Haluan Aswaja NU

Home » , » Haluan Aswaja NU
sumber : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=179319:haluan-aswaja-nu&catid=25:artikel&Itemid=44

ASHARI TAMBUNAN

Para pendiri NU yang diorganisir oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Kholil Bangkalan, dan ulama nusantara lainnya ternyata telah berpikir begitu maju melampaui masa mereka sendiri. Di mana gagasan utama manhaj pengorganisasian NU yang mereka dirikan ditetapkan berhaluan Islam keagamaan Ahl as-Sunnah wa al-Ja­ma­ah (Aswaja).

Nahdlatul Ulama (NU) sejak berdirinya merupakan organisasi sosial ke­agamaan yang tidak pernah lepas dari corak keagamaan Aswaja atau Sunni. Organisasi ini secara tegas memproklamirkan dirinya se­­ba­gai penganut setia paham keagamaan Aswaja sebagai pola kehidupannya. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh, para penggagas berdirinya or­­ga­­ni­sasi ini memiliki jaringan mata rantai yang kuat dengan para ulama Hara­main pada masa kekuasaan Turki Utsmani yang notabene berhaluan Sunni.

Aswaja pada hakikatnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu sesungguhnya secara embrional Aswaja sudah muncul sejak Islam itu sendiri. Menurut terminologi ini, sebenarnya penganut paham Sunni tidak hanya NU saja, melainkan hampir semua umat Islam. Namun demikian, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggariskan batasan terminologi Aswaja sebagaimana tertulis dalam Qanun Asasi sebagai pengikut salah satu dari empat imam mazhab fikih, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i.

Ajaran Aswaja yang dikembangkan oleh NU berporos pada tiga ajaran pokok, yaitu dalam bidang ‘aqidah mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab fikih yang empat dan dalam bidang tasawuf mengikuti Abu Hamid al-Ghazali dan al-Juwaini. Hal ini tentu berbeda dengan kelompok Islam modernis yang tidak membenarkan segala bentuk tarekat yang mengajarkan asketisme dan pengulangan bacaan-bacaan dzikir. Sebaliknya, para kiyai menganggap bahwa praktek-praktek tarekat merupakan salah satu inti ajaran dan praktek ritual dalam Islam.

Formulasi pemahaman keagamaan Aswaja sebagaimana yang dikembangkan NU menyangkut tiga bidang, yaitu Aqidah, Fikih dan Tasawuf, mengidealkan pada kerangka pemahaman keagamaan yang komprehensif. Ketiganya merupakan satu kesatuan sistem ajaran yang integral dan saling mengisi.



Fikrah Nahdliyyah
Paradigma keagamaan Ahl as-Sunnah wa al-Ja­ma­ah yang dianut oleh NU ini dirumuskan para ulama ke dalam fikrah nahdliyyah (landasan berpikir) berikut:  moderat (mutawassith), adil (i’tidal), seimbang (tawazun), musyawarah (tasyawur), dan toleransi (tasamuh) dan sebagainya. Istilah-istilah ini begitu Qurani dan berangkat dari nilai-nilai kehidupan Islam yang begitu mulia serta sangat relevan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama sepanjang sejarah. Sebab, di dalamnya mengandung genuine Islam yang rahmatan lil ’alamin (berlaku universal).

Mutawassith (tawassuth) atau garis tengah adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual, sedangkan i’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi tawassuth dan i’tidal merupakan pengertian terhadap Islam yang tepat dan benar, kemudian dibawakan atau ditampilkan di tengah-tengah masyarakat dengan metodologi yang tepat pula. Dengan kata lain tawassuth dan i’tidal sebagai suatu sikap yang mengambil posisi di tengah, tetapi jalannya lurus.

Dalam implementasinya di tengah-tengah masyarakat NU menggunakan tiga pendekatan: Pertama, Fikih Ahkam, dalam rangka menentukan hukum fikih dan ini berlaku bagi umat yang sudah siap melakukan hukum positif Islam (umat ijabah). Jadi, ini untuk mereka yang sudah mapan keislamannya. Kedua fikih dakwah, dalam rangka mengembangkan agama di kalangan masyarakat luas yang masih awam terhadap Islam. Pengembangannya lewat bimbingan dan pembinaan (guidance and counceling) secara terus menerus. Pendekatan dakwah ini, untuk memperbaiki orang dari kejelekannya. Ketiga, fikih siyasah, bagaimana membawakan hubungan agama dengan politik, dan kekuasaan negara serta hubungan internasional. Pendekatan politik ini, adalah cara menerapkan Islam sebaik-baiknya dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan sehingga tidak menimbulkan kontradiksi yang tidak diperlukan.

