Kelahiran dan Masa Pertumbuhan

Home » » Kelahiran dan Masa Pertumbuhan
  1. Saya dilahirkan di kota Hilb, Suria pada tahun 1925 M, berdasarkan apa yang tertulis dalam paspor, bertepatan dengan tahun 1344 H. Usia saya sekarang 73 tahun [1]. Ketika berusia kira-kira 10 tahun, saya masuk madrasa, khusus untuk belajar membaca dan menulis.
    Saya menjadi murid di madrasah Daar Huffadz selama 5 tahun, dan selama itu pula saya menghafal Al-Qur’an dengan baik sesuai dengan hukum-hukum tajwidnya.
    Di Hilb, saya masuk madrasah yang bernama Kulliyah Asy-Syar’iyyah At-Tajhiziyyah yang sekarang telah berganti menjadi Tsanawiyah Syar’iyyah [2] yang berada di bawah koordinasi Departemen Waqaf [3]. Madrasa ini mengajarkan ilmu-ilmu syari’ah seperti Tafsir, Fiqh dengan madzhab Imam Abu Hanifah, Nahwu, Shorof, Tarikh, Hadits dan ilmu-ilmu hadits dll. Selain itu, saya juga belajar ilmu-ilmu lain yang pernah dikuasai oleh orang-orang muslim dulu, seperti Ilmu Al-Jabar (Aritmatika).
    Dan seingat saya, saya pernah belajar ilmu tauhid dari satu kitab yang berjudul Al-Hushun Al-Hamidiyyah. Suatu kitab yang terfokus hanya pada pembahasan tentang tauhid Rububiyyah dan penetapan bahwa alam ini memiliki pencipta dan Rabb. Dan ternyata kemudian, menjadi jelas bagi saya bahwa hal itu adalah suatu kesalahan yang banyak menimpa orang-orang Islam, para penulis, perguruan-perguruan tinggi dan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu syari’at. Karena orang-orang musyrik yang memerangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengakaui (Tauhid Rububiyyah) bahwa Allah-lah Yang Menciptakan mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
    وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ (87) سورة الزخرف
    “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah )?” (QS. Az-Zukhruf: 87).
    Adapun Tauhid Uluhiyyah (pengesaan Allah) yang menjadi dasar keselamatan seorang muslim, tidak saya pelajari, bahkan saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang itu. Kenyataan yang sama, juga di alami oleh madrasah dan perguruan tinggi lain yang mengajarkannya dan tidak dipelajari sama sekali oleh para siswa.
    Sementara Allah Azza wa Jalla memerintahkan seluruh rasul untuk mengajak manusia ke tauhid ini (Tauhid Uluhiyyah). Penutup para nabi, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mendakwahi kaumnya kepada tauhid uluhiyyah ini, tetapi ternyata mereka menolak, berpaling dan menyombongkan diri, sebagaimana dikisahkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang mereka:
    {إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ} (35) سورة الصافات
    “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri” (QS. Ash-Shoffat: 35).
    Sikap sombong ini muncul, karena orang-orang musyrik arab itu mengetahui maknanya, bahwa orang yang menyebutkan kalimat ini tidak boleh memohon kepada selain Allah Azza wa Jalla. Sementara itu, ada sebagian orang-orang muslim mengucakan kalimat ini, tetapi mereka justru memohon kepada selain Allah Azza wa Jalla, sehingga karena perbuatan itu mereka telah merusak kalimat tauhid ini.
    Adapun Tauhid Shifat (Tauhid Asma’ wa Shifat), madrasah ini sebagaimana madrasah-madrasah lain di negera Islam –dan ini memprihatinkan- telah menta’wilkan (menafsirkan) ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid shifat.
    Saya ingat, bahwa madrasah ini telah menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:
    {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} (5) سورة طـه
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thoha: 5).
