saya suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa Indonesia. Saya selalu bagus nilai Bahasa Indonesia," tambahnya.

    Selepas SD dan SMP yang kerap diwarnai bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia.

    Kebrilianan otak mutiara hitam dari timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada 2001 ia menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah. Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun mamanya melarang putera bungsunya berangkat ke Ibu Kota. Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat. Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah Papua.

    Oge kemudian membuktikan bahwa kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya berganti menjadi tangis haru ketika November 2003 ia menduduki peringkat delapan dari 60 perserta lomba matematika kuantum di India. Prestasinya memuncak tahun ini dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya. Mamanya pun tidak pernah menangis lagi.

    "Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman," kata dia.

    Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah orisinil gagasannya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di Polish Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan jempolan.

    Sepulang dari Polandia nanti, Oge sudah memutuskan untuk mengambil studi S1-nya di Indonesia di Jurusan Fisika Universitas Pelita Harapan. Meski sejumlah tawaran bantuan terus mengalir kepadanya untuk melanjutkan studi di luar negeri, di antaranya dari Group Bakrie dan Freeport, Oge merasa belum siap untuk meninggalkan tanah air. "Nantilah, untuk S2 dan S3 saya ke luar negeri. Kalau sekarang saya belajar di Amerika, saya belum siap. Saya harus belajar lagi bahasa. Selain itu, fisika itu kan luas. Ada banyak yang harus saya pelajari. Harus ada orang yang betul-betul mendampingi saya," ujar dia.

    Ya, Oge mengaku masih membutuhkan Yohanes Surya. Ia masih membutuhkan tangan dingin guru sekaligus sosok yang dikaguminya itu mengasah otaknya. "Dia (Yohanes Surya) orangnya  beriman. Dia ilmuwan tapi tidak atheis. Dia sangat membantu saya," kata Oge tentang gurunya itu. (Heru Margianto) --- Sumber: Harian Kompas, 27 Juni 2004.
  39. Sofin Hadi - Penemu Metode Cincin untuk Sunat Tanpa Luka
  40. Sri Wuryani, Mustadjab, Euis M. Nirmala, Siwi Hardiastuti - Penemu Pengawet Aroma dalam Hampa
  41. Tjokorda Raka Sukawati - Penemu Landasan Putar Bebas Hambatan Sosrobahu
  42. Warsimin Adiwarsito - Penemu Marmer Buatan
  43. Widowati Siswomihardjo - Penemu Bahan Baru untuk Gigi Palsu yang Lebih Aman dan Murah
  44. WINDU HERNOWO
    Penemu Penghemat Bahan Bakar Mesin

    Gara-gara terkena stroke pada tahun 2000, Ir. H. Windu Hernowo, MM (45 tahun), akhirnya memutuskan berhenti kerja pada tahun 2002, karena merasa tidak mampu lagi memberikan kontribusi kepada perusahaan. Dengan segala kekurangan yang ada, bapak dari dua anak ini tetap mempunyai semangat dalam bekerja dan memilih hidup sebagai wiraswasta.

    Dari rumah tempat tinggalnya di Jl. Shangrila I/34 Jakarta Selatan, ia mendirikan PT. Barong Energysaver, yaitu suatu usaha dengan membuat alat yang dapat digunakan untuk menghemat pemakaian bahan bakar, meningkatkan kinerja mesin, menurunkan emisi karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC), sehingga emisi menjadi ramah lingkungan serta opasitas dari gas buang yang pada akhirnya menghemat biaya bahan bakar dan biaya perawatan mesin.

    ”Sebelumnya saya bekerja di perusahaan minyak milik Prancis bernama Schlumberger, sebagai quality health safety and environment. Kemudian saya pensiun dini karena stroke yang mengakibatkan saya lumpuh,” kata suami dari Hj. Budiro ini.

