ASHARI TAMBUNAN
Para pendiri NU yang diorganisir oleh Hadratus Syaikh Hasyim
Asy’ari, KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Kholil
Bangkalan, dan ulama nusantara lainnya ternyata telah berpikir begitu
maju melampaui masa mereka sendiri. Di mana gagasan utama manhaj
pengorganisasian NU yang mereka dirikan ditetapkan berhaluan Islam
keagamaan Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja).
Nahdlatul Ulama
(NU) sejak berdirinya merupakan organisasi sosial keagamaan yang tidak
pernah lepas dari corak keagamaan Aswaja atau Sunni. Organisasi ini
secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham
keagamaan Aswaja sebagai pola kehidupannya. Apalagi jika ditelusuri
lebih jauh, para penggagas berdirinya organisasi ini memiliki
jaringan mata rantai yang kuat dengan para ulama Haramain pada masa
kekuasaan Turki Utsmani yang notabene berhaluan Sunni.
Aswaja
pada hakikatnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya. Oleh karena itu sesungguhnya secara embrional Aswaja
sudah muncul sejak Islam itu sendiri. Menurut terminologi ini,
sebenarnya penganut paham Sunni tidak hanya NU saja, melainkan hampir
semua umat Islam. Namun demikian, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari
menggariskan batasan terminologi Aswaja sebagaimana tertulis dalam Qanun
Asasi sebagai pengikut salah satu dari empat imam mazhab fikih, yaitu
Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i.
Ajaran Aswaja yang
dikembangkan oleh NU berporos pada tiga ajaran pokok, yaitu dalam bidang
‘aqidah mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi,
dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab fikih yang empat dan
dalam bidang tasawuf mengikuti Abu Hamid al-Ghazali dan al-Juwaini. Hal
ini tentu berbeda dengan kelompok Islam modernis yang tidak membenarkan
segala bentuk tarekat yang mengajarkan asketisme dan pengulangan
bacaan-bacaan dzikir. Sebaliknya, para kiyai menganggap bahwa
praktek-praktek tarekat merupakan salah satu inti ajaran dan praktek
ritual dalam Islam.
Formulasi pemahaman keagamaan Aswaja
sebagaimana yang dikembangkan NU menyangkut tiga bidang, yaitu Aqidah,
Fikih dan Tasawuf, mengidealkan pada kerangka pemahaman keagamaan yang
komprehensif. Ketiganya merupakan satu kesatuan sistem ajaran yang
integral dan saling mengisi.
Fikrah Nahdliyyah
Paradigma
keagamaan Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah yang dianut oleh NU ini
dirumuskan para ulama ke dalam fikrah nahdliyyah (landasan berpikir)
berikut: moderat (mutawassith), adil (i’tidal), seimbang (tawazun),
musyawarah (tasyawur), dan toleransi (tasamuh) dan sebagainya.
Istilah-istilah ini begitu Qurani dan berangkat dari nilai-nilai
kehidupan Islam yang begitu mulia serta sangat relevan dikembangkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama sepanjang sejarah.
Sebab, di dalamnya mengandung genuine Islam yang rahmatan lil ’alamin
(berlaku universal).
Mutawassith (tawassuth) atau garis tengah
adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual,
sedangkan i’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi
tawassuth dan i’tidal merupakan pengertian terhadap Islam yang tepat dan
benar, kemudian dibawakan atau ditampilkan di tengah-tengah masyarakat
dengan metodologi yang tepat pula. Dengan kata lain tawassuth dan
i’tidal sebagai suatu sikap yang mengambil posisi di tengah, tetapi
jalannya lurus.
Dalam implementasinya di tengah-tengah masyarakat
NU menggunakan tiga pendekatan: Pertama, Fikih Ahkam, dalam rangka
menentukan hukum fikih dan ini berlaku bagi umat yang sudah siap
melakukan hukum positif Islam (umat ijabah). Jadi, ini untuk mereka yang
sudah mapan keislamannya. Kedua fikih dakwah, dalam rangka
mengembangkan agama di kalangan masyarakat luas yang masih awam terhadap
Islam. Pengembangannya lewat bimbingan dan pembinaan (guidance and
counceling) secara terus menerus. Pendekatan dakwah ini, untuk
memperbaiki orang dari kejelekannya. Ketiga, fikih siyasah, bagaimana
membawakan hubungan agama dengan politik, dan kekuasaan negara serta
hubungan internasional. Pendekatan politik ini, adalah cara menerapkan
Islam sebaik-baiknya dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan sehingga
tidak menimbulkan kontradiksi yang tidak diperlukan.
Menegakkan
ta’adul dalam Islam adalah suatu kewajiban dalam seluruh tingkat dan
aspek kehidupannya. Prinsip ini mengandung makna ketidakberpihakan yang
berat sebelah atau melakukan perbedaan yang inkontitusional menurut
hukum yang berlaku. Keadilan juga merupakan keselarasan sikap antara
pandangan dan kenyataan.