    Dimana mereka mengartikan kalimat istawa (bersemayam) dengan mengartikan istaula’ (menguasai) dengan berpedoman pada kata-kata seorang penyair
    قد استوى بشر على العراق #### من غير سيف ودم مهراق
    Sekelompok telah menguasai Iraq
    Tanpa pedang dan pertumpahan darah
    Ibnu Al-Jauzi berkata:”Pelantun sya’ir ini tidak dikenal (diketahui)”. Ulama lain mengatakan bahwa penyairnya adalah seorang yang beragama Nashrani.
    Sementara itu, pengertian kata istawa’ terdapat dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:
    {… ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء …} (29) سورة البقرة
    “Kemudian Ia beristawa’ di langit…”(QS. Al-Baqoroh: 29). [4]
    Mujahid dan Abu ‘Aliyyah berkata:”Yang dimaksud dengan kata istawa’ adalah di atas dan tinggi”. [5]
    Jadi, apakah pantas seorang muslim meninggalkan perkataan seorang tabi’in dalam kitab Shahih Bukhori, kemudian mengambil perkataan seorang penyair yang tidak dikenal? Ini adalah ta’wil salah yang mengingkari ketinggian (keagungan) Allah Azza wa Jalla yang bersemayam di atas ‘Arsy dan juga bertentangan dengan aqidah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan imam-imam lainnya.
    Imam Abu Hanifah, yang merupakan Imam madzhab yang mereka pelajari berkata:”Barangsiapa yang mengatakan:’Saya tidak tahu apakah Rabb-ku di langit atau di bumi’, maka ia telah kafir. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
    {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} (5) سورة طـه
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thoha: 5).
    Dan ‘Arsy Allah Azza wa Jalla di atas tujuh lapis langit. [6]
    Saya berhasil mendapatkan ijazah dan lulus SMA pada tahun 1948 M. Saya juga lulus seleksi untuk dikirim ke perguruan tinggi Al-Azhar, tetapi saya tidak berangkat karena alasan kesehatan. Kemudian saya masuk Madrasah Mu’allimin di Hilb dan bekerja sebagai guru selama kira-kira 29 tahun untuk kemudian meninggalkan profesi itu.
    Setelah meninggalkan profesi guru, saya ke Mekkah pada tahun 1399 H, untuk melaksanakan ‘umroh dan berkenalan dengan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz –rahimahullah-. Ketika beliau mengetahui bahwa aqidahku adalah aqidah salaf beliau mengangkatku sebagai mengajar di Masjidil Haram pada waktu hajian. Ketika musim haji selesai, beliau mengirimku ke Yordania untuk tugas dakwah.
    Kemudian saya berangkat ke sana dan tinggal di kota Rumtsa, di masjid Jami’ Sholahuddin. Saya ditunjuk menjadi imam, khotib dan guru Al-Qur’an.Terkadang saya mengunjungi sekolah-sekolah persiapan dan mengarahkan mereka untuk berpegang teguh kepada aqidah tauhid, dan merekapun dengan senang hati menerima seruan ini.
    Pada bulan Ramadlon tahun 1400 H, saya kembali melaksanakan ‘umroh ke Mekkah, dan tinggal di sana hingga musim haji. Saya berkenalan dengan salah seorang murid Daarul Hadits Al-Khairiyyah di Mekkah. Ia memintaku untuk mengajar di madrasah mereka, karena kebetulan mereka sedang membutuhkan guru-guru, terutama guru dalam bidang study Mustholahul Hadits (Ilmu Hadits). Lalu saya menghubungi kepala sekolahnya dan menyanggupi permintaan saya, lalu meminta agar saya mengambil surat rekomendasi dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz. Lalu beliau menulis surat dan meminta kepada kepala sekolah itu agar mengangkat saya sebagai salah seorang guru di madrasah yang ia pimpin. Maka sayapun mengajar tafsir, tauhid, Al-Qur’anul Kariim dan ilmu-ilmu lain. (Bersambung, insyaAllah).
    Catatan Kaki:
    [1] Ketika Syaikh hafizahullah menulis risalah ini.(Ibnsarijan).
    [2] Tsanawiyah di Jazirah Arab bukanlah setingkat SMP di negeri kita (Indonesia). Tsanawiyah di negeri ini (Jazirah Arab) adalah setingkat SMA. (IbnSarijan).