    ”Waktu masih kuliah, saya hobi balapan motor liar. Saya dan teman-teman juga sering berlomba menciptakan suatu alat. Di lingkungan kami waktu itu, ada kebanggaan kalau bisa menciptakan suatu alat,” kata lulusan dari sekolah tinggi teknik ternama di Surabaya ini.

    Windu dan beberapa teman, diantaranya Ahmad Fauzi, berhasil menciptakan alat untuk memacu laju motor lebih cepat, waktu itu masih untuk sendiri. Karena bentuknya yang besar dan kurang praktis, dibantu teman baiknya dari teknik elektro, dibuatlah alat itu yang lebih kecil tapi kualitasnya tetap sama.

    ”Lama-lama timbul niat kalau bagus begini kenapa tidak dites. Kemudian saya tes di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, hasilnya bagus. Ternyata alat ini bukan hanya mempercepat laju motor, tetapi juga bisa mengirit BBM dan emisi bagus,” katanya.

    ”Kemudian pada Februari 2002, saya membuat perusahaan dengan nama PT. Barong Energysaver. Kenapa saya beri nama ’Barong’, karena saya punya cita-cita, produk Indonesia nantinya bisa dikenal di luar negri. Saya pakai nama itu agar mudah diingat, karena ’Barong’ identik dengan Bali. Untuk produksi alat ini, saya percayakan kepada Ahmad di Malang (Jawa Timur),” kata CEO Managing Director PT. Barong Energysaver ini.

    Barong Fuel Ionizer (BFI) adalah sebuah alat berteknologi modern untuk mesin kendaraan serta mesin-mesin lainnya yang bekerja dengan sistem positive magnetism frequenty energy. Barong dengan teknologinya mampu mengubah molekul bahan bakar minyak (BBM) menjadi mudah mengikat oksigen sehingga proses pembakaran menjadi lebih sempurna melalui ’burning coverage management’.

    Alat ini dapat memperbaiki performa mesin sekaligus penghematan BBM hingga 25 persen dengan mengubah reaksi molekuler menjadi radiasi ion antara hidrokarbon dengan oksigen menggunakan teknologi mikroprosesor serta superkonduktor neodimium.

    Memanfaatkan teknologi mikroprosesor dari Jepang serta superkonduktor neodinium dari AS, alat ini dapat digunakan pada mesin transportasi (mobil, motor, kapal laut, dll) maupun industri yang memakai bahan bakar hidrokarbon (bensin, solar, gas dan sejenisnya).

    Pemasangan diinstalasi pada saluran bahan bakar dengan penempatan setelah filter dan sebelum ruang bakar mesin. Untuk memperoleh hasil maksimal, perlu penyesuaian aliran udara pada mesin karburator atau pun air fuel ratio (AFR) untuk mesin injeksi.

    Dengan adanya barang yang ramah lingkungan ini, diharapkan emisi kendaraan tidak lagi membuat polusi udara semakin buruk. ”Harapan saya, Barong bisa menjadi alat yang dikenal masyarakat, karena kalau setiap orang sudah sadar begitu pentingnya udara yang sehat, pasti orang akan pakai alat ini,” ujar Windu. [Amri, JobPlus – Juli 2004].
  45. YANTO LUNARDI ISKANDAR
    Anggota Tim Penemu HIV & Metode Peningkatan Hematopoiesis

    Pada umumnya, dunia mengenal Profesor Robert Charles Gallo sebagai salah satu yang diakui sebagai penemu HIV penyebab AIDS (1984) namun tidak dapat diabaikan andil para anggota tim peneliti dibelakangnya yang tergabung di Institut of Human Virology (IHV) – University of Maryland Biotechnology Institute, USA. Salah satu anggotanya adalah Yanto Lunardi Iskandar, MD, PhD. Ia bersama Robert C. Gallo (Direktur IHV) dan Joseph Bryant telah mendapatkan hak paten atas salah satu hasil penelitiannya dalam hal metode peningkatan hematopoiesis dari turunan human chronic gonadotropin (hCG). Temuan ini menjadi dasar yang penting untuk tindak lanjut penelitian mereka untuk pengobatan penyakit akibat virus, khususnya kanker dan AIDS.