Tawazun atau keseimbangan menyiratkan
sikap dan gerakan moderasi. Sikap tengah ini mempunyai komitmen kepada
masalah keadilan, kemanusiaan dan persamaan dan bukan berarti tidak
mempunyai pendapat. Artinya sikap NU tegas, tetapi tidak keras – sebab
senantiasa berpihak kepada keadilan, hanya saja berpihaknya diatur agar
tidak merugikan yang lain. Tawazun merupakan suatu bentuk pandangan yang
melakukan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang,
tidak ekstrim dan tidak liberal.
Musyawarah (tasyawur) dan
toleransi (tasamuh) adalah bagian dari nilai etika sosial Islami. Umat
Islam harus menampilkan wajah damai dan mewadahi upaya pencarian solusi
terhadap seluruh persoalan yang dihadapi masyarakat, negara dan agama.
Ini adalah gerakan moral yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan
yang majemuk.
Musyawarah dalam Islam tidak hanya dinilai sebagai
prosedur pengambilan keputusan yang direkomendasikan, tetapi juga
merupakan tugas keagamaan (wa syawirhum fi al-amr: Ali Imran ayat 159).
Dengan bermusyawarah akan tercipta kehidupan demokratis, terbuka dan
menganggap orang lain dapat memberikan alternatif dalam memutuskan
persoalan yang dihadapi sehingga terjalin kehidupan yang dinamis.
Dengan
tasamuh umat Islam diharapkan dapat berpikir dan bersikap tidak
melakukan diskriminasi atas dasar perbedaan suku bangsa, harta kekayaan,
status sosial, dan atribut-atribut keduniaan lainnya. Itulah sebabnya
Islam mencabut akar-akar fanatisme Jahiliyah yang saling berbangga diri
dengan agama (keyakinan), keturunan, dan ras.
Melalui
prinsip-prinsip tersebut, NU selalu mengambil posisi sikap akomodatif,
toleran dan menghindari sikap ekstrim dalam berhadapan dengan spektrum
budaya apapun. Sebab paradigma Aswaja di sini mencerminkan sikap NU yang
selalu dikalkulasikan atas dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada
aspek mashlahah dan mafsadah. Inilah nilai-nilai yang melekat di tubuh
NU yang menjadi penilaian dan pencitraan Islam rahmatan lil ‘alamin di
mata dunia.
Tantangan Nahdliyyin di Sumut
Seperti
diketahui, sejak agama Islam masuk ke Sumatera Utara sampai awal abad
ke-21 dewasa ini, umat Islam di daerah ini hanya mengenal paham Ahlu
Sunnah wa al-Jamaah dengan corak pemahaman keagamaan tradisional. Corak
pemahaman Umat Islam sangat akrab dengan pengajaran sifat dua puluh
(konsep tauhid Abu Hasan Al-Asy’ari), beribadah dengan mengikuti mazhab
besar Islam (Imam Syafi`i), serta mengamalkan tasawuf (tariqat
mu’tabarah). Sampai sekarang umat Islam Sumatera Utara yang disebut
“kaum tua” ini masih merupakan mayoritas menganut paham Aswaja.
Namun
sejak awal abad 20 pengikut Aswaja mulai digugat oleh kelompok
sempalan. Aqidah dan pengamalan mereka diklaim tidak lurus, seolah sarat
kesyirikan dan bid’ah, sangat tradisional, tidak peduli perkembangan
sains dan teknologi, buta politik, tidak memiliki gairah memajukan
dunia, dan banyak lagi tuduhan negatif lainnya.
Pada di sisi lain
pengikut Aswaja juga banyak mengalami persoalan internal. Sebagian
besar mereka tidak paham doktrin Aswaja, mereka hanya sebagai pewaris
kultur Aswaja tanpa disertai pengetahuan yang memadai. Basis organisasi
dan politik pengikut Aswaja ini juga tidak kukuh, karena tidak memiliki
pemimpin kharismatik dan tidak dikelola dengan manejemen yang rapi.
Mayoritas pengikut Aswaja -- yang mayoritas tinggal di pedesaan -- juga
berada pada garis kemiskinan, tidak memiliki akses yang memadai pada
sumber-sumber ekonomi dsb.
Sepertinya, pengikut Aswaja di daerah
Sumut ini tidak berdaya dan tidak memiliki daya tawar untuk melawan arus
ideologi, faham keagamaan, dan gerakan politik yang terus menyebar
agitasi. Karena ketidakberdayaan itu, mereka seolah bungkam seribu
bahasa; pengikut Aswaja menjadi silent majority yang suaranya nyaris
tidak terdengar, dan aspirasinya lenyap di tengah hiruk-pikuk
modernisasi; mereka ditinggalkan setelah kelompok-kelompok kepentingan
mendapatkan apa yang dicita-citakannya.