    [3] Di Indonesia DEPAG. (IbnSarijan)
    [4] Dalam terjemahan Al-Qur’an DEPAG sbb: “…dan Dia berkehendak (menciptakan) langit…” (QS. Al-Baqorah: 29), jelas pengartian yang demikian telah menyalahi pemahaman generasi terbaik ummat ini (baca: Salafus Sholih), (IbnSarijan).
    [5] Lihat Shahih Bukhori 1/175.
    [6] Lihat Syarh Aqidah Thohawiyyah, hal: 322.
  2. Mengikuti Thariqat Naqsabandiyah
    Sejak kecil saya selalu mengikuti pelajaran dan halaqoh dzikir di masjid. Suatu ketika, pemimpin tarekat Naksabandiyyah melihatku, lalu ia mengajakku ke pojok masjid dan memberiku wirid-wirid tarekat Naksabandiyyah. Namun, karena usiaku yang masih belia, saya belum mampu membaca wirid-wirid itu sesuai dengan petunjuknya, tetapi saya tetap mengikuti pelajaran mereka bersama teman-teman saya dari pojokan masjid.
    Saya mendengar lantunan qasidah dan nyanyian mereka, dan ketika sampai pada penyebutan nama syaikh mereka, dengan serta merta mereka meninggikan dan mengeraskan suara. Teriakan keras di tengah malam ini sangat menggangguku dan membuatku takut dan merinding.
    Dan ketika usiaku semakin menajak dewasa, salah seorang kerabat mengajakku ke masjid di daerah kami untuk mengikuti acara yang mereka namakan al-khatam. Kami duduk melingkar, kemudian salah seorang syaikh membagikan kepada kami batu-batu kecil dan berkata:”Al-Fatihah Asy-Syarif dan Al-Ikhlash Asy-Syarif”.
    Lalu dengan jumlah batu-batu kecil itu kami membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlash, istighfar dan sholawat dengan bentuk bacaan sholawat yang telah mereka hafal.
    Diantara bentuk sholawat yang saya ingat adalah
    اللّهُمَ صَلِّ عَلىَ محَُمَّدٍ عَدَدَ الدَّوَابِّ
    “Ya Allah, berilah sholawat untuk Muhammad sebanyak binatang melata”
    Mereka membaca sholwat ini dengan suara keras di akhir dzikir. Dan selanjutnya, syaikh yang ditugaskan itu menutupnya dengan ucapan rabithah syarifah (ikatan mulia). Mereka mengucapkannya dengan tujuan membayangkan wujud syaikhnya saat menyebut namanya, karena syaikh itulah –menurut mereka- yang mengikat mereka dengan Allah Azza wa Jalla.
    Mereka merendahkan suara kemudian berteriak dan terbuai dalam kekhusyu’an, saat itu saya melihat salah seorang diantara mereka melompat ke atas kepala orang-orang yang hadir dari tempat yang tinggi karena kesedihan yang mendalam bagaikan permainan sulap. Saya heran dengan tingkah dan suara yang keras ini ketika menyebut nama syaikh tarekat mereka.
    Suatu ketika saya berkunjung ke rumah salah seorang kerabatku dan mendengarkan lantunan nyanyian dari kelompok tarekat Naksabandiyyah, yang berbunyi:
    دَلُوْنِيْ بِاللهِ دَلُوْنِيْ # # # # # عَلَى شَيْخِ النَّصْرِ دَلُوْنِي
    Tunjuki aku, demi Allah, tunjuki aku
    Kepada syaikh penolong, tunjuki aku
    اللَّي يُبْرِي العَلِيْلَ ##### وَيَشْفِي المَجْنُوْنَا
    Syaikh yang menyembuhkan orang yang sakit
    Dan menyembuhkan orang yang gila
    Saya berdiri di depan pintu rumah, dan belum sempat masuk ke dalam, lalu berkata kepada tuan rumah:”Apakah syaikh itu yang menyebabkan orang yang sakit dan orang gila?”. Ia menjawab:”Ya, yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla mukjizat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit sopak, tetapi ia tetap mengatakan “dengan izin Allah”.