    Selain masih sebagai anggota tim peneliti di IHV, Yanto Lunardi Iskandar juga menjabat sebagai direktur di Institute Human Virology & Cancer Biology - Universitas Indonesia.
  46. YUDI UTOMO
    Penemu Kontainer Limbah Nuklir

    Ketika krisis listrik terjadi, beberapa kelompok masyarakat kembali terpikir untuk membangun pusat listrik tenaga nuklir. Gagasan ini selalu memunculkan pro dan kontra. Kebanyakan orang yang menolak pembangunan pusat listrik bertenaga nuklir karena takut akan tingkat keamanan dan juga problem limbah nuklir.

    Jadi, dapat dikatakan di Indonesia limbah nuklir itu belum ada. Nah, hebatnya, limbah belum ada, keranjang penyimpan limbah nuklir sudah disiapkan oleh Yudi Utomo Imardjoko (40), sarjana nuklir yang memperoleh gelar doktor dari Iowa State University, Amerika Serikat, dalam usia 32 tahun. Ia menemukan rancangan kontainer untuk menampung limbah nuklir yang tahan puluhan ribu tahun ditanam dalam tanah dengan aman.

    "Problem utama pemakaian energi nuklir itu pada soal menyimpan limbah untuk selamanya. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan kontainer adalah harus tahan sampai 10.000 tahun," kata Yudi yang memimpin Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM), Yogyakarta.

    Bersama dengan sarjana lain di seluruh dunia, Yudi berlomba membuat rancangan kontainer yang panjangnya enam meter dan diameter satu meter itu. Rancangan dosen Fakultas Teknik Nuklir UGM itu sudah masuk dalam lembaran Department of Energy Amerika Serikat dan memenuhi kualifikasi yang diminta serta berhak ikut tender pembuatan kontainer itu.

    "Tender akan dilakukan tahun 2005. Mereka membutuhkan 12.000 kontainer. Limbah nuklir di AS makin lama makin menumpuk di dalam gudang. Itu tak bisa terus-menerus dijalankan. Itu tak sesuai dengan aturan. Limbah harus disimpan di dalam tanah dengan kontainer yang tahan terhadap segala kerusakan," tambah pria yang untuk sementara "menduda" ini. Istrinya, drg Trina M.Kes, bersama ketiga anaknya tinggal di Melbourne, Australia, untuk meneruskan studi strata tiga.

    Ia mengajak perusahaan yang mampu mengikuti pemikirannya dengan gagasan yang semakin berkembang berkat bantuan rekan-rekannya. Untuk mengikuti tender di AS, Yudi merangkul Nuclear Assurance Corporation (NAC), sebuah perusahaan asli negara itu. Adapun untuk pembuatan kontainer di Indonesia, ia bekerja sama dengan Boma Bisma Indra (BBI).

    PROSES penemuannya memakan waktu lama. Rumus desain itu berawal ketika Yudi menjadi mahasiswa strata tiga di AS. Konsepnya sudah sering dipresentasikan di berbagai forum, tetapi perhitungan yang rinci tidak pernah dibuka.

    "Menurut guru besar pembimbing saya, perhitungan yang saya miliki merupakan yang paling bagus. Ia bilang, itu semua untuk you saja dan dipatenkan. Lalu, perhitungan itu saya bawa pulang ke Indonesia dan dimatangkan," katanya. Pembimbingnya, Profesor Daniel Bullen, adalah staf ahli Bill Clinton (Presiden AS kala itu) untuk bidang nuklir dan berlanjut di era Presiden George W Bush.