Menegakkan ta’adul dalam Islam adalah suatu kewajiban dalam seluruh tingkat dan aspek kehidupannya. Prinsip ini mengandung makna ketidakberpihakan yang berat sebelah atau melakukan perbedaan yang inkontitusional menurut hukum yang berlaku. Keadilan juga merupakan keselarasan sikap antara pandangan dan kenyataan.

Tawazun atau keseimbangan menyiratkan sikap dan gerakan moderasi. Sikap tengah ini mempunyai komitmen kepada masalah keadilan, kemanusiaan dan persamaan dan bukan berarti tidak mempunyai pendapat. Artinya sikap NU tegas, tetapi tidak keras – sebab senantiasa berpihak kepada keadilan, hanya saja berpihaknya diatur agar tidak merugikan yang lain. Tawazun merupakan suatu bentuk pandangan yang melakukan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak ekstrim dan tidak liberal.

Musyawarah (tasyawur) dan toleransi (tasamuh) adalah bagian dari nilai etika sosial Islami. Umat Islam harus menampilkan wajah damai dan mewadahi upaya pencarian solusi terhadap seluruh persoalan yang dihadapi masyarakat, negara dan agama. Ini adalah gerakan moral yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan yang majemuk.

Musyawarah dalam Islam tidak hanya dinilai sebagai prosedur pengambilan keputusan yang direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas keagamaan (wa syawirhum fi al-amr: Ali Imran ayat 159). Dengan bermusyawarah akan tercipta kehidupan demokratis, terbuka dan menganggap orang lain dapat memberikan alternatif dalam memutuskan persoalan yang dihadapi sehingga terjalin kehidupan yang dinamis.

Dengan tasamuh umat Islam diharapkan dapat berpikir dan bersikap tidak melakukan diskriminasi atas dasar perbedaan suku bangsa, harta kekayaan, status sosial, dan atribut-atribut keduniaan lainnya. Itulah sebabnya Islam mencabut akar-akar fanatisme Jahiliyah yang saling berbangga diri dengan agama (keyakinan), keturunan, dan ras.

Melalui prinsip-prinsip tersebut, NU selalu mengambil posisi sikap akomodatif, toleran dan menghindari sikap ekstrim dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun. Sebab paradigma Aswaja di sini mencerminkan sikap NU yang selalu dikalkulasikan atas dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah. Inilah nilai-nilai yang melekat di tubuh NU yang menjadi penilaian dan pencitraan Islam rahmatan lil ‘alamin di mata dunia.



Tantangan Nahdliyyin di Sumut
Seperti diketahui, sejak agama Islam masuk ke Sumatera Utara sampai awal abad ke-21 dewasa ini, umat Islam di daerah ini hanya mengenal paham Ahlu Sunnah wa al-Jamaah dengan corak pemahaman keagamaan tradisional. Corak pemahaman Umat Islam sangat akrab dengan pengajaran sifat dua puluh (konsep tauhid Abu Hasan Al-Asy’ari), beribadah dengan mengikuti mazhab besar Islam (Imam Syafi`i), serta mengamalkan tasawuf (tariqat mu’tabarah). Sampai sekarang umat Islam Sumatera Utara yang disebut “kaum tua” ini masih merupakan mayoritas menganut paham Aswaja.

Namun sejak awal abad 20 pengikut Aswaja mulai digugat oleh kelompok sempalan. Aqidah dan pengamalan mereka diklaim tidak lurus, seolah sarat kesyirikan dan bid’ah, sangat tradisional, tidak peduli perkembangan sains dan teknologi, buta politik, tidak memiliki gairah memajukan dunia, dan banyak lagi tuduhan negatif lainnya.

Pada di sisi lain pengikut Aswaja juga banyak mengalami persoalan internal. Sebagian besar mereka tidak paham doktrin Aswaja, mereka hanya sebagai pewaris kultur Aswaja tanpa disertai pengetahuan yang memadai. Basis organisasi dan politik pengikut Aswaja ini juga tidak kukuh, karena tidak memiliki pemimpin kharismatik dan tidak dikelola dengan manejemen yang rapi. Mayoritas pengikut Aswaja -- yang mayoritas tinggal di pedesaan -- juga berada pada garis kemiskinan, tidak memiliki akses yang memadai pada sumber-sumber ekonomi dsb.

Sepertinya, pengikut Aswaja di daerah Sumut ini tidak berdaya dan tidak memiliki daya tawar untuk melawan arus ideologi, faham keagamaan, dan gerakan politik yang terus menyebar agitasi. Karena ketidakberdayaan itu, mereka seolah bungkam seribu bahasa; pengikut Aswaja menjadi silent majority yang suaranya nyaris tidak terdengar, dan aspirasinya lenyap di tengah hiruk-pikuk modernisasi; mereka ditinggalkan setelah kelompok-kelompok kepentingan mendapatkan apa yang dicita-citakannya.