    Kemudian ia berkata kepadaku:”Dan syaikh kami juga melakukannya dengan izin Allah”. Lalu saya menyanggahnya:”Tetapi mengapa Anda tadi tidak mengatakannya ‘dengan izin Allah’?”.
    Karena penyembuh yang sebenarnya adalah Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana perkataan Ibrohim ‘alaihi salam dalam Al-Qur’an:
    {وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء
    “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).
  3. Beberapa Catatan Tentang Thariqat Naqsabandiyah
    1. Ciri khusus tarekat ini adalah wirid-wirid mereka yang tidak dikeraskan. Jadi tarekat ini tidak mengandung tari-tarian dan tepuk tangan sebagaimana pada tarekat-tarekat lainnya.
    2. Dzikir-dzikir yang dilakukan secara berkelompok dan pembagian batu-batu kecil untuk setiap orang, lalu mereka diperintahkan membaca sesuatu dan meletakkan batu-batu kecil di dalam gelas berisi air untuk diminum dengan niat kesembuhan, semuanya itu adalah termasuk perbuatan bid’ah yang pernah diingkari oleh salah seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika masuk ke dalam masjid dan melihat sekelompok orang yang duduk melingkar dan ditangan mereka terdapat batu-batu kecil. Salah seorang diantara mereka berkata:”Bertasbihlah kalian sebanyak batu-batu kecil yang ada di tangan kalian!”.
    Beliau mencela perbuatan mereka sambil berkata:”Perbuatan apa yang kalian lakukan ini?”.Mereka menjawab:’Wahai Abu Abdurrahman, kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan batu-batu ini”. Lalu beliau berkata:”Hitunglah dosa-dosa kalian, dan saya menjamin bahwa segala kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celakalah kalian wahai umat Muhammad, mengapa begitu cepat kalian binasa? Sahabat-sahabat Rasul kalian masih banyak yang masih hidup, baju mereka belum hancur, perabot mereka belum pecah, dan demi jiwaku ada di tangan-Nya. Apakah petunjuk kalian lebih baik dari petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan?!” [1]
    Jika kita menggunakan logika yang murni, apakah mungkin petunjuk mereka yang lebih baik dari pada petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka telah mendapatkan taufik (petunjuk) untuk melaksanakan suatu amalan yang tidak diketahui oleh beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam?, atau mungkin mereka yang sesat?. Kemungkinan pertama jelas salah, karena tidak ada seorangpun yang lebih baik dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, berarti tersisa kemungkinan yang terakhir.
    3. Rabithah Syarifah (ikatan mulia). Istilah ini menurut mereka adalah gambaran wujud syaikh, seolah-olah ia datang mengawasi mereka ketika namanya disebut dalam dzikir. Sehingga kita dapat melihat bagaimana mereka melakukannya dengan penuh kekhusyu’an dan berteriak-teriak dengan suara yang tidak jelas. Dan inilah derajat ihsan yang sebenarnya, yang menurut mereka dijelaskan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
    الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه, فإن لم تكن تراه فإنه يراك (رواه مسلم).
    “Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu” (HR. Muslim).
    Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk agar kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak meliaht-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita. Inilah derajat ihsan yang ditujukan hanya kepada Allah Azza wa jalla semata. Tetapi mereka justru mempersembahkan ihsan itu untuk syaikh mereka. Dan ini termasuk perbuatan syirik yang dilarang Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
    {وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا …} (36) سورة النساء
    “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun…”(QS. An-Nisa: 36).
    Jadi, dzikir itu adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla semata dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Walaupun ia malaikat, seorang Rasul maupun seorang syaikh yang justru kedudukannya di bawah para Rasul. Sehingga larangan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan mereka menjadi lebih jelas. Sebenarnya penggambaran syaikh mereka ketika menyebutkan namanya juga terdapat dalam tarekat Syadzaliyyah.