    Untuk mematangkan rancangan itu, dari pemerintah ia mendapat dana riset unggulan terpadu (RUT) dan kemudian riset unggulan kemitraan (RUK) yang merupakan kerja sama dengan BBI. Menurut perkiraan Yudi, pada tahun ini paten dari AS sudah keluar, sedangkan dari Indonesia keluar tahun depan karena waktu tunggunya lebih lama. Ia yakin memenangi tender itu. Kontainer dibuat di Indonesia sehingga harganya murah, Rp 3,5 miliar. "Kalau Amerika butuh 12.000 buah, omzetnya sangat lumayan," tuturnya.

    Sambil menunggu poses paten serta tender di AS, Yudi aktif memimpin PSE, lembaga untuk mencari energi alternatif.

    "Di negara-negara maju, orang sudah berpindah dari minyak dan gas ke energi yang renewable. Itu melalui fase-antara yang namanya nuklir. Mereka tidak mau bergantung pada OPEC, tak mau dikendalikan harganya, lalu dikembangkan energi nuklir. Kita sulit pakai nuklir karena acceptance masyarakat yang rendah. Akhirnya PSE memosisikan kita harus mempunyai keunggulan energi karena semua arahnya menuju energi yang terbarukan. Ya sudah, kita langsung saja ke sana," paparnya.

    Setelah melakukan pengkajian, pilihan energi terbarukan jatuh pada energi surya, bukan biomass dan biogas. Matahari merupakan sumber energi terbarukan dengan ketersediaan yang paling gampang. Di masa depan, PSE mempunyai obsesi untuk mendayagunakan air sebagai energi yang bisa menggantikan bahan bakar minyak. Tuturnya, "Dalam waktu lima tahun lagi, semoga saja kita dapat membuat jumpa pers dengan wartawan dengan materi temuan energi hidrogen itu."

    Untuk menengok keluarga, ia wira-wiri ke Melbourne. Di sana ia bertemu dengan pejabat BP Solar, sebuah divisi dari perusahaan minyak BP, yang memproduksi panel tenaga surya yang mutunya bagus dan harganya kompetitif. Kini PSE selalu memakai panel produk BP.

    "Nanti jika setiap tahun sudah mampu memasarkan 10.000 unit sistem listrik tenaga surya, kita akan membuat pabrik sendiri. Bahan bakunya mudah. Wong cuma pasir pantai. Saya yakin pengguna tenaga surya akan makin banyak, pasar di Indonesia makin terbuka luas," ujar putra mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Prof Dr Imam Bernadib itu.

    PSE beberapa bulan lalu telah memberikan pernyataan bahwa krisis kelistrikan sudah di dalam kondisi bencana nasional. Pasokan listrik akan semakin menurun dan kualitasnya akan semakin jelek, sementara rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 50 persen lebih sedikit.

    "Salah satu yang dapat dilakukan secara individu adalah menyadarkan bahwa listrik dapat kita upayakan sendiri. Pemasok daya besar, seperti PLN, kita posisikan sebagai salah satu cara pemenuhan kebutuhan listrik, bukan segala-galanya. Artinya, kita pun mengetahui berapa kebutuhan listrik kita dan bagaimana menjaga agar kebutuhan listrik itu dapat dipenuhi terus-menerus sesuai dengan keinginan kita," tambah Yudi.

    Listrik tenaga surya dapat dimanfaatkan di daerah yang sangat terpencil sampai di perkotaan. Kelebihan listrik yang dihasilkan bahkan dapat dijual kepada pihak lain.

    "Daya pasokan kita mungkin jumlahnya kecil, namun kalau diupayakan oleh jutaan masyarakat Indonesia, daya yang terkumpul menjadi besar dan signifikan. Krisis kelistrikan yang terjadi sekarang adalah sebuah pelajaran bagi kita semua untuk membangun kesadaran menuju prinsip kemandirian," tegasnya.

    PSE selama enam bulan ini sudah membangun lebih dari 2.000 unit panel sistem listrik bertenaga surya. Dari pelosok desa dan luar Jawa serta perkotaan, dan untuk yang paling besar, mereka akan membangun sistem listrik tenaga surya di Kupang. Luas panel yang akan dijajarkan sama dengan satu lapangan sepak bola, daya yang dihasilkan satu megawatt.