Maka di usia NU yang ke-85 ini NU harus berbenah diri dan kembali ke Khittah tahun 1926 untuk berkhidmat kepada umat dan bangsa melalui tradisi ulama dan pesantren. Lahan garapan NU sejauh ini sudah sangat jelas, para ustadz pesantren, guru madrasah, pemberdayaan masjid dan lainnya. Program yang disusun hendaknya selalu merujuk kepada kebutuhan warga NU dan masyarakat dengan membangun sinergi bersama lembaga dan banom di dalam NU.

Selama ini ada kesan bahwa NU bukan lagi organisasinya anggota, tetapi organisasi para pengurus. Anggapan itu terjadi karena banyak fungsionaris organisasi yang tidak berkhidmat pada umat, tetapi hanya menggunakan organisasi untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Kalaupun ada perilaku sejumlah orang yang seperti itu tetapi kehadiran NU sebagai organisasi milik warga, milik umat tidak bisa dipungkiri. Bisa kita saksikan setiap menjelang ada kegiatan besar, baik Harlah, Munas Alim Ulama apalagi Muktamar, hampir seluruh warga nahdliyin baik yang pengurus, para ulama, para warga biasa hingga para simpatisannya berpikir keras, bersuara pentingnya perbaikan dan penataan NU untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik.

Biasanya setahun menjelang muktamar berbagai pemikiran ke-NU-an telah bermunculan, baik melalui diskusi-diskusi, seminar hingga lokakarya, hal itu terjadi di semua tingkatan, mulai anak cabang di kecamatan, di level cabang, wilayah hingga pengurus besar. Semuanya peduli terhadap masa depan NU, mereka berpikir dan bertindak tanpa disuruh dan tentu saja tidak bisa dilarang, tetapi semuanya sepakat untuk tetap mempertahankan kebesaran NU. Semuanya itu menunjukkan bahwa komitmen warga NU terhadap NU masih sangat besar. Memang perkembangan ini sempat menggusarkan beberapa pengurus NU, tetapi perkembangan ini sebenarnya sangat positif untuk mengukur komitmen mereka pada organisasi ini.


Harapan di  Usia 85 Tahun
Pada dasarnya muhasabah Nahdliyyin tahun 2011 ini meliputi tiga hal besar yaitu: Pertama, menegaskan NU sebagai organisasi pembela Aswaja, sebagai sebuah madzhab Islam yang luas dan moderat, yang telah berkelindan dengan nilai kenusantaraan, sehingga memiliki akar dengan tradisi dan budaya setempat. Hal itu yang membuat agama ini diterima sebagai warisan bukan sebagai cangkokan.

Kedua, karena Islam Aswaja memiliki akar kultural maka dengan sendirinya memiliki spirit kebangsaan yang sangat kuat, sehingga keduanya susah dipisahkan. Karena itu, ketiga, membenahi NU itu sama dengan membenahi negara dan bangsa ini secara keseluruhan, apalagi sebagian besar warga negara Indonesia adalah warga NU.

Dengan posisi sosial seperti itu maka wajar kalau NU selalu menjadi pemikiran dan perbincangan warganya maupun pihak lain, karena NU memiliki kekuatan yang nyata dalam kehidupan bangsa ini. Hanya saja belakangan ini, ketika sistem politik liberal diterapkan, yang berakibat memudarkan seluruh ikatan sosial dan tata nilai yang selama ini berkembang membuat semua organisasi dan institusi sosial yang ada mengalami kepudaran, termasuk NU. Mengingat adanya kondisi seperti itu kalangan NU tidak berhenti mengingatkan akan bahaya tersebut, yang akan menggerogoti komitmen keislaman dan ke-NU-an termasuk komitmen kebangsaan.

Semuanya ini telah terjadi karena itu kalangan ulama dan intelektual terus-menerus mengingatkan bahaya ini, tidak hanya untuk menyelamatkan NU tetapi juga untuk menyelamatkan eksistensi bangsa Indonesia. Bila bangsa ini kehilangan karakter, maka akan kehilangan identitas, bila telah kehilangan identitas, maka akan kehilangan kedaulatan, kekuasaan dan kesejahteraan, sebab semuanya akan direbut oleh kekuatan lain  yang memang ingin menjajah kembali negeri ini baik secara mental maupun secara politik.

Penulis adalah Ketua Wilayah Nahdlatul Ulama Sumatera Utara
.
Share this article :