Masyarakat Qatar yang Mendambakan "Rumah"

Home » » Masyarakat Qatar yang Mendambakan "Rumah"

 

(AP Photo)
Modernisasi dunia yang cenderung membuat manusia harus turut memodernisasi dirinya dari
waktu ke waktu ternyata tidak selamanya menjadi kebahagiaan. Timur Tengah, belahan Bumi yang kaya minyak dan pertumbuhan beberapa kota "raksasa dunia" belum dapat menjamin kebahagiaan hidup manusia di dalamnya.
Semisal Doha, ibu kota Qatar sekaligus salah satu simbol modernisasi dan kemewahan di Teluk Persia, ternyata dianggap seperti bukan "rumah" bagi penduduknya.
Doha, kota dengan sumber gas alamnya yang sangat cukup membuat penduduknya hidup sehat, gedung-gedung pencakar langit yang sangat gemerlap, serta dengan Al Jazeera, stasiun televisi berita andalannya, kini dipertanyakan arah masa depannya.
Pertanyaan ini bukan sebuah perdebatan baru bagi penduduk Doha serta rakyat Qatar. Sebagian penduduk merasa pembangunan Doha merupakan eksploitasi terhadap minyak bumi, sebagai sumber daya alam terbesar di Qatar.
Abdul Aziz al-Mahmoud, novelis best seller Qatar, mengatakan, “Wilayah ini tidak muncul karena minyak. Orang-orang hidup di sini, mereka memiliki kesusahan dan kesenangan. Mereka bukan minyak. Minyak ada untuk mengubah hidup kita, tapi orang-orang itu akan selalu hidup di sini.”
Kemewahan Doha bahkan membuat kehidupan sosial warganya serasa mandek di tengah jalan. “Komunitas ini seperti terpecah-pecah. Mereka tidak berbicara satu dengan lainnya. Kita harus membuat panci lebur untuk membuat mereka (penduduk Doha) merasa seperti di rumah,”,kata Mahmoud.
Ia juga menggambarkan interaksi di antara penduduk Doha seperti “permusuhan yang tersembunyi” karena tidak benyawa serta tidak punya rasa memiliki. Ada banyak orang kini lebih nyaman berada di tempat-tempat pemenuhan kebutuhan sosial daripada di sebuah museum Islam.
Ketidaknyamanan jelas disuarakan oleh penduduk asli Qatar yang hanya berjumlah 225.000 jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk sebesar 1,8 juta jiwa.
Perasaan tereksploitasi dari tanah sendiri yang tidak terungkapkan berujung dengan tidak adanya komunikasi dengan penduduk lain. Sejumlah spanduk bertuliskan "Kembalikan Esensi dari Komunitas Kami" terpasang di dekat sebuah desa budaya Katara.
Salah satu warisan budaya Qatar, Suq Waqif adalah sebuah pasar tempat penduduk asli Qatar menjual ikan dan kambing, di mana pada abad lalu hanya dihuni 12.000 jiwa penduduk, termasuk salah satu tempat yang mengalami modernisasi.
Suq Waqif dibangun kembali selama tiga tahun dengan tetap menggunakan bahan-bahan yang serupa dengan aslinya, namun hasilnya pasar modern yang menjual berbagai suvenir dengan berbagai restoran modern.
Modernisasi kota berjuluk Kota Pelajar Dunia tersebut dapat dilihat dari bus-bus yang ditempeli iklan bertuliskan 'Dari Qatar menuju Dunia yang Lebih Hijau. Bahkan, kota ini telah menarik enam universitas di Amerika untuk membuka cabangnya di sana.
Permasalahan ketidaknyamanan penduduk asli Qatar dinilai Seif Salmawy, Direktur Bloomsbury di Qatar, hanya karena penduduk asli tidak diikutsertakan. “Saya rasa mereka (penduduk asli Qatar) berharap seluruh komponen besar ini mengikutsertakan penduduk asli atau mementingkan kehidupan nasional,” katanya.
Tak seperti Dubai dan Arab Saudi, Qatar memiliki visi yang lebih jauh untuk masa depannya. Hal ini diungkapkan Salman Shaikh, Direktur Pusat Brookings Doha. Ia membandingkan kondisi Doha dengan dua negara kaya tetangganya, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
Menurutnya, gemerlap Dubai hanya sebatas bayangan karena Dubai tidak pernah memiliki uang, sedangkan Arab Saudi yang masih bersikap konservatif tidak memiliki ambisi.
Bermodalkan gas dan minyak bumi, pemerintah Qatar menyebut negara mereka 'bumi di Mars'. Doha yang dianggap penduduknya "tereksploitasi" diproyeksikan menjadi kekuatan baru dunia.
Penyelenggaraan festival film berkelas dunia, Piala Dunia 2022, pembangunan bandara baru, dan sistem transportasi bawah tanah, penyediaan menu di kedai kopi dalam bahasa Inggris, Arab, Korea, dan Jepang, jadi langkah nyata sebuah pembangunan bumi baru atau 'bumi di Mars' yang sedang dinantikan dunia. Apakah artinya masyarakat Qatar bak masyarakat bumi yang terisolasi di Mars? (New York Times/CR-30)
sumber : sinarharapan.co.id
.
Share this article :