    4. Teriakan keras yang mereka lakukan ketika menyebut nama syaikh mereka atau ketika memohon pertolongan kepada selain Allah, seperti kepada ahlul bait dan orang-orang yang dekat kepada Allah Azza wa Jalla adalah termasuk perbuatan mungkar bahkan termasuk perbuatan syirik yang sangat dilarang.
    Berteriak dengan suara keras ketika menyebut nama Allah Azza wa Jalla adalah suatu kemungkaran, karena bertentangan dengan firman Allah:
    {إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ …} (2) سورة الأنفال
    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”(QS. Al-Anfal: 2).
    Juga bertentangan dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
    أيها الناس اربعوا على أنفسكم, فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا, إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم (رواه البخاري و مسلم).
    “Wahai manusia sekalian, kasihanilah diri kalian (pelan-pelan dalam berdo’a) karena kalian tidak memanjatkan do’a kepada Dzat yang tuli dan Dzat yang tiada, tetapi kalian memanjatkan do’a kpada Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia selalu bersamamu” (HR. Bukhori; Muslim).
    Bila menyebut nama Allah Azza wa Jalla dengan suara yang keras itu dilarang, maka berteriak, khusyu’ dan menangis ketika menyebut nama syaikh mereka termasuk kemungkaran yang lebih besar. Karena perbuatan ini termasuk bentuk “kegembiraan” yang digambarkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang keadaan orang-orang musyrik dalam firman-Nya:
    {وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ} (45) سورة الزمر
    “Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati”(QS. Az-Zumar: 45).
    5. Sikap ghuluw terhadap tarekat serta keyakinan bahwa syaikh mereka itulah yang dapat menyembuhkan orang yang sakit. Padahal Allah Azza wa Jalla menyebutkan perkataan Nabi Ibrohim dalam Al-Qur’an:
    {وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء
    “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).
    Demikian juga dengan kisah seorang pemuda mukmin yang berdo’a kepada Allah untuk orang-orang yang sakit, lalu Allah Azza wa Jalla menyembuhkan mereka, ketika seorang kerabat raja berkata kepadanya:”Kamu akan mendapatkan harta yang banyak ini, jika engkau dapat menyembuhkanku”. Kemudian pemuda itu berkata:”Saya tidak dapat menyembuhkan seseoang, karena yang dapat menyembuhkan itu adalah Allah Azza wa Jalla, jika engkau beriman kepada Allah Azza wa Jalla maka saya akan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dan menyembuhkanmu” (HR. Muslim).
    6. Penyebutan lafadz tunggal “Allah” ribuan kali adalah wirid mereka. Padahal dzikir dengan menggunakan lafadz “Allah” tidak memiliki landasan syar’I, baik dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in, maupun dari para imam-imam mujtahidin. Perbuatan ini diadopsi dari perbuatan bid’ah orang-orang shufi. Karena lafadz “Allah” dalam bahasa arab adalah mubtada’ yang tidak mengandung khobar, sehingga kalimat itu menjadi tidak lengkap.
    Seandainya seseorang menyebut nama “Umar” berkali-kali dan kita bertanya kepadanya:”Apa yang Anda inginkan dari Umar?”. Kemudian orang tersebut tidak menjawab apa-apa kecuali dengan menyebutkan nama “Umar, Umar…” berkali-kali, maka kita tidak akan mengatakan bahwa ia adalah orang gila, tidak memahami apa yang ia ucapkan.
    Orang-orang shufi ketika berdzikir dengan menggunakan lafadz tunggal tersebut, berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla:
    {… قُلِ اللّهُ …} (91) سورة الأنعام
    “Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91).
    Seandainya mereka membaca penggalan ayat sebelumnya, tentu mereka akan paham, bahwa maksud ayat itu adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab itu”.
    Adapun nash ayat yang dimaksud adalah firman-Nya:
    {وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ} (91) سورة الأنعام
    Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91).
    Maksudnya adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab Taurat itu”.
    Catatan Kaki:
    [1] HR. Ad-Darimi dan Ath-Thabariy. Hadits Hasan.
    sumber : ainuamri.wordpress.com
.
Share this article :