    Investasi listrik bertenaga surya bervariasi, dari order Rp 3 juta sampai miliaran rupiah, bergantung pada kemampuan finansial warga masyarakat. Dana yang tertanam itu akan kembali dalam waktu 5-12 tahun bergantung pada pilihan teknologinya.

    "Pertumbuhan kebutuhan listrik dengan tenaga surya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi kita. Jadi, kita menumbuhkan kemampuan kita untuk semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan kita sendiri," demikian paparnya. (Bambang Sigap Sumantri) --- Sumber: Harian Kompas, 13 Juni 2003.

  47. ZAHLUL BADARUDDIN
    Penemu Zahlul Integrated Unit

    Umum diketahui, harga obat bisa “tidak ramah” dengan kantong pasien. Maka, berterima kasihlah kepada Zahlul Badaruddin. Doktor teknik kimia lulusan Universitas Oslo, Norwegia, 1983, ini berhasil membuat desain sistem untuk pabrik kimia yang bisa membuat harga obat lebih murah. Pencapaiannya itu dalam dunia farmasi dinilai sebagai “lompatan” ke depan.

    Sebelum temuan Zahlul mencuat, kalangan industri farmasi yakin bahwa untuk membuat bahan baku obat perlu investasi besar. Paradigma itulah yang membuat industri kimia Tanah Air tak berani memproduksi bahan aktif obat. Walhasil, bahan baku obat harus diimpor. Ujung-ujungnya, harga obat membumbung.

    Sebagai contoh, obat batuk yang memerlukan bahan aktif guapenecin. Harga impornya sekitar USD 14 atau kurang lebih Rp 120.000,- per kilogram. Namun dengan desain Zahlul, yang dinamai Zahlul Integrated Unit (ZIU), harga bahan baku bisa dijual Rp 24.000,- per kilogram.

    Cuma dengan menambah perkakas ekstra senilai Rp 200 juta, menurut Zahlul, teknologinya bisa menekan biaya produksi obat hingga 40%. Padahal untuk membuat proses serupa dengan peralatan lain, perlu investasi belasan milyar. Kerja sistem produksi rancangan Zahlul ini pada intinya memberi kesempatan reaksi kimia berlangsung sesuai dengan “kehendak” zat yang akan bereaksi.

    Sehingga, reaksi kimia berlangsung singkat dan terkontrol. Keunggulan ZIU, menurut pria kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat tahun 1951 itu, terletak pada desain alat yang disesuaikan dengan sifat kimia dan fisika bahan yang direaksikan. Karena sifat tiap bahan berbeda maka untuk setiap jenis reaksi diperlukan desain alat yang berbeda.

    Zahlul membagi reaksi pada industri farmasi dalam tujuh kategori. Karenanya, ia membuat tujuh rancangan ZIU. Mulai  ZIU untuk molekul sederhana hingga yang rumit, seperti setoid. Di tiap kelompok reaksi itu, bisa dibuat 40 hingga 50 macam obat. Produk ZIU bisa dipakai mengekstrasi bahan alam untuk bahan baku jamu hingga bahan baku oli sintetis.

    Sebelum ZIU lahir, Zahlul telah memiliki dua paten. Pertama, lapisan khusus baja yang dipakai di Swiss dan zat propoxur, bahan aktif untuk obat anti serangga. ZIU sendiri pada 2000 mendapat rekomendasi Mentri Kesehatan RI untuk diterapkan pada industri farmasi di Indonesia. Sayang, pria kreatif yang hidup di kursi roda sejak kerusakan ginjal pada 1992 itu, awal tahun 2004, menutup mata selamanya (G.A Guritno) --- Sumber: Majalah Gatra, Agustus 2004(Desain Sistem Efisien untuk Produksi Obat/Kimia
sumber : /isidunia.blogspot.com
                 jaist.ac.jp
.
Share this article :