Maka di usia NU yang
ke-85 ini NU harus berbenah diri dan kembali ke Khittah tahun 1926 untuk
berkhidmat kepada umat dan bangsa melalui tradisi ulama dan pesantren.
Lahan garapan NU sejauh ini sudah sangat jelas, para ustadz pesantren,
guru madrasah, pemberdayaan masjid dan lainnya. Program yang disusun
hendaknya selalu merujuk kepada kebutuhan warga NU dan masyarakat dengan
membangun sinergi bersama lembaga dan banom di dalam NU.
Selama
ini ada kesan bahwa NU bukan lagi organisasinya anggota, tetapi
organisasi para pengurus. Anggapan itu terjadi karena banyak
fungsionaris organisasi yang tidak berkhidmat pada umat, tetapi hanya
menggunakan organisasi untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Kalaupun
ada perilaku sejumlah orang yang seperti itu tetapi kehadiran NU sebagai
organisasi milik warga, milik umat tidak bisa dipungkiri. Bisa kita
saksikan setiap menjelang ada kegiatan besar, baik Harlah, Munas Alim
Ulama apalagi Muktamar, hampir seluruh warga nahdliyin baik yang
pengurus, para ulama, para warga biasa hingga para simpatisannya
berpikir keras, bersuara pentingnya perbaikan dan penataan NU untuk
mengantisipasi masa depan yang lebih baik.
Biasanya setahun
menjelang muktamar berbagai pemikiran ke-NU-an telah bermunculan, baik
melalui diskusi-diskusi, seminar hingga lokakarya, hal itu terjadi di
semua tingkatan, mulai anak cabang di kecamatan, di level cabang,
wilayah hingga pengurus besar. Semuanya peduli terhadap masa depan NU,
mereka berpikir dan bertindak tanpa disuruh dan tentu saja tidak bisa
dilarang, tetapi semuanya sepakat untuk tetap mempertahankan kebesaran
NU. Semuanya itu menunjukkan bahwa komitmen warga NU terhadap NU masih
sangat besar. Memang perkembangan ini sempat menggusarkan beberapa
pengurus NU, tetapi perkembangan ini sebenarnya sangat positif untuk
mengukur komitmen mereka pada organisasi ini.
Harapan di Usia 85 Tahun
Pada
dasarnya muhasabah Nahdliyyin tahun 2011 ini meliputi tiga hal besar
yaitu: Pertama, menegaskan NU sebagai organisasi pembela Aswaja, sebagai
sebuah madzhab Islam yang luas dan moderat, yang telah berkelindan
dengan nilai kenusantaraan, sehingga memiliki akar dengan tradisi dan
budaya setempat. Hal itu yang membuat agama ini diterima sebagai warisan
bukan sebagai cangkokan.
Kedua, karena Islam Aswaja memiliki
akar kultural maka dengan sendirinya memiliki spirit kebangsaan yang
sangat kuat, sehingga keduanya susah dipisahkan. Karena itu, ketiga,
membenahi NU itu sama dengan membenahi negara dan bangsa ini secara
keseluruhan, apalagi sebagian besar warga negara Indonesia adalah warga
NU.
Dengan posisi sosial seperti itu maka wajar kalau NU selalu
menjadi pemikiran dan perbincangan warganya maupun pihak lain, karena NU
memiliki kekuatan yang nyata dalam kehidupan bangsa ini. Hanya saja
belakangan ini, ketika sistem politik liberal diterapkan, yang berakibat
memudarkan seluruh ikatan sosial dan tata nilai yang selama ini
berkembang membuat semua organisasi dan institusi sosial yang ada
mengalami kepudaran, termasuk NU. Mengingat adanya kondisi seperti itu
kalangan NU tidak berhenti mengingatkan akan bahaya tersebut, yang akan
menggerogoti komitmen keislaman dan ke-NU-an termasuk komitmen
kebangsaan.
Semuanya ini telah terjadi karena itu kalangan ulama
dan intelektual terus-menerus mengingatkan bahaya ini, tidak hanya untuk
menyelamatkan NU tetapi juga untuk menyelamatkan eksistensi bangsa
Indonesia. Bila bangsa ini kehilangan karakter, maka akan kehilangan
identitas, bila telah kehilangan identitas, maka akan kehilangan
kedaulatan, kekuasaan dan kesejahteraan, sebab semuanya akan direbut
oleh kekuatan lain yang memang ingin menjajah kembali negeri ini baik
secara mental maupun secara politik.
Penulis adalah Ketua Wilayah Nahdlatul Ulama Sumatera Utara
|
0 komentar:
Post a Comment